Suara.com - Dalam pidato di Sidang Majelis Umum ke-76 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Presiden Joko Widodo menyinggung sejumlah isu global.
Isu penanganan pandemi, pemulihan ekonomi global, ketahanan iklim, perlawanan terhadap intoleransi, konflik, terorisme, perang, kemudian isu kekerasan dan marjinalisasi perempuan di Afghanistan, kemerdekaan Palestina yang semakin jauh dari harapan serta krisis politik di Myanmar.
Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo pidato Jokowi seharusnya juga bisa menjadi cermin atas realitas yang terjadi di Tanah Air.
Angka kasus Covid-19 di Indonesia memang sudah melandai, tetapi ketimpangan akses vaksinasi masih njomplang, kata Wahyu, hari ini.
Baca Juga: Indonesia Terpilih Anggota Dewan Pos Perserikatan Bangsa Bangsa
Intoleransi dan marginalisasi terhadap perempuan di Indonesia serta bencana alam akibat kerusakan ekologi juga masih kerap terjadi.
Dalam pidato di sidang PBB, Jokowi mengatakan, "Melihat perkembangan dunia sampai sekarang ini, banyak hal yang harus kita lakukan bersama."
"Pertama, kita harus memberikan harapan bahwa pandemi Covid-19 akan bisa tertangani dengan cepat, adil, dan merata."
Kemampuan dan kecepatan antar negara dalam menangani pandemi Covid-19, termasuk vaksinasi, dinilai Jokowi masih sangat timpang. Padahal semua tahu bahwa dalam penanganan pandemi "no one is safe until everyone is."
"Politisasi dan diskriminasi terhadap vaksin masih terjadi. Hal-hal ini harus bisa kita selesaikan dengan langkah-langkah nyata," kata dia.
Baca Juga: Menlu Retno di PBB: Tanggung Jawab Utama Kita Menyelamatkan Warga Palestina
Jokowi menyerukan kepada seluruh negara untuk menata ulang arsitektur sistem ketahanan kesehatan global.
Diperlukan mekanisme baru untuk penggalangan sumber daya kesehatan global, baik pendanaan, vaksin, obat-obatan, alat-alat kesehatan, dan tenaga kesehatan secara cepat dan merata ke seluruh negara.
"Diperlukan standarisasi protokol kesehatan global dalam hal aktivitas lintas batas negara, misalnya perihal kriteria vaksinasi, hasil tes, maupun status kesehatan lainnya," tutur Jokowi.
Kedua, Jokowi mengatakan pemulihan perekonomian global hanya bisa berlangsung jika pandemi terkendali, dan antarnegara bisa bekerja sama dan saling membantu untuk pemulihan ekonomi. Indonesia dan negara berkembang lainnya, membuka pintu seluas-luasnya untuk investasi yang berkualitas.
"Yaitu yang membuka banyak kesempatan kerja, transfer teknologi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan berkelanjutan," kata dia.
Ketiga, komitmen Indonesia terhadap ketahanan iklim, pembangunan yang rendah karbonserta teknologi hijau sudah jelas dan tegas.
Tetapi, proses transformasi energi dan teknologi tersebut harus memfasilitasi negara berkembang untuk ikut dalam pengembangan industri dan menjadi produsen teknologi.
"Pandemi Covid-19 mengingatkan kita tentang pentingnya penyebaran sentra produksi kebutuhan vaksin di dunia di banyak negara," kata dia.
Keempat, menyerukan agar dunia tetap serius melawan intoleransi, konflik, terorisme, dan perang.
Perdamaian dalam keberagaman, jaminan hak perempuan dan kelompok minoritas harus ditegakkan.
Jokowi juga menyebut bahwa potensi praktik kekerasan dan marjinalisasi perempuan di Afganistan, kemerdekaan Palestina yang semakin jauh dari harapan, serta krisis politik di Myanmar, harus menjadi agenda semua negara.
Pemimpin ASEAN telah bertemu di Jakarta dan menghasilkan Five Poins Consensus, yang implementasinya membutuhkan komitmen militer Myanmar.
"Harapan besar masyarakat dunia tersebut, harus kita jawab dengan langkah nyata dengan hasil yang jelas. Itulah kewajiban yang ada di pundak kita, yang ditunggu masyarakat dunia. Itulah kewajiban kita untuk memberikan harapan masa depan dunia," kata Jokowi.