KOLOM: Mencari Sosok yang Tepat sebagai Panglima TNI

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 01 Oktober 2021 | 21:17 WIB
KOLOM: Mencari Sosok yang Tepat sebagai Panglima TNI
ILUSTRASI - Pasukan TNI melakukan aksi demonstrasi keterampilan prajurit saat Upacara Perayaan HUT Ke-74 TNI di Taxy Way Echo Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu (5/10). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penulis - Yusa Djuyandi *

Wacana tentang penentuan Panglima TNI menjelang berkhirnya masa jabatan Marsekal Hadi Tjahjanto, bisa dibilang begitu mengemuka.

Penentuan Panglima TNI seolah tidak hanya menjadi domain urusan penyelenggara negara, seperti presiden dan para wakil rakyat yang duduk di Komisi I DPR yang membidangi pertahanan.

Para peneliti dan pengamat dari berbagai lembaga yang fokus pada studi keamanan juga turut mengamati, serta melontarkan gagasan tentang kriteria kelayakan bagi seorang calon Panglima TNI.

Baca Juga: Baru Dilantik Jadi Wakil Ketua DPR, Lodewijk Tagih Nama Calon Panglima TNI ke Presiden

Dasar pertimbangannya, kedudukan panglima adalah tidak hanya penting bagi institusi TNI secara organisatoris, tetapi juga bagi bangsa dan negara.

Bila dilihat hanya dari sudut pandang kelembagaan, pergantian Panglima TNI merupakan sebuah proses yang wajar dan alamiah, karena proses ini merupakan bagian dari regenarasi pucuk pimpinan TNI di saat pimpinan yang sebelumnya akan memasuki masa pensiun.

Namun demikian, dalam proses yang mungkin dianggap biasa itu itu ada hal yang kemudian patut dicermati dari mekanisme regenarasi pada pucuk pimpinan TNI yang dilakukan oleh presiden bersama-sama dengan para anggota Komisi I DPR.

Langkah ini penting dilakukan agar Panglima TNI terpilih mampu menjalankan dengan baik arah kebijakan pertahanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan DPR, menjaga harmonisasi dan keseimbangan kekuatan antar matra, sekaligus terus memastikan profesionalisme dan netralitas TNI.

Kebijakan Pertahanan dan Potensi Ancaman

Baca Juga: Dugaan Penyusupan PKI di Tubuh TNI, Panglima: Tidak Dapat Dibuktikan Secara Ilmiah

Berkaca pada kondisi Indonesia sebagai negara maritim yang kemudian oleh pemerintah telah dicanangkan tentang pentingnya memperkuat Indonesia secara politik, ekonomi dan keamanan di sektor maritim, maka perbincangan sektor pertahanan pada skala makro maupun mikro perlu diarahkan untuk mendorong dan meningkatkan kekuatan pertahanan Indonesia di laut dan udara.

Dengan arah kebijakan pertahanan ini, setidaknya matra laut dan udara perlu terus di dorong untuk mampu memiliki alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang mumpuni dan sesuai dengan kebutuhan minimun essential force (MEF).

Adapun dalam kaitannya dengan posisi Panglima TNI, tentunya kelak dibutuhkan sosok yang memiliki pengetahuan secara detail tentang konsep pertahanan negara maritim dan langkah implementasinya. Panglima terpilih kelak harus dapat memberikan suatu saran atau rekomendasi kepada pemerintah, mengenai apa yang perlu diperkuat oleh Indonesia untuk beberapa tahun kedepan.

Bila merujuk juga pada situasi dan kondisi di kawasan, terutama yang berkaitan dengan soal Laut China Selatan (LCS), maka Indonesia perlu memiliki sosok panglima yang memahami betul secara geopolitik permasalahan.

Selain itu, diperulakan sosok yang dapat mengantisipasi adanya kemungkinan terburuk dari tingginya tensi konflik antar negara di Kawasan ini.

Meskipun sudut pandang ini seolah menyiratkan calon panglima dari matra laut tampak lebih berpeluang, bila calon panglima dari dua matra lainnya (udara dan darat) juga memiliki pengetahuan dan suatu rancangan strategis pertahanan maritim, maka peluangnya akan sama kuat.

Sebagai negara maritim, kekuatan pertahanan Indonesia di laut dan udara menjadi hal yang sama pentingnya dengan kekuatan pertahanan di darat.

Potensi ancaman keamanan di laut yang terus berkembang, mulai dari isu LCS, pelanggaran batas wilayah laut Indonesia oleh kapal militer dan penjaga pantai negara lain, pembajakan, sampai dengan maritime terrorism, perlu diperhatikan dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi Presiden dan Komisi I DPR dalam menyeleksi calon Panglima TNI.

Dengan kata lain bahwa pemilihan Panglima TNI perlu juga melihat kebutuhan, situasi ancaman dan arah kebijakan pertahanan.

Rotasi Antarangkatan

Indikator berikutnya yang perlu menjadi pertimbangan bagi presiden dan anggota Komisi I DPR dalam melakukan seleksi calon Panglima TNI adalah keseimbangan rotasi antar angkatan.

Pola rotasi angkatan atau matra dalam penentuan posisi Panglima TNI juga menjadi hal penting untuk meminimalisir potensi kecemburuan atau munculnya ego matra tertentu.

