Kemenangan Kucing Tayo di Pengadilan Bisa Kurangi Kasus Penyiksaan Hewan?

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 22 September 2021 | 15:20 WIB
Kemenangan Kucing Tayo di Pengadilan Bisa Kurangi Kasus Penyiksaan Hewan?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Peringatan: sebagian foto-foto yang ditampilkan bisa mengganggu kenyamanan Anda.

Kasus penjagalan kucing bernama Tayo yang berujung vonis 2,5 tahun penjara pada pelakunya di Medan, Sumatera Utara, diyakini akan berdampak terhadap berkurangnya kasus kekerasan terhadap hewan.

Menurut Asia For Animals Coalition, Indonesia adalah negara nomor satu di dunia yang paling banyak mengunggah konten kekejaman terhadap hewan di media sosial.

Dari 5.480 konten yang dikumpulkan, sebanyak 1.626 konten penyiksaan berasal dari wilayah Indonesia.

Baca Juga: Penjagalan Kucing di Medan Divonis 2,5 Tahun Penjara

Baca juga:

Sudah hampir sembilan bulan, bayang-bayang Tayo masih melekat di benak Sonia Rizkika.

Apalagi ketika perempuan 22 tahun ini pulang kerja. Biasanya kucing kesayangannya itu sudah menegakkan ekor, menunggu di depan rumah.

"Biasanya selalu nongol di depan pintu, sekarang sudah nggak ada lagi," kata Sonia kepada BBC News Indonesia.

Tayo hilang 25 Januari 2021 silam. Waktu itu, Sonia dibantu tetangganya, membawa foto Tayo dan mencarinya keliling perumahan "pagi-siang-malam".

Baca Juga: Viral Remaja Aniaya Primata Langka, BKSDA Sumbar & Polisi Buru Pelaku

"Sampai akhirnya ada yang nampak langsung datangi rumah si pelaku ini," kenang Sonia.

Si pelaku adalah Rafeles Simanjuntak alias Neno Simanjuntak, sudah divonis 2,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Medan atas kasus pencurian, 31 Agustus lalu. Rumahnya tak jauh dari kediaman Sonia, yang baru tiga bulan tinggal di kawasan Tegal Sari Mandala II itu.

Sonia sebelumnya mendapat informasi dari warga sekitar tentang pelaku yang sudah 11 tahun menjadi penjagal kucing dan anjing. Setiap hari, pelaku disebutnya bisa menjual sekitar 2 kilogram daging kucing dari sekitar enam ekor kucing yang dipotong.

"Bayangkan, setiap hari, selama 11 tahun sudah berapa ribu kucing yang dibunuhnya?" kata Sonia sambil menghela napas dalam.

Kepala Tayo dalam karung, rumah dilempar batu

Saat ke rumah Neno, Sonia bertemu dengan kakak pelaku. Saat itu, ia sempat cekcok mulut, karena "si abang ini mengelak".

Sonia akhirnya memeriksa halaman depan rumahnya yang terdapat alas pemotong daging, termasuk "tempat menguliti kucing juga di situ."

"Di sana itu ada usus kucing. Organ anjing juga. Campurlah. Jadi kami bongkar itu semua isinya," kata Sonia.

Saat itu, sebuah karung yang terdapat bercak darah menarik perhatian Sonia. "Kami bukalah [karung] goni ini. Rupanya ada banyak kepala kucing, ada empat atau lima kepala kucing waktu itu," katanya.

Satu dari lima kepala kucing dalam karung itu, memiliki karakter yang sangat dikenal Sonia. "Kucing kampung lainnya itu kecil-kecil kepalanya. Mancung hidungnya, kayak lancip moncongnya. Cuma Tayo yang bulat kepalanya."

Peristiwa ini sempat viral di media sosial, saat Sonia mengunggah penemuannya itu. Ia lalu melaporkan kasus ini ke kepolisian setempat.

https://www.instagram.com/p/CKi2r8VnZWt/?utm_medium=copy_link

Selama proses hukum, Sonia dua bulan pindah tempat tinggal, karena mendapat teror dikejar orang asing dari kegelapan di depan rumah, termasuk "dilempar batu".

"Paling sering, rumah dilempar batu," katanya.

Setelah kasus ini telah berkekuatan hukum tetap, Sonia memutuskan untuk pindah tempat tinggal secara permanen. Bukan hanya untuk menghindari teror yang berlanjut, tapi ia juga tak ingin terus tenggelam dalam kenangan bersama Tayo.

"[Biar] memorinya itu cepat hilang gitu. Teringat-ingat saja, kalau di sini," kata Sonia.

Tapi apakah hukuman yang dijatuhkan pengadilan sudah setimpal dengan kehilangan Tayo?

