Polemik TWK Pegawai KPK, Efeknya Bisa Picu Ketidakpatuhan Publik ke Hukum

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 28 September 2021 | 15:23 WIB
Polemik TWK Pegawai KPK, Efeknya Bisa Picu Ketidakpatuhan Publik ke Hukum
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dalam tiga hari ke depan, 56 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) rencananya akan secara resmi diberhentikan dari jabatan mereka.

Jelang tenggat waktu yang semakin pendek, ratusan mahasiswa di Jakarta, Senin (27/09), berunjuk rasa mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan pemberhentian itu.

Pakar hukum menilai Jokowi bakal membuat preseden buruk jika tidak menjalankan rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM soal proses alih status pegawai KPK yang bermasalah.

Adapun mantan pimpinan KPK menyebut "pelemahan KPK" berpotensi memicu korupsi besar-besaran jelang musim pemilu tahun 2024.

Baca Juga: Tolak Temuan Maladministrasi TWK, ICW: Pimpinan KPK Makin Arogan dan Tak Tahu Malu

Meski begitu, pejabat di lingkaran Istana Negara membuat klaim bahwa setiap tindakan Jokowi selalu didasarkan pada hukum, termasuk dalam persoalan TWK. Lantas akan ke arah mana permasalahan ini bergulir?

Persis satu tahun lalu, dua mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara, bernama Himawan Randi dan Muhammad Yusuf, meninggal dunia saat berunjuk rasa menentang apa yang mereka anggap sebagai pelemahan KPK.

Setelah 12 bulan berlalu, sekelompok mahasiswa lainnya masih mendesak Presiden Jokowi turun tangan menghentikan "pelemahan KPK".

Secara lebih spesifik, ratusan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) meminta Jokowi membatalkan pemberhentian 56 pegawai KPK yang tidak lolos TWK.

"Kami mendesak Jokowi bersikap tegas dan tidak mendelegasikan kewajiban kepada bawahannya," kata juru bicara BEM SI, Muhammad Rais.

Baca Juga: Firli Cs Tolak Rekomendasi ORI soal Maladministrasi TWK, Novel: Luar Biasa Memalukan!

Nasib 56 pegawai KPK, yang terdiri dari pejabat setingkat direktur hingga kepala satuan tugas penyidikan, hampir memasuki babak akhir. Merujuk pernyataan pimpinan KPK, mereka akan diberhentikan secara hormat pada 30 September mendatang.

Namun para pegiat antikorupsi dan kelompok mahasiswa menilai pemberhentian dapat dibatalkan.

Alasannya, Ombudsman sudah membuat rekomendasi resmi yang meminta Jokowi mengambil alih penetapan hasil TWK yang mereka sebut maladministrasi.

'Memberi contoh atau membuka persoalan lebih luas'

Merujuk praktik ketatanegaraan di Swedia, salah satu negara pertama yang menjalankan konsep Ombudsman, pakar hukum administrasi di Universitas Gajah Mada, Richo Andi Wibowo, menyebut Jokowi semestinya mematuhi rekomendasi soal TWK.

"Di Swedia, jika ditelepon pimpinan Ombudsman, kepala pemerintahan pun akan menerimanya dalam kondisi berdiri. Jadi sedemikian hormatnya mereka pada Ombudsman," kata Richo saat dihubungi.

"Jadi ini bukan kesempatan Presiden Jokowi lepas tangan, tapi justru untuk menunjukkan dia patuh pada rekomendasi Ombudsman.

"Ini kesempatan untuk memberikan contoh baik. Ke depannya, jajaran Jokowi dan pemerintahan periode berikutnya juga akan terdorong menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman," ujarnya.

Richo khawatir pengabaian Jokowi terhadap rekomendasi resmi Ombudsman terkait KPK akan memicu persoalan hukum yang lebih luas. Dia merujuk hasil riset akademisi di Katholieke Universiteit Leuven, Belgia.

"Tahun 2011, akademisi Leuven meriset alasan masyarakat Eropa Timur yang lebih tidak patuh hukum dan berbeda dengan kondisi di Eropa Barat," ujar Richo.

