Suara.com - Upaya mengaitkan Peristiwa 1965 -- sejumlah kalangan menyebutnya sebagai Tragedi 65 -- dengan apa yang disebut sebagai Peristiwa Madiun pada 1948, digambarkan dua sejarawan sebagai "ahistoris dan tidak kontekstual", serta menjadi "alasan pembenaran atas pembunuhan" terhadap mereka yang dituding komunis pada 1965.
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam menyebut mengkorelasikan dua peristiwa berjarak 17 tahun itu seakan menganggap "apa yang terjadi hanyalah aksi balas dendam antara kelompok komunis dan Islam".
Padahal "peran militer tak kalah penting" dalam dua peristiwa tersebut.
Akan tetapi, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Agus Widjojo, berpendapat kedua hal itu semestinya dikaitkan.
Baca Juga: Cerita Bedjo Dituduh Mau Bunuh Soekarno Pasca 1965, Diracun Hingga Dibuang ke Pulau Buru
Sebab, jika tidak dikaitkan dengan Peristiwa 1948, "bisa kita mencurigai bahwa itu adalah upaya untuk menghilangkan jejak".
Baca juga:
- Perempuan dan propaganda terhadap Gerwani, 'Stigma belum hilang sekalipun mereka sudah tidak memberi label lagi'
- Tragedi 65 dalam lagu, film dan 'berbagi ingatan' lewat media sosial - 'Kita semua korban propaganda Orde Baru'
- 'Saya selalu berdoa, kapan bertemu ibu', kisah Francisca Fanggidaej dan tujuh anaknya 'terpisah' sejak G30S
Sementara, aktivis muda Nahdlatul Ulama mengaku memori tentang pembunuhan para kiai dan santri dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, telah "menciptakan fobia dan membuat kelompok Islam mudah termakan hoaks anti-komunis ketika Peristiwa 65 terjadi".
Farida Masrurin, anak "algojo" yang terlibat operasi perburuan pimpinan dan simpatisan PKI di Blitar pada 1968, mengungkap alasan mengapa ayahnya melakukan kekejaman tersebut.
"Cerita bapak itu ada info 'ini lho yang mau membunuh kiai-kiai'. Itu infonya dari tentara... ternyata di pihak mereka, di pihak 65 itu katanya ada daftar [orang-orang] yang mau dibunuh oleh NU (Nahdlatul Ulama), itu juga dari tentara," tutur Farida kepada BBC News Indonesia, Kamis (30/09).
Baca Juga: Rekonsiliasi Nasional, Solusi Cegah Pembantaian Penduduk Bali Terulang
'Pembenaran atas pembunuhan'
Lima puluh enam tahun setelah Peristiwa 65, penyelesaian tragedi kemanusiaan, yang merenggut setidaknya 500.000 korban jiwa dan membuat belasan ribu orang ditahan tanpa proses pengadilan itu jalan ditempat.
Belakangan, muncul upaya sejumlah pihak mengaitkan Tragedi 65 dengan peristiwa pemberontakan PKI di Madiun belasan tahun sebelumnya, yang menewaskan banyak tokoh ulama dan santri.
Namun, sejarawan dari Universitas Nasional di Jakarta, Andi Achdian, mengatakan perbandingan itu "tidak kontekstual dan ahistoris".
"Saya kira memang perbandingannya ahistoris, jadi konteksnya berbeda. Yang pertama adalah konteksnya revolusi pada pembentukan negara baru dan yang kedua terkait konsolidasi negara baru yang di situ ada persaingan politik internal," jelas Andi kepada BBC News Indonesia, Kamis (30/09).
"Memang ada kajian-kajian yang menyebut ada kekerasan terhadap kiai dan sebagainya. Itu tidak bisa disangkal, dan saya kira persoalannya lebih pada pembenaran saja terhadap tindak kekerasan pada 1965," kata Andi.
Aswi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkap pendapat yang senada.
"Peristiwa Madiun pada tahun 1948 itu dijadikan alasan, karena dalam peristiwa itu ada beberapa kiai yang terbunuh, itu dijadikan alasan untuk pembenaran terhadap pembunuhan yang dilakukan terhadap orang-orang PKI atau yang dituduh PKI pada tahun 1965," ujar Asvi.
Ia menambahkan, wacana mengaitkan Peristiwa Madiun dengan Peristiwa 65 seolah-olah menjadikan kasus ini sebagai terbatas pada persoalan konflik antara kelompok Islam dengan komunis.
"Padahal, dalam Peristiwa 65 yang tak kalah pentingnya adalah peran tentara, peran militer," katanya.
Akan tetapi Gubernur Lemhanas Agus Widjojo berkukuh bahwa kedua peristiwa itu harus dikaitkan.
"Justru kalau tidak dikatikan dengan dengan 48, maka bisa kita mencurigai bahwa itu adalah upaya untuk menghilangkan jejak."
"Padahal kita tahu pada 1 Oktober [1965] pagi itu ditemukan jenazah para perwira Angkatan Darat di Lubang Buaya. Dan sebelumnya, way back pada 1948, mereka melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah dengan 'menusuk' perjuangan bangsa Indonesia dari belakang.
"Dan mereka melakukan pembunuhan massal, pelanggaran HAM berat," jelas Agus.
Apa yang terjadi dalam Peristiwa 48?
Andi mengungkapkan persaingan politik antara kekuatan kiri dan kanan menjadi cikal bakal pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948.
"Amir Sjarifuddin yang kiri sebagai perdana menteri kan dituntut mundur dan menyerahkan kekuasaan pada [Muhammad] Hatta."
Kabinet Amir Sjarifuddin lengser dan digantikan Kabinet Hatta akibat kesepakatan dalam Perjanjian Renville -- yang ditanda tangani oleh Amir Sjarifuddin -- yang membuat wilayah Indoensia semakin menyusut.
Akibat perjanjian itu, Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera sebagai wilayah Indonesia.
Amir kemudian membentuk Front Demokrasi Indonesia (FDR) yang kemudian berafiliasi dengan PKI, Barisan Tani Indonesia (BTI).
Adapun, kata Andi, kelompok komunis pada saat itu belum memiliki kekuatan besar seperti saat 1965. Kala itu, organisasi komunis adalah kelompok-kelompok kecil dan tidak terorganisir dengan baik.
"Saat itulah Muso datang dan ingin memperbaiki kekuatan komunis saat itu di Indonesia," ujarnya.
Untuk menyebarkan gagasannya, Musso beserta Amir dan kelompok-kelompok kiri lainnya berencana untuk menguasai daerah-daerah yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo.
Banyak korban jiwa dalam pemberontakan itu, termasuk tokoh ulama dan santri, serta gubernur Jawa Timur kala itu, Ario Soerjo.
Namun, Andi menjelaskan bukan hanya itu saja yang menjadi pemicu Peristiwa 48.
Dikatakan olehnya, konflik antara komunis dan kelompok Islam Masyumi saat itu, telah menciptakan ketegangan antara keduanya.
"Ada banyak faktor, selain juga unsur persaingan di antara kekuatan militer saat itu, Siliwangi yang sedang hijrah di Jawa Tengah," kata Andi.
Asvi Warman Adam dari LIPI menambahkan intrik dalam internal tentara terjadi ketika rencana pemerintah menerapkan kebijakan restrukturisasi-rasionalisasi mendapat tanggapan berbeda dari kalangan militer dan laskar rakyat.
"Ketika pemerintah hanya memiliki biaya terbatas tentu mereka harus diseleksi mana yang menjadi tentara nasional Indonesia, mana yang tidak bisa ditampung."
