Suara.com - Bagi perempuan di pulau Jawa mungkin tidak akan pernah merasakan bagaimana susahnya menyampaikan aspirasi hingga mengakses dunia luas. Namun bagi perempuan di Papua, kondisi tersebut akan terus menyelimuti kehidupannya.
Jurnalis perempuan, Febriana Firdaus membagikan kisah ketika ditugaskan kantornya untuk melakukan investigasi di Merauke, Papua. Untuk mendapatkan banyak informasi, ia mesti berpura-pura menjadi mahasiswa yang tengah menjalani kuliah kerja nyata dan tinggal bersama perempuan atau mama-mama di sana selama tiga pekan.
Dari situ ia menemukan fakta di mana mamak-mamak di Papua hidup termarjinalkan.
Febriana menemukan satu desa tertinggal dan hanya ada perempuan serta anak-anaknya yang masih tinggal, tanpa ada laki-laki yang terlihat.
Baca Juga: Sambil Tersedu, Nakes Cerita Kebrutalan KKB Papua di Kiwirok
"Padahal desa itu adalah desa di mana pemilik tanah dari perusahaan-perusahaan sawit terbesar di masyarakat Merauke dan Boven Digoel tinggal. Mereka ini adalah pemilik lahannya, pewaris tanah itu, anak-anak ini, tapi di desa itu yang tertinggal hanya perempuan dan anak," kata Febriana dalam diskusi bertajuk “Harta Tahta Perempuan Papua” secara virtual, Jumat (17/9/2021).
Menurutnya, laki-laki itu lebih memiliki akses kepada dunia luar, bisa bepergian, atau bahkan memegang uang tunai. Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Paniai, di mana perempuan itu harus menjaga kebun.
Meski dipahami kalau menjaga kebun itu merupakan tugas dari mama-mama, namun Febriana tidak setuju kalau sampai mamak-mamak Papua itu tidak diberikan kesempatan untuk bepergian.
Jangankan untuk bepergian, perempuan-perempuan Papua juga tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan marga. Febriana yang pernah mengikuti rapat marga itu melihat tidak ada satu pun perempuan yang diajak berdiskusi semisal soal lahan.
Padahal mamak-mamak itu lah yang mengelola hingga mengolah hasil dari lahan tersebut.
Baca Juga: Terlibat Baku Tembak, TPNPB-OPM Klaim 4 Prajurit Setan TNI Tewas
Selain itu, mama-mama Papua pasti mau mengeluarkan aspirasinya ketika lahannya hendak dijual. Sebab lahan itu menjadi satu-satunya sumber bagi anak-anaknya makan.
Kalau misalkan lahannya dijual oleh suaminya, otomatis mama-mama akan bingung ke mana lagi ia harus mencari asupan makanan untuk anaknya.
"Jadi saya melihat bahwa marjinalisasi perempuan Papua itu tidak hanya mengalami marjinalisasi saja karena mereka tidak punya akses sama sekali untuk ngomong."