"Jawabannya, di Eropa Timur hukum kerap dilanggar oleh pemerintah. Itu membuat masyarakat tidak percaya pada pemerintah dan mengakibatkan beragam ketidakpatuhan hukum.

"Itu membuktikan, kalau Jokowi mengabaikan rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM, dia akan membuka situasi yang lebih rumit karena memunculkan orang-orang yang punya justifikasi mengabaikan hukum," kata Richo.

Saat dihubungi, anggota Ombudsman Robert Endi Jaweng enggan bicara banyak tentang sikap Jokowi terhadap seruan lembaganya.

"Tunggu hari Rabu agar kami tidak terlihat terlalu banyak bersuara," ucap Robert.

Berdasarkan Pasal 38 UU 37/2008, pihak terlapor dan pimpinan terlapor wajib menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman.

Dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan mengenai dugaan penyimpangan prosedur dalam proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, pihak terlapor adalah KPK dan Badan Kepegawaian Negara. Dua lembaga ini berada dalam ranah eksekutif yang dipimpin presiden.

Terkait beragam tudingan itu, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin menyebut Jokowi selalu bertindak berdasarkan hukum.

"Jangan paksakan presiden melanggar aturan. Jokowi sangat taat pada hukum dan perundang- undangan," ujarnya lewat pesan singkat.

Ngabalin berkata, TWK hingga pemberhentian 56 pegawai KPK tidak perlu lagi dipersoalkan. "Mereka bisa mengabdi di lahan yang lain," tuturnya.

Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas khawatir pemberhentian puluhan pegawai KPK ini akan memperburuk pemberantasan korupsi.

Busyro merujuk sejumlah pembuatan dan revisi undang-undang, antara lain Cipta Kerja dan Minerba, yang disebutnya membuka celah kongkalikong antara pejabat negara, politikus, dan pengusaha.

Menurut Busyro, korupsi masif berpotensi terjadi jelang pemilu tahun 2024. KPK yang tidak independen dan tidak progresif disebutnya tak akan mampu mengatasi politik transaksional.

"Masalah paling fundamental dari korupsi politik adalah demokrasi transaksional berupa pemilu yang berbasis suap. Ini dicukongi rentenir politik atau taipan bermasalah," kata Busyro.

"Jika UU Parpol, Pemilu, dan Pilkada tidak direvisi, maka akan tercipta ongkos politik yang sangat tinggi untuk peserta pilkada, pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kalau tidak diubah, berarti masih ada peluang terlibatnya taipan bermasalah tadi," ujarnya.

Busyro merujuk pengalaman pimpinan KPK periodenya yang menyelamatkan potensi kerugian negara sekitar Rp264 triliun akibat berbagai suap dalam penerbitan izin usaha pertambangan.

"Salah satu yang kami sentuh adalah mafia tambang. Di berbagai provinsi itu bancakan para mafia dan di belakangnya adalah taipan," ucapnya.

"Kami kumpulkan kepala daerah dan perwakilan pengusaha. Kami persuasi, tidak langsung kami tindak. Yang tidak merespons kami tingkatkan ke penindakan.

"Hasilnya saat itu banyak dari sekitar 3000 izin usaha tambang yang sesuai regulasi kemudian dicabut. Tapi sangat mungkin pola ini meningkat pada pemilu 2024," kata Busyro.

Kepada pers di Jakarta, juru bicara KPK, Ali Fikri menyatakan lembaganya tidak akan menanggapi pernyataan berbagai kelompok terkait TWK. Ia berkata KPK ingin menunjukkan hasil kinerja mereka lewat pencegahan dan penindakan korupsi.

"KPK melalui berbagai upaya pencegahan, pendidikan, juga penindakan berusaha untuk terus membuktikan hasil kerjanya kepada publik. Selanjutnya, publik silakan menilainya secara objektif," kata Ali.

Adapun dalam hasil survei Indikator Politik Indonesia, kepercayaan publik pada KPK kini merosot. Kerap duduk di peringkat dua besar, kini ada di posisi empat dengan 65%, di bawah TNI, presiden, dan Polri.

REKOMENDASI

TERKINI