Sonia menjawab: "Sebenarnya nggak puas sih, tapi itu sudah hukuman yang terbaik juga, karena kan memang sulit untuk memperjuangkan hak hidup hewan di Indonesia ini. Jadi itu sudah cukup setimpal sama yang diperbuatnya, walau dalam hati, sejujurnya nggak puas."

Kemenangan hewan yang teraniaya

Doni Herdaru Tona adalah pendiri Animal Defender Indonesia (ADI) yang terlibat advokasi kucing Tayo di Medan. Ia berharap kasus Tayo bisa menjadi patokan hukum bagi pelaku kekerasan terhadap hewan di Indonesia.

"Jadi kita punya acuan, yurisprudensi, bahwa tindakan ini adalah salah di mata hukum," kata Doni kepada BBC News Indonesia.

Indonesia sudah memiliki aturan tentang hukuman bagi pelaku penyiksa hewan. Di antaranya termuat dalam Pasal 302 dan 406 ayat (2) KUHP.

Berdasarkan aturan ini, ancaman hukuman penjara tiga bulan penjara bagi yang melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan.

Jika penganiayaan itu menyebabkan hewan tersebut sakit lebih dari satu minggu, luka berat, cacat, hingga kematian, maka ancaman hukumannya mencapai sembilan bulan penjara.

Sementara, Pasal 406 ayat (2) menyebut pembunuhan hingga penghilangan hewan milik orang lain mendapat ancaman hukuman dua tahun dan delapan bulan penjara.

Menurut Doni, hukuman dalam aturan tersebut masih terlalu ringan, sehingga tak mampu membuat efek jera bagi pelaku penyiksa hewan. "Dan seandainya terbukti, dia [biasanya] kenanya hukuman percobaan... Dan dia [pelakunya] tidak ditahan," katanya.

Dalam kasus Tayo, pasal-pasal tersebut digunakan sebagai tambahan dalam penuntutan. Jeratan utama bagi pelaku justru menggunakan Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP terkait pencurian di mana ancaman hukuman paling lama tujuh tahun penjara.

Pasal pencurian ini yang menjadi pertimbangan hakim untuk menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku.

"Kita mesti cermat-cermat memilih kasusnya, dakwaannya, pasalnya," kata Doni yang lebih mengedepankan pasal pencurian yang lebih berat hukumannya dibandingkan pasal penganiayaan hewan.

Dalam persoalan aturan hukuman bagi penyiksa hewan yang terlalu ringan, Doni menyerukan adanya perubahan regulasi. "Kami ingin ada revisi KUHP, terlebih pada pasal-pasal tentang hewan," katanya.

Sejauh ini, Animal Defender Indonesia telah menangani tujuh kasus terkait penyiksaan hewan. Namun, sebagian besar kasusnya terhenti.

"Ada yang beberapa mandek, ada yang pelapornya masuk angin, tarik laporannya, karena pendekatan terlapor di luar pengetahuan kita," kata Doni.

Selain itu, kata dia, umumnya aparat penegak hukum masih "meremehkan" laporan kasus penyiksaan hewan.

"Semua ditertawakan. Jadi, ini memang hal yang remeh buat mereka. Dan biasanya karena ketidaktahuan, lalu menganggap ini remeh," jelas Doni.

Menggunakan kekuatan medsos

Jalan yang ditempuh agar kasus penyiksaan hewan ini mendapat perhatian aparat penegak hukum adalah menggunakan media sosial.

"Aparat penegak hukum itu juga serba salah, kalau misal viral tapi tidak bergerak mereka makin habis. Mereka antisipasi keresahan masyrakat. Kuncinya adalah keresahan, di mana ada keresahan, di situ penegak hukum bergerak," kata Doni.

Namun, viral di media sosial paling lama bertahan "1-2 minggu", sehingga dibutuhkan persiapan "waktu dan mental" agar kasusnya bisa terus berlanjut.

"Orang berpikir ini cuma buang-buang waktu, padahal bisa membuahkan hasil kalau sungguh-sungguh, kalau mengerjakan prosesnya," kata Doni.

Dua kasus yang masih dalam proses untuk didorong ke meja hijau adalah dugaan penganiayaan terhadap kucing. Pertama, kasus kucing yang dipukul hingga tewas di Bekasi, Jawa Barat. Kedua, adalah kasus kucing yang diduga dipaksa minum cairan hingga tewas.

Kedua videonya sempat viral di media sosial.

"Dalam waktu dekat ini saya akan menanyakan ke kejaksaan, kasusnya sudah sampai mana," jelas Doni.

BBC berupaya mengkonfirmasi pihak humas Mabes Polri terkait laporan-laporan kasus penyiksaan hewan yang masih mendapat perlakuan "diremehkan" aparat hukum, namun belum mendapat respon.

Kendati demikian, tak semua kepolisian sektoral menganggap laporan seperti ini sebagai sesuatu yang remeh. Hal ini diungkapkan Kanit Reskrim Polsek Medan Area, Riyanto yang menangani kasus Tayo.

"Dan kami juga minta ke depan pada masyarakat, mana kala ada kasus-kasus yang serupa, bisa dilaporkan dengan ketentuan-ketentuan yang ada," kata Riyanto seperti dikutip dari saluran Animal Defender.

Baca juga:

Tindakan 'remeh' yang serius

Sejumlah penelitian menunjukkan penyiksaan hewan sangat kuat berhubungan dengan kriminalitas, termasuk kekerasan terhadap manusia.

Organisasi nirlaba Humane Society yang berbasis di Amerika Serikat menyebut 88% kasus penyiksaan hewan terjadi di dalam rumah tangga yang memiliki riwayat kekerasan terhadap anak.

Sebanyak 71% korban kekerasan dalam rumah tangga juga menyebutkan pelaku kekerasan di rumah melakukan hal yang sama terhadap hewan.

Sejumlah pelaku pembunuhan berantai dan brutal juga memiliki riwayat penyiksa hewan. Seperti kasus Gary Leon Ridgway yang dikenal sebagai Green River Killer. Saat masih kecil, ia memiliki pengalaman pernah mencekik kucing. Di pengadilan, Gary disebut telah membunuh 49 orang di AS.

Lalu, kasus Eric Harris dan Dylan Klebold, dua remaja yang bertanggung jawab atas penembakan di SMA Columbine, dan menewaskan 13 orang. Keduanya kerap membanggakan cerita tentang memutilasi hewan kepada teman-temannya.

Biro Penyelidikan Federal AS (FBI) tahun-tahun belakangan ini bahkan menjadikan kasus-kasus penyiksaan hewan untuk memprediksi kasus-kasus pembunuhan.

Di Indonesia, pelaku pembunuhan balita yang mayatnya disimpan dalam lemari 2020 lalu, juga memiliki riwayat sebagai penyiksa hewan — selain ia korban kekerasan seksual. Remaja berinsial NS pernah melempar kucing dari lantai dua, membakar kodok, dan kepala cicak.

"Bahwa para penyiksa hewan itu umumnya mengalami gangguan jiwa yang nanti targetnya akan dia tingkatkan. Dari hewan saja sampai ke orang atau manusia yang sekiranya tidak melawan. Balita, manula, itu akan jadi sasaran mereka," kata Doni.

Sementara itu, menurut pendiri Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Karin Franken, pembiaran atas penyiksaan terhadap hewan sejak kecil bisa menjadi cikal bakal tindakan sadistis di kemudian hari.

"Anak kecil lempar batu [ke hewan], tak bisa di-judge anak itu jahat, bukan. Anak sadistis, bukan. Tapi kalau dibiarkan lama-lama akan menuju ke situ," kata Karin.

Pembelajaran empati dimulai sejak dini melalui perilaku terhadap hewan sekitar, kata Karin. Ketika perilaku kejam terhadap hewan dibiarkan, maka empati itu terkikis. "Itu memang proses," jelasnya.

"Itu yang harus dimengerti oleh pemerintah dan educater juga, karena belum tentu juga guru di negara ini mengerti itu juga. Karena kan animal welfare itu kan masih area yang tidak terlalu populer dan juga orang tidak selalu mengerti soal animal welfare."

Juara dunia konten penyiksa hewan

Di tengah kemenangan kucing Tayo di pengadilan, Asia For Animals Coalition merilis riset yang menunjukkan Indonesia sebagai negara nomor satu di dunia yang paling banyak mengunggah konten kekejaman terhadap hewan di media sosial.

Dari 5.480 konten yang dikumpulkan, sebanyak 1.626 konten penyiksaan berasal dari wilayah Indonesia. Data ini dikumpulkan sejak Juli 2020-Agustus 2021 dari YouTube, Facebook dan TikTok. Namun, masih terdapat ribuan konten yang lokasinya tidak diketahui.

"Data kami secara kuat mengkonfirmasi bahwa konten kekejaman terhadap hewan di dunia maya adalah masalah global berskala luas...

"Mungkin fakta paling mengejutkan bahwa secara kolektif, 5.840 masing-masing video, yang kami dokumentasikan telah ditonton sebanyak 5.347.809.262 kali saat penelitian ini ditulis," tulis laporan Asia For Animals Coalition.

Koalisi organisasi pemerhati hewan seluruh dunia ini juga menulis bahwa banyak kerugian diderita oleh hewan, tapi keuntungan diperoleh oleh platform dan pengunggah.