Pada periode pemilihan Panglima TNI sebelumnya, langkah Presiden Jokowi dan DPR dalam pengangkatan Marsekal Hadi Tjahjanto dianggap sebagai suatu langkah yang tepat. Sebab, pemerintah juga turut menimbang posisi Panglima TNI sebelumnya diduduki oleh Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dari Angkatan Darat.

Saat itu penetapan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI yang berasal dari Angkatan Udara juga memberi harapan akan terwujudnya keseimbangan kekuatan antarmatra.

Terpilihnya Marsekal TNI Hadi Tjahjanto pada saat itu memberi angin segar bagi TNI AU. Karena dengannya, Panglima TNI dianggap lebih mengetahui kebutuhan Angkatan Udara dan dapat lebih memperjuangkan adanya pemenuhan kebutuhan alutsista untuk TNI AU.

Harapan yang sama kemudian berkembang di tahun ini, dimana adanya rotasi antar angkatan dalam penentuan Panglima TNI diharapkan mampu menghindari terjadinya ego matra dan mengikis ketimpangan kekuatan antarmatra.

Apabila Panglima TNI yang kelak terpilih berasal dari Angkatan Laut maka setidaknya Panglima TNI dapat juga memahami betul kebutuhan matra laut.

Dengan pergantian kepemimpinan lintas matra, maka setidaknya ada harapan dari rekan-rekan TNI AL agar sosok Panglima TNI yang baru ini dapat lebih memperjuangkan kebutuhan mereka, terutama dari segi pemenuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista).

Memang tidak dapat dipungkiri, kebutuhan alutsista Angkatan Laut dan Udara dapat dikategorikan lebih mahal daripada Angkatan Darat. Namun demikian, sebenarnya Indonesia juga membutuhkan adanya sistem persenjataan dan pertahanan laut yang mumpuni.

Lemahnya pertahanan laut juga akan berdampak pada lemahnya sistem pertahanan negara, dalam dalam sistem pertahanan negara modern semua sistem pertahanan diantara matra-matra saling bersinergis.

Berbicara soal kekuatan antar matra maka sampai dengan saat ini TNI AD masih dipandang sebagai satuan dengan kekuatan yang lebih mumpuni, asumsi ini tentunya tidak selalu mengacu pada besarnya anggaran setiap angkatan karena jika itu yang diperbandingkan maka asumsinya akan menjadi terbalik.

Kuatnya dominasi TNI AD di sisi lain juga dapat terlihat dari regenerasi puncuk pimpinan kekuasaan tertinggi di tubuh TNI, yaitu Panglima TNI, di mana jabatan panglima di dominasi oleh Jenderal TNI AD.

Akan tetapi, setidaknya semenjak era reformasi, telah ada 4 Panglima TNI yang berasal dari Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Satu di antaranya yaitu Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dipilih dan diangkat di masa kepemimpinan Joko Widodo.

Dengan adanya pimpinan dari angkatan selain darat, maka setidaknya ada kebijakan yang diambil presiden untuk menyeimbangkan dan mensejajarkan setiap angakatan, memberikan peluang yang sama kepada setiap angkatan untuk dapat menempatkan perwira terbaiknya dalam jabatan Panglima TNI.

Agenda Reformasi

Pemilihan Panglima TNI pada kenyataannya juga bukan pula hanya soal arah kebijakan pertahanan dan keadilan dalam regenarasi struktural, tetapi juga soal bagaimana kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Panglima TNI dapat selaras dengan kepentingan bangsa dan negara.

Pada masa reformasi, kepemimpinan beberapa Panglima TNI sebelumnya banyak menegaskan soal pentingnya profesionalisme dan netralitas TNI. Jika ada siapa pun anggota TNI yang ingin maju ke dunia politik, maka harus mengudurkan diri dari kemiliteran.

Panglima TNI juga perlu memastikan lembaga dan prajurit TNI tidak menjadi alat politik praktis yang bisa membuat TNI ter-fragmentasi dalam kepentingan politik tertentu.

Walaupun penentuan ditetapkan melalui proses politik oleh presiden dan para wakil rakyat, Panglima TNI juga harus memposisikan dirinya sebagai alat negara yang tunduk pada konstitusi.

Bagi para calon panglima, mereka perlu meyakinkan masyarakat bahwa kekuatan yang dimiliki TNI bukan dipergunakan untuk kepentingan politik penguasa melainkan untuk kepentingan bangsa dan negara.

Panglima TNI yang kelak terpilih juga harus bisa membedakan antara kepentingan politik negara dan kepentingan politik praktis yang lebih berorientasi pada kelompok politik tertentu, tujuannya agar kekuatan TNI tidak disalahgunakan oleh penguasa.

Seorang Panglima TNI juga diharapkan dapat lebih melakukan penyeimbangan kekuatan antar matra dan mendorong sinergitas antara TNI dengan lembaga lainnya, seperti Polri. Dengan sinergitas yang baik, tidak ada lagi ego sektoral dan konflik personel antar lembaga.

Sosok panglima baru juga harus terus memperjuangkan kesejahteraan prajuritnya dan mendorong prajurit TNI untuk tidak lagi ada yang tersangkut aktivitas bisnis, baik secara ilegal maupun legal, karena akan berdampak pada profesionalisme prajurit.

--------------------------------------------------------------

Yusa Djuyandi

Penulis adalah Pengamat Politik dan Pertahanan dari Universitas Padjadjaran, pernah bekerja sebagai Staf Ahli Anggota Komisi I DPR pada tahun 2004-2009.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI