Suara.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana/RUU KUHP dan RUU perubahan atas UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2021. ICJR mencatat setidaknya terdapat 24 isu dari pasal-pasal yang masih perlu dikaji kembali dalam RKUHP.
Peneliti ICJR, Sustira Dirga mengatakan dalam 24 isu tersebut ada masalah terkait over kriminalisasi yang berdampak pada kapasitas lebih dalam lembaga permasyarakatan (lapas), pelanggaran hak privasi warga negara, terancamnya hak kelompok rentan dan minoritas, masih berorientasinya pemidanaan RKUHP pada pemenjaraan serta banyak hal lainnya.
"Hal-hal ini perlu dikaji secara mandalam dan ICJR meminta agar pasal-pasal yang dibahas tidak terbatas pada 14 pasal yang diklaim bermasalah saja oleh pemerintah," kata Sustira dalam keterangan tertulisnya, Jumat (1/10/2021).
Selain itu, ICJR juga meminta agar pembahasan nantinya melibatkan lebih banyak lagi bidang dan kajian ilmu untuk melanjutkan pembahasan RKUHP. Mereka mengharapkan agar pembahasan RKUHP dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak terburu-buru.
Baca Juga: Revisi UU ITE Masuk Prolegnas Prioritas 2021
Bukan hanya itu, ICJR juga meminta supaya setiap pembahasan RKUHP harus dilakukan secara transparan dan akuntabel sebagai jaminan bahwa RKUHP adalah proposal kebijakan yang demokratis.
Sedangkan terkait dengan RUU ITE, ICJR menyerukan supaya seluruh pasal-pasal yang bersifat duplikasi, multitafsir, dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE, seperti pasal 27, 28, 29 dan pasal 36 UU ITE, sudah seharusnya dicabut. Pasalnya, keberadaan pasal-pasal tersebut justru menimbulkan banyaknya masalah dalam sistem peradilan pidana dan isu HAM di Indonesia.
Selain itu, proses fair trial dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE harus kembali diberlakukan dan mendukung pembaruan KUHAP dalam RKUHAP bahwa segala bentuk upaya paksa harus dengan izin pengadilan.
Lebih jauh, ICJR juga menyoroti pasal baru yang perumusannya masih menimbulkan ruang multi tafsir, salah satunya penambahan Pasal 45C mengenai berita bohong.
"ICJR menilai bahwa perlu formulasi yang kuat dari pasal ini apabila ingin diatur dalam UU ITE. Serta terakhir, pengaturan mengenai blocking dan filtering yang juga perlu direvisi agar tetap adanya mekanisme kontrol dan pengawasan," tuturnya.
Baca Juga: Kebakaran di Lapas Tangerang, ICJR, IJRS, dan LeIP Desak Pemerintah Lakukan Ini
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat menargetkan sebanyak 246 RUU dalam Prolegnas Jangka Menengah tahun 2020-2024. Target tersebut merupakan hasil kesepalatan antara DPR dengan pemerintah.
Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan prolegnas merupakan instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terbuka dan sistematis untuk memenuhi kebutuhan hukum nasional.
"Dalam pelaksanaan fungsi legislasi, DPR RI bersama Pemerintah telah menyepakati Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024, yang menargetkan 246 RUU dan 33 RUU dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2021," kata Puan dalam pidatonya di rapat paripurna Masa Persidangan I tahun Persidangan 2021-2022, Selasa (31/8).
Puan mengatakan DPR RI dan Pemerintah dituntut agar selalu cermat dan mempertimbangkan berbagai pendapat, pandangan, kondisi, situasi serta kebutuhan hukum nasional dalam melakukan pembahasan undang-undang.
Sehingga kata Puan, jangka waktu dalam pembahasan suatu undang-undang akan sangat ditentukan dengan tingkat kompleksitas dan perbedaan pandangan terkait substansi rancangan undang-undang.