Suara.com - Siapa nyana, santet memiliki nilai positif di balik stigma negatif di tengah masyarakat kekinian. Fakta ini diungkap oleh tim Universitas Gadjah Mada atau UGM yang melakukan penelitian terhadap santet.
Mereka yang meneliti berasal dari Tim PKM-RSH UGM. Adapun mereka terdiri dari Izza (Arkeologi 2019), Derry (Bahasa dan Sastra Indonesia 2019), Ana (Arkeologi 2019), Syibly (Psikologi 2018), dan Fadli (Sastra Jawa 2018).
Berangkat dari fenomena beragamnya persepsi masyarakat soal santet, mereka melakukan penelitian terkait bagaimana santet dipahami di masyarakat dan bagaimana pemahaman tersebut berubah dari sesuatu yang memiliki nilai positif menuju hal yang sepenuhnya negatif sebagai ilmu hitam.
Izza dkk. melakukan penelitian dengan melibatkan berbagai pihak untuk diwawancara, analisis digital, serta analisis tekstual terhadap berbagai teks di bawah bimbingan Dosen Antropologi Budaya UGM Agung Wicaksono.
Baca Juga: Pakar UGM Sebut Kans Ganjar Maju Pilpres Masih Belum Tertutup meski Terancam Sanksi Partai
“Pemahaman masyarakat Indonesia secara umum terhadap santet dapat dibilang hanya sampai pada simpang siur tanpa adanya bukti valid. Minimnya pengetahuan berbukti valid itu bermuara pada terbentuknya beragam persepsi masyarakat. Mayoritas persepsi tersebut menilai santet sebagai suatu hal yang negatif dan sudah selayaknya ditinggalkan. Persepsi tanpa dasar semacam ini kerap melahirkan reaksi tanpa argumen dan hanya berdasar sentimen belaka,” terang Izza pada Kamis, (16/9/2021), dikutip dari rilis di laman resmi UGM.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Izza dkk, keberadaan santet dengan segala ruang praktik dan nalar positif dalam masyarakat Jawa terekam dalam peninggalan-peninggalan tekstual, seperti manuskrip dan aktivitas manusia pada waktu itu.
Secara tekstual kata santet tidak ditemukan dalam manuskrip. Kata yang memiliki hubungan erat dengan santet adalah kata sathet, termuat dalam Serat Wedhasatmaka tahun 1905, yang berarti ‘jenis pesona dengan menggambar’.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan Izza dkk dengan Dosen FIB UGM Wisma Nugraha, tidak adanya kata santet tidak secara tekstual dalam beberapa manuskrip sebagai objek kajian data dirasa wajar, sebab dalam kasusastran Jawa, santet merupakan akronim dari "mesisan kanthet" dan "mesisan benthet".
Di samping itu, berdasarkan hasil wawancara dengan Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu), dipercaya masyarakat Jawa, khususnya Banyuwangi, terungkap bahwa sifat dari santet adalah membuat sesuatu menjadi rekat sekalian (mesisan kanthet) ataukah justru sebaliknya, yaitu membuat sesuatu menjadi retak atau pecah sekalian (mesisan benthet).
Baca Juga: Ganjar Terancam Sanksi PDIP Pascadukungan Relawan, Pakar UGM: Bukan Soal Ganjal Mengganjal
Oleh karena itu, santet dalam ruang nalar orang Jawa pada waktu itu memuat dua paradigma nilai: nilai positif atau kebaikan yang tergambarkan melalui piranti-piranti dan konsep yang membingkai santet menjadi positif serta paradigma nilai santet yang negatif akibat penyalahgunaan santet tersebut.
Nilai positif santet, secara nyata menurut Izza dkk, dibuktikan dalam penggunaannya pada aktivitas keseharian masyarakat Madura untuk menangkap ikan, memanggil hujan, menyembuhkan sakit, dan sebagainya.
Bentuk-bentuk praktik tersebut merupakan bentuk santet yang bermanfaat bagi pelaku dan lingkungan di sekitarnya tanpa merusak dan melukai siapapun. Nilai positif santet ini hidup karena adanya piranti santet yang positif (mantra, dukun dan perlengkapan sajian).
“Seperti tersebut di atas bahwa santet memiliki konsep nilai positif dan negatif. Akibat perlakuan yang tidak sebagaimana mestinya santet menjadi disalahgunakan,” ucap Izza.
Tim PKM-RSH UGM pun mencoba mengangkat kembali konsep nilai positif santet, yang sudah mengalami pergeseran dan marginalisasi di era modern sekarang ini. Menurutnya, rekontekstualisasi nilai-nilai santet perlu dilakukan untuk menyelaraskan konsep santet dulu dengan sekarang serta membebaskan santet dalam ruang nalar yang salah akibat marginalisasi dan politisasi ideologi yang berkepentingan.
Santet, lanjutnya, juga patut dipandang sebagai kekayaan intelektual bangsa yang perlu dipahami dengan arif dan bijaksana, sehingga tidak ada lagi marginalisasi antarbudaya.