Warga Maybrat Papua Hidup di Pengungsian, Koalisi: Stop Operasi Militer!

Sabtu, 02 Oktober 2021 | 19:38 WIB
Warga Maybrat Papua Hidup di Pengungsian, Koalisi: Stop Operasi Militer!
Ilustrasi--Warga Papua di berbagai daerah di Jabodetabek menggelar demonstrasi di Jakarta. (Suara.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sudah genap satu bulan ribuan warga sipil Kabupaten Maybrat, Papua Barat hidup dalam pengungsian dan tidak dalam kondisi aman. Mereka mengungsi usai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) terlibat konflik dengan pasukan TNI-Polri pada Kamis (2/9) lalu.

Saat itu, TPNPB melakukan penyerangan di Pos Koramil Kisor, Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Papua Barat. Sebanyak empat personel TNI tewas dalam kontak senjata tersebut.

Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat, Sabtu (2/10/2021) merilis perkembangan termutakir terkait kondisi para pengungsi. Hal itu disiarkan secara langsung di kanal Youtube Papuan Choice.

"Hari ini 2 September 2021 genap sudah 1 bulan ribuan warga sipil Kabupaten Maybrat hidup dipengunsian dalam kondisi tidak aman," kata kuasa hukum koalisi, Yohanis Mambrasar.

Baca Juga: Bioskop Papua Barat Sudah Buka Hari Ini, Berikut Film yang Tayang

Usai serangan TPNPB yang menewaskan empat prajurit TNI itu, mobilisasi besar-besaran dilakukan aparat gabungan ke Kabupaten Maybrat. Hal itu dilakukan aparat guna mencari pelaku yang melakukan serangan tersebut.

Kampung-kampung di Kabupaten Maybrat turut disisir aparat TNI-Polri. Hal itu berimbas pada warga sekitar yang akhirnya memilih ke berbagai tempat, yakni di hutan, kampung, distrik atau kabupaten lainnya yang lebih aman.

"Operasi aparat TNI POLRI terhdap TPN juga menyasar terhadap masyarakat sipil setempat," sambung Yohanis.

Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat, dalam investigasinya menemukan sebanyak 2.768 warga sipil di 50 kampung yang tersebar di lima distrik mengungsi. Para pengungsi rata-rata berasal dari Distrik Aifat Selatan, Distrik Aifat Timur, Distrik Aifat Timur Jauh, Distrik Aifat Timur Tengah dan Distrik Aifat Timur Selatan.

Mereka mengungsi ke distrik yang lebih aman seperti Distrik Aiyawasi, dan Distrik Kumurkek, Aitinyo. Tidak hanya itu, mereka juga mengungsi ke Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Bentuni, Kota dan Kabupaten Sorong.

Baca Juga: BPJS Kesehatan Tingkatkan Leadership Kepala Kabupaten/Kota di Papua

Dalam catatan koalisi, total ada lebih dari 1155 pengungsi laki-laki dan lebih dari 1145 pengungsi perempuan. Para warga Pengunsi dari Distrik Aifat Selatan, khususnya 308 orang merupakan usia dewasa, 40 orang merupakan lansia, 338 orang berusia anak dan remaja dan 17 orang merupakan bayi.

Dari total itu, sebanyak 51 orang kekinian dalam kondisi sakit, empat orang ibu dalam kondisi hamil, dan 1 orang warga telah meninggal ditempat pengunsi.

Kekerasan TNI-Polri

Yohanis mengatakan, pihaknya juga menemukan tindak kekerasan terhadap masyarakat sipil setempat. Aparat TNI- Polri, kata dia, telah melakukan penyisiran, penangkapan, penahanan, penganiayaan, penyiksaan dan intimidasi secara sewenang-wenang diluar hukum terhadap para pengunsi.

Dalam hal ini, polisi telah menetapkan 17 orang warga sebagai tersangka dan menetapkan mereka sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) tanpa melaui proses hukum yang benar. Dalam proses mengejar pelaku, aparat tidak mengunakan pendekatan hukkum dan prinsip humanisme.

"Sebaliknya aparat mengunakan pendekatan kekerasan dengan menuduh warga sepil sebagai pelaku penyerangan Pos Koramil Kisor," papar Yohanis.

