Suara.com - Lebih dari 50 tahun setelah Peristiwa 65 berkecamuk, sejumlah generasi muda menawarkan narasi alternatif sejarah 1965 melalui media sosial dan seni sebagai bentuk 'perlawanan untuk pengungkapan kebenaran'.
Bayangan sekelompok perempuan muda setengah telanjang tengah menari diiringi lagu Genjer-Genjer di depan para jenderal dalam kegelapan malam masih membekas di benak kebanyakan orang yang menghabiskan masa kecilnya menonton film Pemberontakan G30S/PKI yang ditayangkan tiap tahun di TV pada zaman pemerintahan Soeharto.
Konotasi negatif tentang para perempuan yang dituding terlibat dalam peristiwa yang disebut sebagai Geger 65 itu tak lekang oleh waktu, bahkan setelah Orde Baru lengser pada 1998.
Seperti yang pernah dialami Indraswari Agnes, pekerja industri kreatif berusia 33 tahun yang pernah disebut "Gerwani" oleh rekan kerjanya, hanya karena beda pendapat soal proyek yang mereka garap.
Baca Juga: Jejak Tragedi 65 di Lubang Buaya Kentungan, Brigjen Katamso Dipukul Lalu Dihujani Batu
Baca juga:
- 'Saya dituduh anggota Gerwani yang mencukil mata jenderal'
- Penari asal Kupang yang dituding PKI: Diperkosa, katong diperlakukan seperti anjing, 'Biar Tuhan yang mengadili'
- 'Dosa turunan' dicap PKI, keluarga penyintas 65 masih mengalami diskriminasi: 'Jangan bedakan kami'
Sebutan itu merujuk pada organisasi perempuan yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dituding terlibat dalam pembunuhan para jenderal.
"Kenapa sih mesti konotasi yang negatif itu ada di Gerwani? Ini kan hal yang dari zaman saya SD sampai dewasa dijejali cerita kaya gitu, kalau Gerwani itu buruk dan segala macam," tutur Agnes ketika mengawali perbincangan dengan BBC News Indonesia.
Bersama kawan-kawannya, Agnes aktif dalam sejumlah proyek kolektif, Warisan Ingatan dan 1965 Setiap Hari, yang memberi edukasi pada generasi muda dan mengkampanyekan narasi alternatif tentang Peristiwa 65 melalui platform media sosial.
"Makin ke sini, rasanya kawan-kawan muda sudah mulai kritis untuk mengenal atau memahami apa sih yang terjadi di tahun 1965-1966, tragedi kemanusiaan apa sih."
Baca Juga: Alissa Wahid Sebut Letjen Purn Agus Widjojo Tokoh Tepat Selesaikan Tragedi 65
"Ternyata ini bukan sekedar politik doang lho. Ada [sekitar] 500.000, nyaris satu juta, yang dibunuh di masa itu. Terus ada kebohongan yang dibuat selama 30 tahun oleh Soeharto," tuturnya.
Aksi mengkampanyekan narasi alternatif sejarah 65 juga digaungkan oleh Dialita, kelompok paduan suara beranggotakan para perempuan penyintas Peristiwa 65. Mereka menyanyikan lagu-lagu yang dibuat para tahanan politik ketika di balik jeruji besi.
"Kami menyuarakan suara persahabatan dan perdamaian, melakukan perlawanan untuk pengungkapan kebenaran melalui media musik, dan itu diterima oleh banyak orang-orang muda," kata Uchikowati Fauzia, salah satu anggota Dialita yang juga generasi kedua Peristiwa 65.
Kebanyakan dari perempuan yang dituding terlibat dalam Peristiwa 65, ditahan bertahun-tahun tanpa proses pengadilan. Kekerasan menjadi pengalaman yang jamak mereka rasakan.
Setelah pembebasan, mereka harus berjibaku dengan trauma dan stigma akibat stereotip yang disematkan pada mereka oleh penguasa sebagai 'penyiksa para jenderal' dan menggemari 'pergaulan bebas'.
