Perdebatan Asul-usul Covid Memicu Konsumsi Satwa Liar di Asia Tenggara

SiswantoBBC Suara.Com
Jum'at, 24 September 2021 | 11:03 WIB
Perdebatan Asul-usul Covid Memicu Konsumsi Satwa Liar di Asia Tenggara
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perdebatan seputar asal-usul Covid-19 yang belum juga selesai bisa mengarah pada maraknya kembali konsumsi satwa liar di pasar Asia Tenggara, kata juru kampanye dan penyelidik konservasi kepada BBC.

Konsumen satwa liar tradisional di wilayah tersebut tak lagi enggan mengkonsumsi produk satwa liar legal dan ilegal, seperti setelah merebaknya pandemi Covid-19 pada 2019, kata para ahli.

"Kami melihat bahwa orang-orang melupakan kemungkinan kaitan [Covid-19] dengan satwa liar, mereka tidak membicarakannya lagi, jadi kami sangat prihatin," kata Jedsada Taweekan, manajer program perdagangan satwa liar regional World Wildlife Fund di Asia Tenggara.

Baca juga:

"Di satu sisi ketakutan tertular virus dari konsumsi satwa liar yang kita lihat tahun lalu tidak lagi ada. Di sisi lain kita melihat bahwa pasar satwa liar terus berlanjut selama pandemi."

Baca Juga: 10 Satwa Liar Dilepasliarkan ke Habitat Alami di Papua

Pakar dari organisasi internasional yang menyelidiki perdagangan satwa liar, Traffic, menggemakan pesan serupa.

"Karena kurangnya kesimpulan berbasis bukti tentang asal mula pandemi, orang tampaknya tidak khawatir lagi mengkonsumsi satwa liar sekarang," kata Bui Thui Nga dari Traffic di Vietnam.

Hingga kini, belum ada survei atau penelitian tentang perilaku konsumen dalam kaitannya dengan ketidakpastian asul-usul Covid-19.

Badan intelijen AS dilaporkan memiliki pandangan yang terbelah terkait apakah virus itu hasil penularan alami dari hewan ke manusia, atau apakah itu disebabkan oleh sebuah insiden atau kebocoran di laboratorium.

Banyak ilmuwan meyakini perlu waktu bertahun-tahun penelitian sebelum kesimpulan yang pasti tentang asal muasal Covid tercapai.

Baca Juga: Lindungi Satwa Liar, BKSDA Sumbar Desak Pemkab Agam Lahirkan Perda

Baca juga:

Sementara juru kampanye dan penyelidik mengatakan, ada bukti bahwa pasokan produk satwa liar termasuk yang ilegal, terus berlanjut bahkan selama pandemi.

"Pada 9 September, pihak berwenang Malaysia menyita 50 cula badak dan potongan cula dari sebuah kendaraan di dekat Bandara Internasional Kuala Lumpur dan menangkap dua pria. Ini adalah penyitaan cula badak terbesar di negara itu sejak 2018," kata Traffic dalam sebuah pernyataan.

"Meskipun belum ada studi tentang konsumsi, perdagangan produk satwa liar tidak berhenti kendati ada pandemi," kata Elizabeth John, pejabat komunikasi senior Traffic Asia Tenggara.

Diskon harga produk satwa liar

Para ahli mengatakan stok produk satwa liar, baik legal maupun ilegal, menumpuk karena pembatasan terkait Covid antara perbatasan negara-negara pasar seperti China, Vietnam, dan Laos.

Negara-negara ini telah menjadi hotspot perdagangan satwa liar ilegal selama bertahun-tahun hingga kini.

"Dalam keputusasaan, mereka untuk melepas stok [yang menumpuk], beberapa pedagang bersedia menawarkan diskon [untuk produk ilegal]," kata Wildlife Justice Commission (WJC), sebuah organisasi non-pemerintah internasional yang bekerja melawan kejahatan satwa liar transnasional, dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada tahun 2020.

Penyelidik dari organisasi itu mengatakan penimbunan terus berlanjut tahun ini juga karena pembatasan lintas batas antar negara di kawasan Asia Tenggara.

"Harga anjlok lagi karena pedagang enggan untuk menyimpan sejumlah besar produk yang berisiko dideteksi lebih mudah [oleh pihak berwenang] dan seringkali hukuman yang jauh lebih berat," ujar Sarah Stoner, penyelidik senuor WJC.