"Menurut saya, ini masalah edukasi, sama juga pemerintah tidak cukup tegas karena mereka melihat ini bukan concern [perhatian]," kata Karin.

Karin menambahkan, kasus kemenangan Tayo di pengadilan, bisa menjadi salah satu untuk mendorong berkurangnya kasus-kasus penyiksaan hewan — termasuk yang diunggah di media sosial.

"Saya yakin itu pasti, kalau terus di-blow up setiap kali ada kasus, dan kita akan follow up, kita akan proses. Lama-lama akan berkurang [kasusnya]," kata Karin.

Sementara itu, menurut catatan Animal Defender Indonesia, maraknya video penyiksaan hewan yang diunggah dari Indonesia merupakan dampak dari "ketidakpastian hukum".

"Ini tekanan baik bagi legislator di Indonesia, bahwa ayo kita perbaiki undang-undangnya," kata Doni.

Selain itu, dari kajian Animal Defender, kebanyakan pengunggah kasus kekerasan terhadap hewan di media sosial adalah anak-anak remaja — apa yang Doni mengalami sindrom "look at me generation".

"Umumnya, kasus putar-putar kucing ini [diunggah] anak-anak tanggung. Itu kucingnya sempoyongan, ada yang jatuh ke comberan dan lain-lain."

"Kami menjelaskan [pada mereka] mencari tawa itu tidak harus menghadirkan bencana kepada hewan-hewan ini," kata Doni.

Sementara itu, dalam sebuah diskusi, Koordinator Substansi Kesejahteraan Hewan, Kementerian Pertanian, Hastho Yulianto menyampaikan sejauh ini pemerintah sudah memiliki instrumen hukum untuk menjerat penyiksa binatang. Namun, ia mengakui hukumannya masih ringan, dan pemerintah masih menunggu revisi KUHP di DPR.

"Sebetulnya pada 2013 sudah diinsiasi juga, para pemerhati hewan, untuk menyampaikan ke DPR untuk mereivisi Pasal 302 [KUHP] tadi, supaya sesuai dengan kondisi sekarang," kata Hastho.

Hastho menambahkan, selama ini penjualan daging anjing dan kucing di Indonesia dilakukan dengan cara penyiksaan terlebih dahulu. "Entah itu dipukul, kemudian dimasukkan ke dalam karung, kemudian lehernya ditekan sedemikian rupa, sehingga hewan itu menjadi mati, dan diambil dagingnya."

Lebih lanjut Hastho mengatakan, kesejahteraan hewan merupakan tanggung jawab bersama pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Harapan baru

Dokter Bilqisthi Ari Putra adalah ahli forensik veteriner dari Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Bidang keilmuan yang ia tekuni ini masih berusia satu dekade, dan menjadi harapan baru bagi pecinta hewan untuk mencari pembuktian di balik kematian dan penyiksaan hewan.

Tim forensik veteriner Unair sejak 2017 telah menangani 50 kasus kekerasan terhadap hewan di Indonesia. Kasus-kasus ini didominasi oleh laporan kasus kekerasan terhadap hewan domestik seperti anjing dan kucing.

"Dari 50 kasus itu yang projusticia 30%. Sampai P21 [disidang] itu 5-10% saja, yang dihukum lebih sedikit lagi, yang bebas lebih banyak," kata Bilqis kepada BBC News Indonesia.

Bagaimanapun, laporan pemeriksaan forensik hewan ini terus meningkat seiring waktu, menandakan antusiasme masyarakat terhadap kesejahteraan hewan sudah cukup baik.

"Kesadaran masyarakat sudah cukup tinggi. Banyak yang kita tangani mereka minta visum, tapi tidak ditangani polisi itu juga banyak," tambah Bilqis.

Komunitas-komunitas pecinta hewan, termasuk tim forensik hewan saat ini masih bekerja keras untuk menekan jumlah penyiksaan terhadap hewan, termasuk kampanye antikonsumsi daging anjing dan kucing. Jalurnya melalui kampanye, investigasi, edukasi hingga proses hukum.

Meskipun ini jalan panjang, kasus kucing Tayo diyakini telah menjadi secercah harapan bagi hewan untuk memperoleh perlakuan yang baik dari manusia. Karena mereka juga merasakan sakit yang sama ketika mendapat siksa.

"Pokoknya jangan ragu untuk kasusnya, apalagi ke kantor polisi, biar diusut, biar kasusnya dijalankan. Jangan dibiarkan begitu aja, karena akan makan korban lebih banyak kalau dibiarkan begitu saja," kata Sonia yang telah belajar memperjuangkan keadilan untuk Tayo.


https://youtu.be/e3UVfVismuM

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI