Foto-foto Kontroversial Petugas Patroli Menunggang Kuda Mengejar Migran

SiswantoBBC Suara.Com
Kamis, 23 September 2021 | 14:10 WIB
Foto-foto Kontroversial Petugas Patroli Menunggang Kuda Mengejar Migran
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Gedung Putih menyebut adegan-adegan ini sebagai adegan yang "mengerikan".

Rekaman video dan foto-foto yang mengambarkan petugas patroli perbatasan AS yang menunggang kuda mengejar para migran (dan mengacungkan tali kekang panjang seperti cambuk) di dekat sungai Rio Grande di Texas, telah memicu kontroversi di seluruh penjuru negeri Paman Sam.

Beberapa pengguna media sosial mengatakan foto-foto itu mengingatkan pada kekerasan yang terjadi pada masa perbudakan di AS.

Adegan-adengan ini terjadi di tengah krisis migran terbaru, yang terjadi di perbatasan AS dan Meksiko, setelah pekan lalu, sebanyak 12.000 migran - kebanyakan dari Haiti - ditahan di kamp darurat di bawah jembatan yang menghubungkan kota Del Rio di Texas dengan Ciudad Acuna di Meksiko.

Baca Juga: Salah Paham, Buralimar Sebut Pelabuhan di Kepri Belum Terima Wisman, Tapi Pekerja Migran

Baca juga:

"Demi mencegah cedera akibat penyakit yang berhubungan dengan panas, area teduh di bawah Jembatan Internasional Del Rio berfungsi sebagai tempat pemberhentian sementara ketika para migran menanti giliran dibawa ke tahanan USBP (Patroli Perbatasan AS)," kata pihak berwenang AS dalam sebuah pernyataan pekan lalu, menyusul kritik terhadap kondisi buruk yang dialami para migran.

Pemerintah AS mulai mendeportasi ratusan migran pada Minggu (19/09) dan menutup pintu perbatasan Del Rio, mendorong ratusan warga Haiti lainnya kembali ke sisi perbatasan Meksiko.

Apa yang terjadi?

Sejak mereka ditahan di bawah jembatan, beberapa migran terpaksa menyeberang ke Meksiko untuk membeli makanan dan air untuk diri mereka sendiri dan keluarga mereka (yang persediaannya terbatas di sisi perbatasan Amerika) sebelum kembali ke kamp darurat.

Fotografer Paul Ratje, dari kantor berita AFP, memotret adegan dari dekat titik penyeberangan di sungai, tempat para migran bolak-balik melintasi perbatasan untuk mendapatkan makanan bagi keluarga mereka, dan mendapati diri mereka terhalang oleh para petugas yang menunggangi kuda-kuda

"Saya mendatangi titik itu, dan semua orang menyeberang di sana," ujar fotografer tersebut kepada surat kabar The Washington Post.

Baca Juga: Pekerja Migran asal Cianjur Pulang Dalam Kondisi Lumpuh dan Hilang Ingatan

"Tiba-tiba beberapa polisi muncul dan mereka mulai mencoba mengusir orang-orang. Kemudian, petugas patroli perbatasan dengan menunggang kuda tiba dan mereka mulai mengusir orang-orang."

Foto-foto itu menunjukkan para petugas patroli membawa apa yang oleh beberapa orang digambarkan sebagai "cambuk", meskipun pihak berwenang mengatakan bahwa itu adalah tali kendali panjang yang digunakan penjaga untuk "memastikan kendali atas kuda".

"Ada arus [migran] terus menerus dan [petugas patroli] berkata: 'Tidak, Anda tidak bisa masuk. Kembali ke Meksiko.' Tetapi orang-orang berkata, 'Tetapi keluarga saya ada di sana,'" kata Ratje kepada Washington Post.

Ini semua terjadi ketika salah satu petugas yang menunggang kuda sesaat menangkap seorang pria yang tampaknya membawa kantong makanan.

Namun pada akhirnya, terlepas dari intervensi patroli, para migran berhasil menyeberangi sungai dan mencapai kamp, menurut media AS.

"Beberapa migran mulai berlari mencoba menghindari para penunggang kuda, dan salah satu petugas mencengkeram baju seorang warga Haiti dan ia akhirnya mengayunkan orang itu sementara kuda itu berlari dalam lingkaran," katanya tentang foto-foto itu.

Penjaga perbatasan yang berpatroli dengan menunggang kuda bukanlah hal yang aneh, disebabkan oleh kondisi geografis, dan alasan lainnya.

Umumnya, para penjaga mendesak para migran untuk kembali ke Meksiko, jelas Nick Miroff, reporter Washington Post, yang berspesialisasi dalam bidang imigrasi.

"Dalam kasus ini, desakan itu tidak terlalu berhasil, sebagian karena para migran berusaha kembali dengan membawa makanan," katanya.

Kontroversi

Pada Senin (20/09), juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki, berkata: "Saya berpikir tidak ada siapa pun yang melihat rekaman itu akan berpikir itu dapat diterima atau sesuai."

"Saya tidak mendapatkan konteks menyeluruh [dari adegan itu]. Saya tidak bisa membayangkan konteks apa yang membuat itu sesuai," tambahnya.

"Tentu saja, mereka [penjaga perbatasan] seharusnya tidak pernah bisa melakukannya lagi... Ini jelas mengerikan - adegannya."

Anggota Kongres dari Partai Demokrat, Ilhan Omar, menggambarkan aksi yang dilakukan petugas perbatasan sebagai "pelanggaran hak asasi manusia" dan "kejam, tidak manusiawi, serta melanggar hukum nasional dan internasional".

Sekretaris Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat, Alejandro Mayorkas, mengatakan bahwa peristiwa itu akan diselidiki, menggambarkan situasi para migran sebagai "menantang dan memilukan".

Kendati begitu, ia mengeluarkan peringatan: "Jika Anda datang ke Amerika Serikat secara ilegal, Anda akan dikembalikan. Perjalanan Anda tidak akan berhasil dan Anda akan membahayakan hidup Anda dan keluarga Anda."

Pada Senin sore, Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa mereka "tidak menoleransi pelecehan terhadap migran".

"Rekaman tersebut sangat memprihatinkan dan fakta dari penyelidikan penuh, yang akan dilakukan dengan cepat, akan menentukan tindakan disipliner yang tepat yang akan diambil," kata DHS.

Kepala Patroli Perbatasan AS, Raul Ortiz, mengatakan insiden itu sedang diselidiki untuk memastikan tidak ada tanggapan yang "tidak dapat diterima" oleh penegak hukum, lapor kantor berita Reuters.

Ia menambahkan bahwa para petugas patroli yang bekerja di kondisi lingkungan yang sulit, berusaha memastikan keselamatan para migran saat mencari penyelundup potensial.

Krisis perbatasan baru

Situasi ini menghadirkan tantangan politik dan kemanusiaan baru bagi pemerintahan Presiden Joe Biden, yang bersumpah untuk lebih "manusiawi" terhadap para migran dan mereka yang mencari suaka daripada pendahulunya dari Partai Republik, Donald Trump.

Haiti baru-baru ini dilanda dua krisis - pembunuhan Presiden Jovenel Moise dan gempa bumi yang menghancurkan bagian barat daya negara itu - namun sebagian besar warga Haiti di perbatasan AS meninggalkan negara mereka bertahun-tahun yang lalu, setelah gempa bumi 2010 yang menewaskan 200.000 korban jiwa, lapor BBC Monitoring.

Mereka telah tinggal dan bekerja di Amerika Selatan selama beberapa waktu, di negara-negara seperti Brazil atau Chile.

Dalam dua hari terakhir, 560 migran telah tiba di Haiti, dan ribuan lainnya masih berada di kamp Texas, lapor kantor beritaEFE.

Senin ini, sebanyak 233 orang yang dideportasi tiba di Haiti, 45 orang di antaranya anak-anak dan 45 yang lain adalah perempuan.

Hampir semua perempuan yang dideportasi memiliki anak atau bayi di lengan mereka, menurut sumber yang sama.

Selain mereka yang sudah dideportasi, lebih dari 6.000 warga Haiti telah dipindahkan ke pusat pemrosesan imigrasi lainnya, menurut otoritas AS, juga untuk dideportasi.

Setibanya di Haiti, beberapa warga Haiti mengeklaim mereka telah dianiaya oleh petugas perbatasan AS.

"Mereka memperlakukan orang Haiti seperti pencuri. Orang Haiti bukan pencuri, tetapi orang yang mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka tidak memperlakukan orang dari negara lain seperti itu. Ini rasisme," kata seorang perempuan berusia sekitar 30 tahun yang mengatakan dirinya dari Cap Haitien, kepada kantor berita EFE.

Miroff dari surat kabar The Washington Post mengatakan area di bawah jembatan tampak seperti "kota kecil, dengan kehidupan ekonomi tersendiri, yang sering berfokus pada makanan."

Adapun, Badan pengungsi PBB, UNHCR, mengatakan sedang memantau pengusiran migran Haiti dari perbatasan AS, seraya menambahkan sangat penting bahwa orang yang takut penganiayaan memiliki akses ke suaka, seperti dilaporkan kantor berita Reuters.

Pemerintah AS telah melaporkan lonjakan migran yang tiba di perbatasan AS dengan Meksiko tahun ini.

Jumlah orang yang ditahan di sana pada Juli sebanya lebih dari 200.000, jumlah terbanyak selama 21 tahun terakhir, menurut data pemerintah.

REKOMENDASI

TERKINI