Suara.com - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PKB, Luqman Hakim menangkap ada satu kepentingan dari pemerintah yang mengusulkan pelaksanaan Pemilu dilakukan pada 15 Mei 2024. Kepentingan pemerintah itu ialah untuk tetap mengkokohkan kekuasaan sampai berakhir dan kepemimpinan digantikan pada Oktober 2024.
"Saya menangkap hanya satu kepentingan utama pemerintah mematok 15 Mei 2024 sebagai hari coblosan Pemilu, yakni agar penetapan pasangan capres-cawapres terpilih tidak terlalu jauh dari habisnya periode Presiden Jokowi 20 Oktober 2024. Sehingga 'kekuatan dari kekuasaan' pemerintah sekarang masih kokoh sampai hari-hari akhir masa periode," kata Luqman kepada wartawan, Selasa (28/9/2021).
Luqman berujar, pemerintah tampak khawatir jika pemungutan suara dilaksanakan 21 Februari 2024, sebab akan ada pasangan capres-cawapres terpilih sekitar Maret 2021 dengan asumsi Pilpres hanya satu putaran. Kehadiran capres-cawapres terpilih, kata Luqman mungkin dianggap akan mengganggu efektifitas pemerintah yang akan berakhir 20 Oktober 2024.
"Menurut saya, pertimbangan seperti itu bisa dikesampingkan. Selama capres-cawapres terpilih belum dilantik oleh MPR sebagai Presiden/Wakil Presiden RI 2024-2029, pemerintah yang dipimpin Presiden Jokowi tetap sah dan tidak berkurang sedikitpun kekuasaannya untuk menjalan berbagai program dan kegiatan," kata Luqman.
Baca Juga: Usulan 15 Mei Dinilai Subjektif, Luqman PKB: Pemilu Bukan Hajat Pemerintah
Diketahui, pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD mengusulkan pelaksanaan Pemilu 2024 pada 15 Mei. Usulan disorot Luqman lantaran pemerintah terkesan subjektif.
Luqman mengatakan pemerintah seharusnya meminta masukan dari semua pihak sebelum menentukan 15 Mei 2024 sebagai usulan Pemilu dilaksanakan.
"Lebih baik minta masukan, pendapat dan pertimbangan ahli-ahli pemilu, ahli cuaca, ahli kesehatan, NGO pemilu, pimpinan partai politik dan tokoh masyarakat yang kompeten dengan masalah pemilu. Agar tidak terkesan subyektif memutuskan tahapan dan jadwal pemilu dari hitung-hitungan kepentingan kekuasaan semata," kata Luqman.
Luqman mengingatkan bahwa Pemilu harus dipahami sebagai hajat dari rakyat yang merupakan pemegang kedaulatan. Karena itu ia mengkritisi langkah pemerintah saat mengusulkan tanggal gelaran Pemilu.
Baca Juga: Besok Golkar Akan Umumkan Pengganti Azis Syamsuddin sebagai Wakil Ketua DPR
"Pemilu bukanlah hajatnya pemerintah. Pemerintah hanya fasilitator," kata Luqman.
Pemerintah dikatakan Luqman seharusnya dapat belajar dari pengalaman Pemilu 2019 yang dilakukan pada 17 April. Di mana KPU menetapkan rekapitulasi hasil Pemilu tanggal 21 Mei 2019 atau butuh waktu 1 bulan lebih 4 hari.
"Artinya, penetapan rekapitulasi Pemilu 15 Mei akan dilakukan sekitar tanggal 20 Juni 2024," ujar Luqman.
Sementara itu, penyelesaian sengketa hasil Pemilu 2019 oleh Mahkamah Konstitusi baru rampung pada Agustus 2019 atau sekitar 3 bulan dari penetapan rekapitulasi hasil Pemilu, alias 4 bulan setelah pemungutan suara.
Luqman mengatakan bahwa undang-undang yang dipakai menjadi dasar aturan Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 adalah sama dan tidak ada perubahan sedikitpun. Artinya, kata dia alur dan waktu pemilu 2019 akan berulang pada pemilu 2024.
"Maka, kalau coblosan Pemilu 15 Mei 2024, penyelesaian sengketa pemilu oleh MK akan final pada pertengahan Agustus 2024. Jika ini yang terjadi, kita harus bersiap menghadapi kekacauan tahapan Pilkada 2024 dan sangat mungkin berdampak Pilkada serentak November 2024 gagal dilaksanakan," kata Luqman.