Suara.com - Mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan mengatakan sudah menjadi kewajiban apabila lembaganya bersikap egaliter, demokratis dan kritis. Namun ia khawatir apabila sikap kritis yang selama ini menjadi ciri khas dari KPK akan semakin terkikis di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.
"Di masa pimpinan KPK yang sekarang, pak Firli dan kawan-kawan apakah kritisnya tetap ada? Saya khawatir semakin lama semakin hilang," kata Novel dalam wawancara eksklusif Suara.com yang dikutip pada Jumat (1/10/2021).
Kekhawatiran Novel tersebut didasari oleh penerbitan Peraturan Pimpinan (Perpim) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perjalanan Dinas di Lingkungan KPK. Dalam Perpim yang diteken pada 30 Juli 2021 itu tertuang bahwa perjalanan dinas pegawai KPK dalam rangka mengikuti seminar, dan sejenisnya ditanggung oleh panitia penyelenggara.
Padahal sebelumnya lembaga KPK kerap menggunakan anggaran sendiri supaya menghindari adanya intervensi ataupun kepentingan lainnya. Kemudian ada juga perubahan terkait pembiayan anggaran dinas, di mana yang awalnya biaya perjalanan dinas yang dikeluarkan itu hanya untuk keperluan saja, kini malah boleh mengambil sisanya kalau memang berlebih.
Baca Juga: Tersimpan Selamanya, Kotak Kenangan Pegawai KPK Yang Didepak Firli Bahuri
"Ini kan bisa menjadi potensi-potensi korupsi," tuturnya.
Selain itu, Novel juga melihat adanya perubahan yang terjadi di KPK yang awalnya begitu perhatian dengan kepentingan korban serta tidak kompromi dengan hukuman koruptor. Kalau saat ini, Firli Bahuri malah seolah-olah berempati kepada pelaku kejahatan korupsi. Itu dicontohkan dengan adanya sebutan penyintas korupsi bagi para eks napi koruptor.
Belum lagi komitmen Firli dalam pemberantasan korupsi yang masih diragukan.
"Ingat, ancaman hukuman mati koruptor anggaran bencana dan proses pengadaan darurat bencana," ujar Firli dalam keterangan tertulis, Jumat (27/3/2020).
Akan tetapi, omongan Firli tersebut ternyata hanya angin lalu. Sebab, mantan Menteri Sosial Juliari Batubara yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan paket bantuan sosial penanganan Covid-19 di wilayah Jabodetabek tahun 2020 tidak dijatuhi hukuman mati. Ia malah divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Baca Juga: Novel Baswedan: Kalau Kami Merah, Kenapa Mau Disalurkan ke BUMN?
"Artinya itukan dengan level kejahatan seperti itu (saja) dituntutnya ringan," tuturnya.
Hal-hal tersebut yang menurut Novel membuat orang heran dengan wajah KPK di bawah kepimpinan Firli Bahuri. Komitmen Firli atas kesungguhannya menyelamatkan uang negara lantas dipertanyakan.
Kata Novel, semangat itu mesti dilakukan. Kalau semisal tidak berjalan, menurutnya ke mana lagi masyarakat Indonesia harus berharap.
"Belum lagi aktor intelektualnya, kepentingan korban yang enggak terpulihkan, begitukan penting, ya. Tapi, kok tidak tampak? Artinya kalau dibandingkan dengan semangat yang sebelumnya, jauh, jauh sekali."