Suara.com - Tepat setahun yang lalu, seorang perempuan berusia 19 tahun meninggal di negara bagian Uttar Pradesh, India. Dia diperkosa beramai-ramai dan diserang secara brutal oleh tetangga yang kasta atau status sosialnya lebih tinggi darinya.
Perisitwa itu memicu kecaman global, terutama usai pihak berwenang secara paksa mengkremasi jenazahnya pada malam hari, tanpa persetujuan keluarganya.
Pemerintah yang terpojok lalu menjanjikan penyelidikan menyeluruh dan persidangan cepat untuk memastikan keadilan.
Namun 12 bulan setelahnya, meski empat laki-laki didakwa melakukan perkosaan dan pembunuhan, kasus ini masih bergulir dalam sistem peradilan India yang lamban.
Baca Juga: Heboh! Polwan Ini Ngaku Dibius dan Diperkosa Dokter Lapas
Keluarga perempuan itu berkata mereka hidup seperti tahanan di rumah mereka sendiri. Kehidupan mereka jalan di tempat, kata mereka.
- Seruan hukum pidana bagi suami yang memperkosa istrinya di India
- Kemarahan publik India setelah bocah kasta terendah diperkosa dan dikremasi secara paksa
- Kasus pemerkosaan beramai-ramai terus muncul di India, mengapa kegentingan ini bisa terjadi?
Saya pertama kali mengunjungi desa Bhulgarhi di distrik Hathras beberapa hari setelah kematian perempuan muda itu.
Perisitwa itu menjadi berita utama global. Wartawan serta kru televisi berkamera memadati rumahnya.
Politikus oposisi dari berbagai partai politik juga datang dan menjanjikan dukungan kepada keluarga untuk mencari keadilan.
Ibunya berkata kepada saya, dia menemukan putrinya pada 14 September 2020, di ladang tanaman sorgum yang tinggi.
Baca Juga: Pukul Kepala Pelaku, IRT Ini Berhasil Kabur saat Mau Diperkosa Tetangganya Sendiri
Kondisi putrinya babak belur, memar. Dia nyaris tidak sadar dan dalam keadaan telanjang dari pinggang ke bawah.
Tulang belakangnya patah. Darah keluar dari tubuhnya. Dia juga muntah darah. Setelah koma selama dua minggu, dia meninggal di rumah sakit pada tanggal 29 September.
Ketika saya mengunjungi rumahnya baru-baru ini, saya melihat keluarganya terisolasi di desa, dikurung di rumah mereka. Rumahnya dijaga anggota paramiliter yang dilengkapi senapan mesin.
Kamera pengawas yang mengganggu, dipasang di beberapa titik penting untuk merekam semua orang yang datang dan pergi.
Keluarga itu dilindungi atas perintah Mahkamah Agung karena ada kekhawatiran bahwa mereka akan menjadi sasaran orang-orang dari kasta atas.
"Ini adalah tahun yang sia-sia," kata kakak laki-laki tertuanya.
"Kami aman di rumah karena paramiliter. Tapi kami tidak bisa pergi bekerja. Kami bertahan hidup dengan uang kompensasi dan jatah pemerintah," ucapnya.
Keluarga tersebut menerima 2,5 juta rupee (sekitar Rp482 juta) dari pemerintahan Uttar Pradesh. Berdasarkan regulasi setempat, kompensasi finansial diberikan kepada keluarga korban kejahatan termasuk pembunuhan dan pemerkosaan.
"Kami juga merasa ditahan. Bahkan untuk membeli bahan makanan atau mengunjungi dokter, kami harus pergi dengan paramiliter," ujar adik laki-lakinya.
Sebelum tragedi itu terjadi, keluarga tersebut mengurus lahan pertanian kecil milik mereka. Untuk menambah penghasilan, mereka melakukan pekerjaan lain setiap hari. Tapi itu semua tidak mungkin lagi mereka lakukan.
Enam dari tujuh ekor kerbau mereka sudah dijual karena mereka tidak bisa lagi keluar untuk mengumpulkan pakan ternak. Pihak berwenang belum memenuhi janji memberikan rumah baru dan pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil untuk seorang anggota keluarga.
Perempuan korban kejahatan itu dan keluarganya merupakan kaum Dalit. Istilah itu mengacu pada laki-laki dan perempuan yang sebelumnya dikenal sebagai "yang tak tersentuh". Mereka adalah kelompok orang yang merana di bagian paling bawah hierarki kasta India.
Perempuan muda ini sempat menyebut empat laki-laki yang menyerangnya. Mereka berasal dari komunitas Thakur, kasta di atas mereka.
Penuntut umum mendakwa empat laki-laki itu dengan pasal pembunuhan, pemerkosaan berkelompok dan melakukan kekejaman terhadap seorang Dalit. Persidangannya sudah dimulai.
Namun kerabat terdakwa membuat klaim bahwa korban memiliki hubungan suka sama suka dengan salah satu pelaku. Dia menyebut kerabatnya melakukan "pembunuhan demi kehormatan" karena tidak menyetujui hubungan tersebut.
Politikus berpengaruh dari kasta Thakur juga mengadakan pertemuan publik besar-besaran untuk mendukung terdakwa.
Sebuah jalan sempit memisahkan rumah korban dan para terdakwa, tapi jarak itu tidak dapat dijembatani selama berabad-abad. Jurang itu semakin dalam dan luas sejak kejahatan itu.
"Nenek moyang kami diperlakukan buruk oleh nenek moyang mereka dan kami masih didiskriminasi," kata kakak korban.
"Tidak seorang pun dari desa datang untuk menanyakan saudara perempuan kami setelah dia diserang.
"Atau ketika dia berjuang untuk mempertahankan hidupnya di rumah sakit atau bahkan setelah dia meninggal. Namun seluruh warga desa muncul di pengadilan untuk mendukung terdakwa," ucapnya.
Saudara kandung korban sudah beberapa kali datang ke pengadilan distrik Hathras baru-baru ini untuk merekam pernyataannya dan untuk pemeriksaan silang.
Pada hari Kamis (30/09), giliran ibu mereka yang datang untuk menjadi saksi.
Perjalanan ke pengadilan, kata keluarga korban, penuh dengan ketegangan. Pengacara mereka, Seema Kushwaha, mengeluhkan ancaman dan intimidasi.
Klaim itu ditolak oleh pengacara terdakwa, Munna Singh Pundhir.
Kushwaha berkata, mobilnya dikejar laki-laki saat dia pergi ke pengadilan. Dan di pengadilan, pengacara terdakwa berkata kepadanya bahwa pengacara dari Delhi tidak dapat menangani kasus di Hathras.
"Mereka mencoba menatap saya dan menyuruh saya untuk tetap berada dalam batas saya," ucapnya.
Suatu hari Maret lalu, katanya, pengadilan harus ditunda dua kali ketika keadaan di luar kendali.
Hampir setiap hari, mobilnya harus dikawal ke perbatasan kabupaten oleh polisi.
Namun pengadilan tinggi baru-baru ini menolak permintaannya untuk memindahkan kasus tersebut ke luar Hathras.
Kushwaha berkata, 16 dari 104 saksi, antara lain dokter, pejabat polisi, anggota keluarga, dan wartawan lokal, sejauh ini sudah dipanggil sebagai saksi.
Persidangan ditargetkan selesai dalam dua sampai tiga bulan ke depan. "Kami telah meminta hukuman maksimal hukuman mati," kata Kushwaha.
Kushwaha juga mewakili keluarga korban dalam kasus kedua yang disidangkan di ibu kota negara bagian, Lucknow. Pengadilan tinggi sedang menyelidiki apakah otoritas lokal mendapat persetujuan keluarga korban untuk melakukan kremasi jenazah.
Jika terbukti tidak mendapat izin keluarga, pengadilan tinggi dapat menjatuhkan hukuman kepada pejabat yang terlibat. Para hakim juga mempertimbangkan kompensasi untuk keluarga korban.
"Keluarga ingin direlokasi dan saya pikir mereka harus pindah," kata Kushwaha.
"Paramiliter bisa memberi mereka keamanan fisik. Tapi bagaimana dengan keamanan mental dan emosional? Pemerintah harus menyediakan akomodasi yang jauh dari Hathras agar mereka bisa memulai hidup baru," tuturnya.
Di desa, ada rasa takut dan dendam di kedua belah pihak yang berbagi kasta dan suasana tegang dan bermusuhan. Keluarga terdakwa marah dan menuduh wartawan melakukan menghakimi mereka.
"Kenapa kamu datang ke sini?" kata seorang kerabat perempuan dari salah satu terdakwa meneriaki saya.
"Putra-putra kami tidak bersalah. Mereka dipenjara karena media menggambarkan kami seperti penjahat."
Sebagian besar keluarga dari kasta Thakur di desa itu tidak mau berbicara. Mereka menyebut masalah ini ada di pengadilan dan mereka tidak tahu apa-apa.
"Kami memerangi kemiskinan dan inflasi, berusaha memenuhi kebutuhan," kata seorang laki-laki lanjut usia.
"Orang-orang mengatakan banyak hal, tapi siapa yang tahu apa yang terjadi? Hanya dia korban dan Tuhan yang tahu," kata Balbir Singh, 76.
Balbir membenarkan bahwa masih ada ketegangan di desa, tapi dia berkata, "apa pun yang terjadi telah terjadi. Mereka harus tinggal di sini, dan begitu juga kami."
Keluarga korban, bagaimanapun, mengatakan mereka tidak lagi hidup tenang dan mengalami ketidakpastian.
Ibunya meneteskan air mata setiap kali dia mengingat "putrinya yang cantik dengan rambut hitam panjang".
"Kami masih tidak percaya bagaimana itu bisa terjadi," ujarnya sambil menyeka air matanya dengan sarinya.
"Bisakah seorang ibu melupakan anaknya? Saya merindukannya ketika saya makan, saya merindukannya ketika saya pergi tidur.
"Saya bahkan tidak bisa membayangkan dalam mimpi terburuk saya bahwa saya akan kehilangan putri saya dan dengan cara yang brutal," tuturnya.
"Namun putri saya sangat berani. Dia terus mengatakan bahwa dia diperkosa. Penduduk desa tidak menyukainya, mereka mengatakan itu membawa nama buruk bagi desa kami dan kami seharusnya menekannya."
Kakak ipar korban menilai tidak mungkin mereka terus tinggal di rumah itu karena "terlalu banyak kenangan yang mengintip dari setiap sudut".
"Kami selalu bersama. Ketika saya hamil, dia tidak akan membiarkan saya memasak atau melakukan pekerjaan rumah.
"Pada hari kematiannya juga, dia memasak sayuran dan menyiapkan adonan dan berkata dia akan kembali setelah mengumpulkan pakan ternak dan membuat roti [roti].
"Tapi dia tidak pernah kembali," katanya, menangis.
Adik laki-lakinya berusia 19 tahun itu berkata, "Satu-satunya yang tumbuh subur dalam setahun terakhir adalah tanaman kemangi. Ketika saudara perempuan saya menanamnya, itu hanya pohon muda. Lihat betapa besar itu tumbuh sekarang."
Kami berjalan ke sepetak lahan pertanian sekitar satu kilometer dari rumah mereka. Itu adalah lokasi jenazahnya dikremasi.
Tahun lalu, ketika saya berkunjung, tempat itu penuh tumpukan abu. Sekarang daerah itu tertutup rumput. Setumpuk ranting ditumpuk di dekatnya. Semua jejak apa yang terjadi pada malam 29 September telah terhapus.
Saya bertanya kepada keluarga tentang abunya. "Kami tidak akan menyebarkan mereka sampai kami mendapatkan keadilan," kata kakaknya.
Adik iparnya berkata: "Dan itu hanya akan terjadi ketika keempat terdakwa digantung sehingga keluarga mereka juga dapat mengalami rasa sakit yang sama seperti yang kami alami selama setahun terakhir."