Baca juga:
- Cerita empat penyintas 1965 yang 'diasingkan' di kamp khusus tapol perempuan Plantungan
- Gatot Nurmantyo sebut TNI 'disusupi PKI': Perdebatan usang yang harus ditertibkan, kata pengamat
- Dokumen rahasia AS soal Peristiwa 1965 diungkap, TNI 'tak akan ubah sejarah'
"Dalam konteks itu, banyak yang tidak puas, dari kalangan laskar dan berbagai pihak yang merasa sudah berjuang tetapi kenapa tidak diterima di dalam tentara. Itulah yang menurut saya yang utama memicu Peristiwa Madiun itu," ungkap Asvi.
Senada dengan Asvi dan Andi, David Charles Anderson dalam bukunya, The Military Aspects of The Madiun Affair, yang terbit pada 1974, berargumen meletusnya Peristiwa Madiun lebih pada prakondisi berupa perselisihan internal tentara.
Ia menambahkan peristiwa itu tak lepas dari rekayasa politik dalam spektrum rivalitas antara kaum kiri and kanan.
Memori 'fobia komunis'
Peristiwa Madiun, menurut Andi Achdian, menjadi pemicu apa yang disebutnya sebagai "memori anti-komunis" dan ketakutan terhadap komunis yang terus langgeng, hingga Peristiwa 65 meletus.
Hal itu ia dapati ketika melakukan riset di wilayah Kediri di Jawa Timur.
"Kalau kita lihat dalam percakapan sehari-hari di kalangan warga NU -- karena sebagian besar mereka NU -- ada cerita-cerita yang kuat tentang [Peristiwa] 48."
"Dan itu jadi cerita tutur bahwa Komunis pernah jadi kekuatan yang bentrok berdarah dengan Islam saat itu dan itu cukup hidup," jelas Andi.
Itulah sebabnya, sentimen anti-PKI mudah membara di Jawa Timur kala Peristiwa 65.
Memori tentang pembunuhan para kiai dan santri dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, yang telah menciptakan fobia dan membuat mereka mudah termakan hoaks anti-komunis ketika Peristiwa 65 berkecamuk, juga diakui oleh aktivis muda NU di Yogyakarta, Dianah.
Ia mendapati hal itu ketika melakukan pertemuan rekonsiliasi antara penyintas dan kelompok NU dengan penyintas Peristiwa 65 di Blitar, Jawa TImur.
"Misalnya peristiwa Blitar, ketika dipertemukan NU dan penyintas, dari penyintas itu mengaku bahwa mereka mendapat kabar orang-orang PKI akan dibunuh oleh NU yang kuburannya sudah disiapkan di lapangan dengan alun-alun. Kemudian di pihak NU juga dikabarkan orang-orang PKI akan mengulang peristiwa Madiun," jelas Dianah.
Alasan yang sama, membuat Farida Masrurin, anak "algojo" yang terlibat operasi perburuan pimpinan dan simpatisan PKI di Blitar pada 1968, menganggap bahwa, baik kelompok komunis dan agamis, adalah korban dari kedua peristiwa tersebut.
"Jadi kami tidak pernah ngomong benar salah dalam konteks pemberontakan di Madiun, dalama konteks pemberontakan yang ada di Jakarta, tapi kami menempatkan kami sama-sama korban. Jadi alangkah baiknya kami saling memaafkan," kata dia.
Adapun, Gubernur Lemhanas, Agus Widjojo yang menginisiasi Simposium Nasional Tragedi 65 pada 2016, mengatakan elemen kunci dari rekonsiliasi bukanlah mencari yang benar dan salah, melainkan pencarian kebenaran.
"Bagi saya, elemen kunci menuju rekonsiliasi bukan permintaan maaf. Elemen kunci dalam rekonsiliasi itu adalah tahapan truth seeking, pencarian kebenaran.
"Bukan who did wrong (siapa yang melakukan kesalahan), tapi what went wrong (apa yang salah). Itu yang penting," ujar putra dari Sutoyo Siswomiharjo, jenderal Angkatan Darat yang gugur dalam Peristiwa 65.
"[Jika] kita tidak akan pernah belajar tentang what went wrong dan suatu saat di masa depan, sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, kita bisa tersandung lagi pada kondisi yang sama," kata Agus.