Organisasi itu mengatakan penyelidikan yang dilakukan mereka, berujung pada penyitaan lebih dari 7.000 kilogram sisik trenggiling dan hampir 900 kilogram gading gajah oleh pihak berwenang Nigeria, Juli lalu.

Produk satwa liar itu tadinya akan diekspor dari Lagos ke Asia Tenggara.

Merujuk pada laporan Traffic yang diterbitkan tahun in, hampir 78.000 bagian dan produk satwa liar ilegal dijual di lebih dari 1.000 gerai di kota-kota besar dan kecil di lima negara di wilayah Mekong bagian bawah, seperti Kamboja, Laos, Vietnam, Myanmar dan Thailand pada periode 2019 hingga 2020.

"Bagian dan produk dari beragam spesies ditemukan ... termasuk beruang, kucing besar, rangkong, trenggiling, badak, dan kambing hutan, tetapi gading gajah adalah yang paling menonjol."

Perdagangan harimau ilegal di Vietnam

Bulan lalu, polisi di Vietnam menyita 17 harimau yang dipelihara secara ilegal di bawah tanah sebuah rumah di Provinsi Nghe An.

Beberapa hari sebelumnya, tujuh anak harimau ditemukan oleh polisi ketika mereka memberhentikan sebuah kendaraan di provinsi yang sama, yang datang dari Provinsi Ha Tinh.

Para pegiat satwa liar di Vietnam menyebut itu sebagai bukti bahwa perdagangan satwa liar tetap terjadi kendati ada pandemi.

Mereka khawatir penyitaan baru-baru ini dapat mendorong pedagang satwa liar ilegal membantai harimau atau satwa liar lainnya, seperti beruang di penangkaran, mendinginkannya untuk menghindari penangkapan dan kemudian mencoba menjualnya di dalam negeri.

"Sebelum [pandemi], mereka biasa menyelundupkan hewan hidup dan sekarang mereka tidak bisa karena pembatasan perbatasan, jadi mereka pasti akan mencoba melayani pembeli di dalam negeri," kata Nguyen Van Thai, direktur Save Vietnam's Wildlife, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pemberantasan perdagangan satwa liar ilegal.

"Dan dalam semua ini, kebingungan tentang asal usul Covid-19 tidak membantu. Mereka yang ingin mengonsumsi produk seperti itu sekarang tidak terlalu khawatir tentang satwa liar sebagai risiko infeksi virus."

Penyelundupan anak harimau di Thailand

Pada bulan Maret, pihak berwenang di Thailand melakukan tes DNA di Taman dan Peternakan Harimau Mukda dan menemukan dua anak harimau tidak lahir di penangkaran di sana.

Pengelola taman mengeklaim harimau dewasa di penangkaran telah melahirkan anaknya.

Namun, tes DNA membuktikan bahwa anak-anak harimau tersebut diselundupkan dari tempat lain.

"Ada sekitar 1.500 harimau di taman-taman ini. Sumber pendapatan mereka adalah jutaan turis China yang sekarang tidak berkunjung karena pandemi," kata Taweekan.

"Apakah harimau-harimau ini sekarang akan berakhir di tangan pedagang ilegal yang bisa membunuh dan menjualnya adalah masalah nyata, terutama ketika konsumen potensial sekarang melupakan kemungkinan hubungan antara pandemi dan produk satwa liar."

Larangan produk satwa liar

Sejak pandemi dimulai, baik China dan Vietnam telah memberlakukan larangan produk makanan yang berasal dari beberapa satwa liar darat sementara penggunaannya dalam obat-obatan dan ornamen tradisional diperbolehkan.

Awalnya, ketika diyakini secara luas bahwa Covid-19 kemungkinan besar berasal dari pasar hewan di Wuhan, survei di China menunjukkan bahwa mayoritas orang rela menyerahkan satwa liar sebagai makanan.

"Kemungkinan hubungan virus satwa liar itu hampir tidak dibicarakan sekarang karena masyarakat di China mengikuti anggapan pemerintah bahwa Covid tidak dimulai di China," kata Pei Su, direktur ActAsia, sebuah organisasi non-pemerintah internasional yang bekerja pada keberlanjutan, dengan China sebagai salah satu negara fokusnya.

"Karena larangan tersebut, konsumsi satwa liar mungkin tidak melampaui tingkat pra-pandemi tetapi mengingat ukuran China dan terbatasnya jumlah petugas penegak hukum satwa liar, banyak wilayah di negara masih ada perdagangan satwa liar legal dan ilegal," ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI