Suara.com - Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX tetap berlangsung di tengah ribuan pengungsi Papua yang hidup "memprihatinkan" karena konflik senjata.
Presiden Jokowi mengatakan PON XX menjadi "panggung kesetaraan dan panggung keadilan", tapi sejumlah kalangan menyebut pernyataan itu tak mencerminkan solusi atas konflik yang terjadi.
Di sisi lain, seorang staf khusus presiden dari kalangan milenial Papua mengatakan pemerintah telah mengupayakan kesetaraan dan keadilan bagi orang asli Papua melalui kebijakan, termasuk indeks pembangunan manusia (IPM) yang mengalami tren peningkatan sebagai pencapaian.
Baca juga:
Baca Juga: Top 5 Sport: Sirkuit Tak Mulus, Rider MotoGP Ancam Ogah Balapan di Austin Lagi
- Kelompok bersenjata OPM ancam 'terus perangi aparat keamanan', Satgas Nemangkawi ajak buka dialog seperti di Aceh
- Mengapa pemerintah Indonesia tidak buka dialog soal Papua ala perundingan GAM?
- Penangkapan aktivis Papua dan 'stigma teroris', 'kemunduran' solusi damai konflik
Kembang api menyemburkan pijaran ke angkasa disertai sorakan dan tepuk tangan di Stadion Lukas Enembe, Kabupaten Jayapura, Papua menandai pembukaan Pekan Olahraga Nasional XX di Papua, Sabtu kemarin (03/10).
Namun, kemeriahan ini tak menggambarkan situasi keseluruhan di Papua.
Sekitar 1300 kilometer dari lokasi pesta olahraga, terdapat ribuan warga dari Kabupaten Maybrat, Papua Barat yang dilaporkan sudah sebulan mengungsi karena konflik bersenjata antara TPN/OPM dan TNI Polri.
Salah satu yang mengungsi ke hutan adalah Manase Sori, 21 tahun. Tiap hari, ia hidup bergantung dari hasil berburu burung, sagu serta pohon pisang.
Manase mengatakan, sejauh ini para pengungsi baru sekali mendapat bantuan dari pemerintah seperti "beras, minyak, gula dan kopi".
Baca Juga: PON Papua: Si Kembar Ana dan Ani Bertekad Balas Dendam dalam Nomor Perorangan
Setelah satu bulan hidup di hutan, para pengungsi mulai sakit-sakitan, kata Manase Sori yang saat ini sudah berpindah lagi ke tempat kerabatnya di kabupaten lain.
"Sakitnya panas demam begitu, sakit-sakit kepala. Makan juga jarang-jarang," kata Manase kepada BBC News Indonesia.
Manase mengungsi ke hutan bersama 50 warga dari Kabupaten Maybrat lainnya awal September lalu. Mereka mendirikan empat pondok "dari pelepah sagu" sebagai tempat berlindung dari panas dan hujan. Para pengungsi termasuk lansia, dan anak-anak.
Baca juga:
- Banyak sandungan menuju ruang dialog komprehensif Papua
- Masa Pra-Paskah yang 'suram' bagi para pengungsi Intan Jaya
- Bayi bernama Pengungsi itu lahir di bawah pohon - fakta dari konflik di Nduga, Papua
"Ada [perempuan] hamil di sana juga," kata Manase.
Manase Sori menambahkan para pengungsi masih takut kembali ke kampung halaman karena situasinya dirasakan belum aman.
Kelompok pemerhati HAM yang menyebut diri Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat melaporkan total 2768 warga masih mengungsi pasca konflik bersenjata TPN/OPM dan TNI Polri awal September, yang bermula dari kematian empat prajurit TNI.
Para pengungsi ini tersebar ke sejumlah distrik di luar Kabupaten Maybrat, masuk ke dalam hutan yang membutuhkan waktu "tiga hari berjalan kaki".
Manase tak tahu sama sekali kalau Papua menjadi tuan rumah PON XX. Ia tak tahu pula jika Presiden Joko Widodo membuka hajatan nasional ini. "Tidak tahu," katanya.
'Panggung kesetaraan dan keadilan'
Dalam pembukaan PON, Presiden Joko Widodo tak menyinggung persoalan konflik ini atau yang sebelumnya di Papua. Namun, ia menekankan pesta olahraga menjadi panggung kesetaraan dan keadilan.
"PON ini juga punya makna besar bagi seluruh masyarakat Indonesia. PON ini adalah panggung persatuan, panggung kebersamaan, panggung persaudaraan.
"PON ini adalah panggung kesetaraan, dan panggung keadilan, untuk maju bersama, sejahtera bersama, dalam bingkai negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Presiden Jokowi dalam pembukaan PON.
Presiden Jokowi juga memuji Stadion Lukas Enembe yang disebut sebagai "bukan satu-satunya simbol kemajuan Papua".
Ia juga menyebut perkembangan infrastruktur pemerintah dari bandara, pelabuhan, hingga jalan lintas Papua sebagai "capaian-capaian lain dari dari kemajuan Papua yang sangat membanggakan".
'Ironi'
Pernyataan ini mendapat tanggapan kritis dari Bernard Baru, pemuka agama dari Sekretarian Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Cipta Ordo Santo Agustinus.
Menurutnya, pesta meriah ini sebuah "ironi" di tengah "situasi Papua yang penuh konflik".
"Situasi riil di Papua ini situasi yang dibanjiri air mata. Ini situasi kemanusiaan yang sebenarnya sangat memprihatinkan. Sangat miris, karena semua manusia korban, apa pun ya. Mau pihak TNI Polri, mau pihak TPN/OPM, mau pihak masyarakat sipil. Ini berkorban," kata Bernard.
Bernard Baru menambahkan, semestinya momentum nasional ini dijadikan presiden sebagai ajang mengumandangkan solusi atas konflik yang terus terjadi.
"Mudah-mudahan lewat PON ini, menjadi pintu masuk untuk solusi damai. Solusi menyelesaikan konflik ini, supaya jangan ada lagi konflik dan korban. Darah yang terus berbanjiran di tanah Papua ini," kata Bernard.
Apa tanggapan Staf Khusus Presiden?
Di sisi lain, staf khusus presiden dari kalangan milenial, Billy Mambasar mengatakan sejauh ini pemerintah sudah mencari solusi memperbaiki kesejahteraan orang Papua yang dianggap sebagai akar persoalan konflik di sana.
Hal ini tertuang dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2020, termasuk revisi Undang Undang Otsus di mana di dalamnya termuat solusi dialog atas konflik.
"Payung hukum ini basisnya adalah manusia-manusia orang asli Papua. Manusia orang asli Papua memiliki kemampuan untuk membangun dirinya sendiri dan menjadi pemain dan ikut membangun negara ini secara nasional. Itu yang disebut prinsip kesetaraan," kata Billy.
Selain itu, Billy juga menyampaikan pencapaian atas keberhasilan pemerintah dalam indeks pembangunan manusia (IPM) yang "trennya naik". Sementara angka kemiskinan ia sebut "menurun".
Bagaimana pun, kasus-kasus HAM berat di Papua seperti tragedi Paniai 2004 dan Wasior Wamena 2002 dan 2003, sejauh ini masih belum tuntas di era Jokowi, kata Peneliti KontraS, Rozy Brilian.
Ia menganggap pernyataan Presiden Jokowi sebagai "lips service".
"Nah, itu panggung kesetaraan dan keadilan dari mana, ketika misalnya hari ini banyak masyarakat dari Papua yang justru masih mengalami rasisme," kata Rozy yang mencontohkan kasus-kasus tebang pilih ketika orang Papua menggelar aksi unjuk rasa dan ditangkap.
Untuk pertama kali dalam sejarah, Papua menjadi tuan rumah penyelenggaran PON. Pesta olahraga ini diikuti 34 kontingen dari 34 provinsi dengan 6.116 atlet tamu, dan 923 atlet tuan rumah Papua.
Penyelenggaraan PON tersebar di empat kluster yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika dan Kabupaten Merauke.