Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat sejak awal kehadiran dan kegiatan penambangan di daerah tersebut sudah terekam dan tersebar di berbagai media pada awal 2019.
Tapi, Kementerian ESDM tidak melakukan pengecekan informasi dan tidak menyelesaikan masalah di lokasi tersebut dan justru memberikan sertifikat Clean and Clear (CnC) Tahap 1, sehingga menjadi pembenaran bagi perusahaan diklasifikasi seolah bebas masalah.
Jatam mempertanyakan Gubernur dan Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sulut mengeluarkan SK 503/DPMPTSP/IUP-OP/241/X/2020 dan melakukan pencatatan pada sistem Mineral One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada entitas pertambangan bermasalah ini yang diduga juga masih belum memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
“Gubernur, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Energi Sumberdaya Mineral Sulawesi Utara harus segera melakukan evaluasi, mencabut dan membatalkan pemberian izin pertambangan emas PT Bulawan Daya Lestari ini, apalagi telah memicu konflik berdarah dan diiringi pelanggaran hak asasi manusia dan hak Masyarakat Adat. Kami pun mendesak agar dokumen-dokumen tersebut harus dibuka ke public”, ujar Koordinator JATAM, Merah Johansyah.
Sebagai informasi, PT. Bulawan Daya Lestari (BDL) tercatat memiliki Izin Usaha Pertambangan seluas 99.84 hektar.
Berdasarkan penelusuran yang ada, PT BDL merupakan milik perseorangan atas nama Edwin Efraim Tanesia (95 persen saham kepemilikan) dan Denny Ramon Karwur (5 persen saham kepemilikan).
Sementara dalam struktur perusahaan, Edwin Efraim Tanesia menjabat sebagai Komisaris, Denny Ramon Kawur sebagai Direktur Utama bersama Jetty Roeroe S.IK dan Michael Tumbol sebagai Direktur.