Angin segar reformasi
Stigma itu kian langgeng meski Peristiwa 65 sudah berlalu ketika pada era 1980-an, pemerintah Indonesia menugaskan sutradara Arifin C Noer membuat film yang mengisahkan Peristiwa 65 dari kacamata pemerintah.
Film berjudul Pengkhianatan G30S/PKI itu menjadi tontonan wajib semua penduduk Indonesia hingga akhirnya Soeharto lengser pada 1998 dan disusul dengan Reformasi.
"Di situlah saya merasakan reformasi itu sebagai sebuah angin segar. Kenapa? Karena saya dan teman-teman baru [merasa] ini ada sebuah perubahan," ujar Uchikowati ketika ditemui di rumahnya pertengahan Juni silam.
Setelah itu, organisasi yang didirikan oleh para korban atau penyintas 65 bermunculan. Dalam pertemuan sesama penyintas, mereka bertukar pikiran dan pengalaman.
"Ketika kami bercerita, ternyata kami punya pengalaman yang sama, semua isinya stigma, trauma, ya pokoknya penderitaan. Tapi ketika kami bercerita penderitaan itu, saya dan teman-teman tertawa, tapi menangis."
"Ternyata begitu udah ketemu, pulang, kok lega ya. Saya tidak merasa sendiri, tidak merasa paling berat karena ternyata ketika ketemu, 'Oh itu [ada yang] lebih berat lagi'.
Pada 2005, bertepatan dengan 40 tahun Peristiwa 65, generasi kedua dari tragedi itu membuat buku antologi puisi, cerpen dan esai, berjudul 'Tragedi Kemanusiaan 65'.
Dalam buku itu, Uchi menyumbang satu tulisan bertajuk Natal Kelabu.
"Ternyata menulis itu juga menjadi healing untuk kami."
"Dengan berdamai dengan diri sendiri itu membuat saya bisa lebih melihat dengan jernih peristiwa ini, bisa lebih melihat ke depan seperti apa," tutur Uchi.
Bermula dari senandung, lahirlah Dialita
Pertemuan sesama penyintas berlanjut dengan kunjungan ke eks-tapol perempuan yang telah memasuki usia senja.
Untuk membiayai kunjungan itu, kata Uchi, terbesit ide untuk mengumpulkan dan menjual barang-barang bekas.
"Nah ketika sortir itulah kami berkumpul, kami sambil rengeng-rengeng (bersenandung).
Baca juga:
- 'Saya dituduh anggota Gerwani yang mencukil mata jenderal'
- Kisah anak algojo PKI di Blitar selatan yang mendampingi penyintas kasus 1965: 'Saya minta maaf'
- 'Dosa turunan' dicap PKI, keluarga penyintas 65 masih mengalami diskriminasi: 'Jangan bedakan kami'
"Terus ada yang bilang gini, 'Kenapa kita tidak bikin paduan suara ya'. Paduan suara juga bisa buat ngamen, kita bisa dapat uang, uangnya bisa kita gunakan juga untuk ibu-ibu, untuk biaya-biaya ini." jelas Uchi.
Nama Dialita dipilih setelah salah satu dari mereka mengusulkan nama tersebut, yang berarti "di atas lima puluh tahun".
"Karena waktu itu kami rata-rata kan [berusia] di atas 50 tahun. Terus disetujui, dan jadilah paduan suara Dialita."
Paduan suara beranggotakan para penyintas 65 itu lahir pada 4 Desember 2011.
Lagu-lagu karya tapol di tahanan
Hal yang istimewa dari paduan suara ini adalah lagu-lagu yang mereka nyanyikan merupakan lagu karya para tapol selama dalam penjara.
Uchi mengungkapkan, lagu-lagu itu sudah dikumpulkan oleh sesama anggota Dialita, Utati Koesalah - yang menjadi tapol tahanan politik tanpa proses pengadilan - sejak 2000.
"Kita belum tau mau diapain, tapi kalau sudah dikumpulkan, mungkin suatu saat ada orang-orang muda bisa menyanyikan lagu-lagu ini dan bisa dikenal bahwa ibu-ibu di dalam juga berkarya."
Salah satu lagu dengan lirik menyentuh yang dinyanyikan Dialita adalah lagu Ujian.
Mudjiati, yang juga bergabung dalam paduan suara tersebut, mengisahkan sejarah lagu itu bermula ketika ia dan Utati ditahan di penjara Bukit Duri.
Karena usianya pada saat itu masih belia dan jauh dari orang tua, ia kerap merindukan ayah dan ibunya. Bersama kawan-kawan tapol sebayanya, ia kerap berbagi tangis di kala rindu dan lapar mendera.
"Ibu-ibu ini ada yang mau menghibur kita, mau ngajak kita supaya kita jangan putus asa, terjadilah itu dibuatkan sajak, dijadikan lagu untuk memberikan kita kekuatan, yaitu lagu Ujian."
Mudjiati mengatakan, Ujian diciptakan oleh Siti Yus Zubairah, seorang guru yang juga bernasib sama seperti tapol perempuan yang lain, ditahan tanpa proses pengadilan.
Lagu itu menjadi pembuka album pertama yang dirilis pada 2016. Ketika latihan bernyanyi dan pentas, Dialita dibantu oleh Martin Lapanguli — yang turut diasingkan ke Pulau Buru — sebagai pelatih dan konduktor.
Martin Lapanguli meninggal pada Agustus 2021 lalu.
'Perjumpaan dengan generasi muda'
Selama beberapa tahun terakhir, sebelum pandemi, Dialita kerap menggelar konser di sejumlah daerah, termasuk berkolaborasi dengan musisi muda seperti Bonita, Frau dan Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca.
Dituturkan Uchi, pentas mereka di Jogja Biennale pada 2015 menjadi "titik balik" dari suatu perjumpaan.
"Itu sebuah titik ketika Dialita bertemu, ada perjumpaan Dialita dengan orang muda, yang orang muda ini bukan keluarga 65, bukan aktivis, tapi mereka adalah seniman, dan juga mahasiswa.
"Perjumpaan itu lah yang membuat Dialita itu menjadi berubah, tidak hanya aku ini korban, tapi Dialita menjadi sesuatu yang diterima oleh anak muda yang sama sekali tidak ngerti 65," katanya.
Lebih lanjut Uchi mengatakan, bagi para penyintas, menyanyi bisa "memulihkan diri dari trauma".
Sementara bagi pendengar, menurut Uchi, lagu Dialita "bisa memberi ruang" bagi generasi muda untuk mengenal Peristiwa 65 melalui lagu-lagu yang dinyanyikan.
"Pertanyaan-pertanyaan dari anak-anak muda — tentu dari hati mereka — kenapa lagu itu diciptakan di penjara? Kenapa ibu-ibu dipenjarakan? Apa yang menjadi penyebabnya?"
"Pertanyaan-pertanyaan itulah ternyata setelah mendengar lagu-lagu Dialita menimbulkan sejumlah pertanyaan dan pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian anak-anak muda mencari tahu. Sudah banyak tersedia media sosial, kami tidak perlu menggurui," terang Uchi.
"Akhirnya kami punya kesimpulan bahwa melalui lagu-lagu itu lah kami bisa melakukan sebuah perlawanan dengan cara mungkin baru, karena sebelumnya melalui advokasi."
Diskusi untuk 'berbagi ingatan'
Seperti diungkapkan oleh Uchi, di media sosial, bermunculan kolektif sejumlah generasi muda yang menyuarakan narasi alternatif tentang 65, salah satunya adalah Warisan Ingatan.
Kolektif ini memanfaatkan platform webinar yang marak di tengah pandemi Covid-19, dengan mengundang penyintas sebagai pembicaranya.
Awalnya, diskusi daring ini dimaksudkan untuk "berbagi ingatan", kata Gloria Truly Estrelita, salah satu pencetus ide Warisan Ingatan, yang juga peneliti tentang 65.
"Dialog antar generasi, tujuannya begitu, makanya kenapa judulnya Warisan Ingatan, dan kenapa juga akhirnya kita bikin ruang seperti itu, karena memang untuk melengkapi apa [yang dilakukan] kawan-kawan yang lain yang sudah memulai pergerakan terkait isu ini," ujar Truly.
Kolektif lain adalah 1965 Setiap Hari yang menggunakan platform media sosial seperti siniar (podcast), instagram dan situs web untuk menggemakan narasi alternatif tentang 65. Indraswari Agnes aktif di dua kolektif tersebut.
"Kami di Warisan Ingatan dan 1965 Setiap Hari selalu bilang, kita semua itu korban propaganda Orde Baru, bukan cuma keluarga dalam sejarah doang, tapi kita semua itu korban, karena ada sejarah atau ada masa lalu negara ini yang dihilangkan, atau dianggap baik-baik saja," cetus Agnes.
https://www.instagram.com/p/CR-x1IxFAXp/?utm_source=ig_web_copy_link
Para pemenang kehidupan
Cara lain ditempuh oleh fotografer Adrian Mulya, yang mendedikasikan proyek fotonya untuk para perempuan penyintas 65.
"Saya tuh produk dari Orde Baru, lalu dalam pikiran saya ada rasa penasaran tentang Gerwani, karena hasil cuci otak Orde Baru masuk ke otak saya, gambaran Gerwani yang kejam dan segala macam," ujar Adrian.
Narasi sejarah yang ia dapat dari pemerintah Orde Baru runtuh kala Adrian berkenalan langsung dengan para perempuan penyintas 65.
Perjumpaan itu yang kemudian menginspirasinya membuat proyek fotografi mendokumentasikan para perempuan penyintas Peristiwa 65 di berbagai daerah.
Butuh tujuh tahun lamanya bagi Adrian untuk memungkasi buku foto yang ia beri judul 'Pemenang Kehidupan' ini.
Ada 20 potret para penyintas yang ia abadikan dengan kamera analog medium formatnya.
Utati dan Mudjiati, termasuk menjadi subjek dalam buku tersebut.
"Saya memberi 'label' para mbah ini winners of life, pemenang kehidupan, karena buat saya dengan jalan panjang para mbah ini membuat mereka menjadi winners of life."
Sutradara Fanny Chotimah, juga mengabadikan hari-hari terakhir eks tapol perempuan, Kaminah dan Kusdalini, dua sahabat yang bertemu di penjara sekitar setengah abad yang lalu karena dituding terlibat PKI.
Sama seperti yang lain, keduanya tak pernah menjalani proses pengadilan.
Oleh kritikus film Hikmat Darmawan, karya Fanny berhasil menguak sisi lain kehidupan para penyintas 65 dengan gaya observasional - salah satu metode dalam film dokumenter yang memerlukan pendekatan yang sangat intim dengan para subjek - sehingga mereka "sampai pada tahap tak sadar kamera".
Pendekatan ini, kata Hikmat, membuat pemirsa merasa "duduk bersama" dan "mengamati" para subjek dalam film itu.
Kepada BBC Indonesia, Fanny berharap karyanya bisa menjadi "tambahan informasi" dan "ruang diskusi" bagi generasi muda tentang Peristiwa 65.
"Mereka tidak ada ketakutan akan stigma. Mereka lebih mudah punya empati terhadap para penyintas dan itu semoga hal baik untuk mereka tetap Jas Merah, jangan melupakan sejarah.
"Jadi meskipun mereka tidak terimbas secara langsung tapi sejarah bangsa ini juga sejarah kita, semoga keingintahuannya masih tinggi untuk membicarakan itu, atau untuk mendukung para penyintas," kata Fanny.
'Berpacu dengan waktu'
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan upaya mentransformasikan pengetahuan tentang sejarah 65 ke generasi muda "sangat penting agar kita tidak lagi mengulangi sejarah kelam".
Di sisi lain, kata Ami, generasi saat ini "berpacu dengan waktu" sebab kebanyakan para penyintas kini sudah menginjak usia senja.
"Satu per satu semakin lupa akan apa yang terjadi dan kemudian meninggal. Sementara upaya-upaya untuk keadilan, kebenaran dan pemulihan, maupun rekonsiliasi itu belum dilakukan," ujar Ami.
Baca juga:
- Nasib rekonsiliasi 'jalan di tempat ' di tengah kegaduhan fobia komunisme
- Cerita mantan guru dan polisi yang dilibatkan dalam penumpasan PKI di NTT: Menggiring korban ke lubang eksekusi dan tahanan, ‘bapa doakan kami’
- Setelah bertemu Wiranto, Komnas HAM apresiasi usaha atasi ujaran kebencian
Kendati begitu, Ami menyebut inisiatif yang dilakukan saat ini dengan menawarkan narasi alternatif tentang 65 sebagai "keberpihakan terhadap korban" yang memungkinkan rekonsiliasi di level masyarakat lebih bisa diterima, ketimbang rekonsiliasi yang dilakukan negara.
"Seharusnya diakui bahwa memang terjadi kekerasan dan pelanggaran hak orang sepanjang tahun 1965-1970. Maka harus ada proses-proses minta maaf, ada proses rekonsiliasi yang sampai saat ini belum dilakukan melalui mekanisme UU pengadilan HAM atau melalui negara," katanya.
Adapun, April silam, Presiden Joko Widodo menyiapkan unit kerja penanganan kasus HAM — termasuk tragedi 65 sebagai 'penyelesaian secara kemanusiaan'.
Timbul Sinaga, Direktur Instrumen HAM di Kemenkumham mengatakan tugas dari badan yang diberi label Unit Kerja Presiden Untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat (UKP-PPHB) ini adalah memenuhi hak dasar keluarga dan korban pelanggaran HAM berat berdasar kebutuhan mereka, termasuk pendidikan, kesehatan dan bantuan finansial.
Keluarga dan korban pelanggaran HAM berat yang akan dipulihkan hak dasarnya adalah mereka yang terlibat dalam kasus-kasus yang pernah diselidiki Komnas HAM.
Presiden Jokowi, pemerintah akan membentuk panitia seleksi (pansel) untuk memilih anggota pelaksana yang terdiri dari ketua, wakil ketua dan anggota dari tokoh masyarakat.
Dalam perpres itu juga disebutkan bahwa pemerintah tidak akan mengulangi tragedi pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dalam hal ini, kata Timbul, tak ada klausul "maaf" dari pemerintah, tapi "menyesali".
Uchikowati Fauzia, yang ibunya ditahan selama tujuh tahun tanpa diadili karena dianggap terlibat G30S, mengaku tak berharap banyak pada rencana pemerintah sebab "sudah terbiasa dengan harapan-harapan semu".
Namun, ia menegaskan upaya "rekonsiliasi tetap harus disertai pengungkapan kebenaran".
"Apa yang sudah terjadi pada tahun 65 itu? Karena itulah yang paling penting, tentang kebenaran itu. Kami dari generasi kedua juga ingin tahu kenapa sih ibu saya ditahan sampai tujuh tahun tanpa proses hukum".
Mudjiati, penyintas 65 yang berpindah dari satu tahanan satu ke tahanan yang lain tanpa proses pengadilan selama 14 tahun, justru mengaku pasrah.
"Saya nggak mikirkan yang terlalu muluk-muluk. Udah jalani aja udah. Kalau memang nanti ada pemulihan, syukur. Nggak, ya udah lah. Saya sudah punya kalian-kalian mau dengar cerita kami aja udah, itu sudah menghibur."
Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Peristiwa 1965 - Kisah para perempuan dan minoritasdi situs BBC News Indonesia. Anda juga bisa menyimak kisah ini di Siaran Radio Dunia Pagi Ini BBC Indonesia dan siniar kami di Spotify.