Koalisi mencatat, aparat dengan membabi buta menangkap, menyiksa, mengintimidasi warga sipil tanpa bukti yang benar dan sah. Penetapan status DPO terhadap 17 Orang warga sipil sebagai pelaku, disebut Yohanis sebagai "Tindakan kepolisian yang tidak berdasar bukti yang benar dan sah."

Pasalnya, koalisi telah bertemu secara langsung bertemu dengan beberapa orang tua korban. Kemudian, koalisi juga mengecek tuduhan aparat tersebut.

Hasilnya, warga yang ditemui oleh koalisi mengatakan anak-anak mereka tidak terlibat dalam penyerangan Pos Kisor. Bahkan, mereka juga tidak terlibat dalam organisasi politik apapun seperti yang dituduhkan oleh polisi.

Misalnya saja Melkias Ky, Agus Yaam dan Robby Yaam. Ketiganya bukan merupakan pelaku dan tidak mempunyai hubungan dengan penyerangan dan juga tidak telibat dalam organisasi politik manapun.

Robby Yaam misalnya, dia masih remaja dan merupakan pelajar yang saat kejadian sedang tinggal di kampung lain yaitu Kampung Bohsa. Saat itu, dia sedang bersekolah.

"Warga juga mengatakan 17 orang yang ditetapkan terdakwa dan sebagai DPO polisi itu tidak terlibat dalam peristiwa penyerangan dimaksud," tutur Yohanis.

Yohanis mengatakan, aparat TNI-Polri telah melakukan kekerasan terhadap 34 orang warga sipil. Sebanyak 31 orang ditangkap, dua ditahan, mereka diperiksa sambil disiksa, dan satu diintimidasi.

Dari 31 orang yang ditangkap dan ditahan, kata Yohanis, sebanyak 8 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dan sedang ditahan di pos polisi. Sementara itu, sebanyak 23 orang lainnya telah dibebaskan.

"Saat penangkapan terjadi polisi melakukan penyiksaan dan penambakan," jelas dia.

Tindakan brutal cum sewenang-wenang aparat juga menyasar Simon Waimbewer, Manase Ky dan Silas Ky. Misalnya saja Simon, dia disiksa saat ditangkap lalu dibebaskan dua hari kemudian setelah diperiksa.

Terhadap Manase Sory, aparat disebut melakukan penyiksaan saat melakukan penangkapan. Setelahnya, Manase Sory dibebaskan sehari berselang.

Koalisi juga mencatat, aparat melakukan penembakan terhadap Silas Ky. Penembakan dilakukan saat aparat menangkap Yanto Sori di rumah tempat pengunsian.

"Aparat menembak Silas Ky sebanyak 6 tembakan tapi tidak mengenainya," ungkapnya.

Yohanis melanjutkan, dari seluruh korban kekerasan aparat, rata-rata adalah anak dan remaja. Tercatat sebanyak 16 orang masih berusia anak dan remaja dan satu orang lainnya merupakan bayi.

Tidak hanya itu, delapan 8 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dan hingga kekinian masih ditahan. Kemudian, sebanyak 10 orang anak dan 1 orang bayi telah dibebaskan.

Yohanis menambahkan, sebanyak 34 orang warga yang mengalami kekerasan itu adalah murni warga sipil. Mereka, kata Yohanis, bukan pelaku penyerangan Pos Koramil Kisor, seperti yang dituduhkan oleh aparat.

"Dan menjadi legitimasi aparat menangkap dan melakukan kekerasan terhadap para warga sipil ini," beber dia.

Tindakan Aparat Langgar Prosedur

Dalam kasus ini, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat memandang bahwa aparat TNI-Polri telah menjadikan warga sipil sebagai target kekerasan. Dalihnya, aparat melakukan pengejaran terhadap TPNPB.

Yohanis mengatakan, tindakan itu jelas merupakan bentuk malprosedur, pelanggaran hukum, dan tindakan yang tidak dilakukan secara benar, terukur dan tepat. Sebab, tindakan itu telah menghilangkan hak asasi warga Maybrat, sebagaimana dilindungi dalam UU HAM
39/1999, Undang-Undang Perlindungan Anak, Konvensi HAK Sipil Politik, Konvensi Anti Penyiksaan, dan Konvensi Perlindungan Anak dan Perempuan.

"Tindakan brutal aparat ini menunjukan matinya demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia Papua, ini menunjukan aparat TNI Polri tidak taat hukum, dan tidak berkomitmen atas pemajuan HAM," tegas dia.

Tidak hanya itu, tindakan brutal aparat yang tidak sesuai prosedur ini juga melanggar prosedur penyelidikan, penyedikan, penangkapan dan penahanan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan Peraturan Menejemen Penyelidikan Tindak Pidana.

Terhadap hal itu, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengunsi Maybrat menyatakan :

1. Mengutuk tindakan-tindakan kekerasan yang merendahkan harkat martabat manusia.

2. Meminta Aparat TNI-Polri untuk menghentikan operasi militer, menarik seluruh pasukakan TNI-Polri dari wilayah Maybrat, dan menyelesaikan konflik ini secara damai.

3. Meminta Kepolsian menghentikan Penangkapan warga Sipil, dan segera bebaskan 8 warga sipil yang saat
ini ditahan.

4. Meminta Pemerintah Maybrat Untuk Membuka akses bagi bantuan kemanusian kepada para pengungsi.

5. Meminta kepada seluruh lembaga-lembaga HAM, Pimpinan Gereja, Akademisi, Pemerhati HAM secara lembaga maupun Individu di Indonesia, dan Negara-Negara lainnya agar turut bersolidaritas memantau situasi hak asasi manusia di Maybrat dan Papua seara umum. Dan mendesak pemerintah Indonesia, TNI, Polri dan Kelompok politik Papua untuk menyelesaikan konflik politik ini secara damai.

Penyerangan

Kepala Penerangan Kodam XVIII/Kasuari Papua Barat Letnan Kolonel Arm Hendra Pesireron menuding Komite Nasional Papua Barat atau KNPB adalah kelompok yang melakukan penyerangan Pos Ramil Kisor di Kabupaten Maybrat, Papua Barat beberapa waktu lalu. Selain menyerang aparat, KNPB disebut mengancam membunuh masyarakat apabila berani kembali ke kampungnya.

Letkol Arm Hendra menuturkan, terdapat beberapa masyarakat melapor ke pos penjagaan dan mengaku mendapatkan ancaman oleh kelompok KNPB. Ancaman itu dilayangkan kepada masyarakat supaya tidak kembali ke kampung setelah sempat mengungsi setelah penyerangan terhadap anggota TNI.

"Ada beberapa masyarakat yang telah melapor ke pos bahwa mereka saat ini tdak berani kembali ke kampung karena diancam oleh kelompok KNPB tersebut. Apabila mereka kembali ke kampung mereka akan dibunuh," tutur Letkol Arm Hendra dalam rekaman suara yang dikutip Suara.com. Rabu (8/9).

Selain itu, terdapat beberapa pemuda yang turut melapor ke pos gabungan TNI-Polri. Mereka mengaku diancam oleh KNPB sehingga tidak bisa melanjutkan kuliahnya.

Tim gabungan TNI-Polri lantas memperkuat pos penjagaan dan menjamin keamanan dari masyarakat yang hendak kembali ke kampungnya. Termasuk para pemuda yang akhirnya bisa melanjutkan kuliahnya di Sorong.

Kata Letkol Arm Hendra, ancaman itu dilayangkan KNPB karena menolak adanya pembangunan yang ada di kampung setempat. Mereka mengancam masyarakat untuk ikut menghambat pembangunan tersebut.

"Terbukti kemarin mereka merusak jembatan yang bukan dibangun oleh mereka jadi mereka hanya bisa merusak, melaksanakan pembangunan sama sekali tidak ada," ujarnya.

Sebelumnya, Pos Ramil Kisor di Kabupaten Mybrat Papua Barat diserang sekelompok orang. Akibat serangan tersebut, 4 anggota TNI AD tewas.

Menurut Bupati Maybrat Papua Barat, Bernard Sagrim, kasus tersebut menjadi kasus penyerangan tersadis sepanjang sejarang kabupaten itu berdiri.

Dia mengatakan, penyerangan dan pembantaian anggota TNI AD tersebut baru kali ini terjadi di Maybrat. Pertikaian lokal sering terjadi tapi tidak sesadis kasus penyerang Posramil Kisor.

"Peristiwa seperti ini baru pernah terjadi dalam ratusan tahun di kehidupan kami orang Maybrat Ayamaru raya, Aitinyo raya dan Aifat raya," kata Bernard Sagrim di Maybrat, dikutip dari Antara, Senin (06/09/2021).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI