Suara.com - Sistem pelacakan kontak covid-19 terkonfirmasi di Indonesia kekinian mendapat sorotan negatif, setelah sedikitnya 3.000 orang positif corona serta memunyai riwayat kontrak erat, terdeteksi aplikasi PeduliLindungi tengah berkeliaran di ruang publik terutama mal.
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia mengakui, mereka tak memunyai wewenang secara hukum dan kemampuan medis untuk menangani ribuan orang tersebut.
Mereka juga mempertanyakan penanganan pemerintah terhadap orang-orang yang dinyatakan positif covid-19.
Pemerintah mengklaim orang-orang yang memiliki status hitam - mereka yang terkonfirmasi positif dan memiliki riwayat kontak erat - di aplikasi PeduliLindungi dan kedapatan berkeliaran di ruang publik "segera dipindahkan ke fasilitas isolasi terpusat terdekat".
Baca Juga: Kunjungi Tebing Breksi, Bupati Sleman Sempat Terkendala Sinyal Saat Scan PeduliLindungi
Namun epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, Masdalina Pane, menilai insiden ini menandakan bahwa sistem pelacakan (tracing) Covid di Indonesia belum berjalan dengan baik.
"Di-tracing itu artinya diidentifikasi kontak eratnya, dinilai status kesehatannya, dimonitor isolasi karantinanya. Kalau dia masih berkeliaran, itu artinya kita belum mampu melakukan containment dengan baik," kata Masdalina kepada BBC News Indonesia, Selasa (14/09).
Semestinya, menurut dia, pemerintah langsung melakukan tindakan terhadap mereka yang terkonfirmasi positif, sehingga "tidak berkeliaran" dan membuat warga was-was dan curiga dengan orang di sekitarnya.
Sebanyak 3.830 orang yang terkonfirmasi positif Covid, terdeteksi berkeliaran di ruang publik seperti restoran, bandara dan pusat perbelanjaan, kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Dirujuk ke fasilitas isolasi
Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menegaskan komitmen pemerintah untuk mengatasi masalah ini dengan bekerja sama dengan Satgas Covid yang ada di lapangan.
Baca Juga: Hore! Bioskop Pekanbaru Sudah Dibuka, Ini Syarat Bagi Penonton
"Pemerintah berkomitmen dengan kerjasama dengan satgas di fasilitas publik untuk segera merujuk orang yang terjaring atau masuk ke kategori hitam, atau tergolong positif atau memiliki kontak erat, untuk segera dipindahkan ke fasilitas isolasi terpusat terdekat," ujarnya dalam konferensi pers Selasa (14/09).
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR sehari sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin merinci 3.000 orang berstatus warna hitam di aplikasi PeduliLindungi-nya berupaya masuk ke pusat perbelanjaan, 43 orang di kereta, dan 55 orang di restoran.
"Padahal orang-orang ini sudah teridentifikasi positif Covid yang harusnya stay di rumah atau isolasi terpusat di karantina," jelas Budi.
Dengan bantuan aplikasi PeduliLindungi, tambah Budi, orang-orang ini "segera diambil" dan "dilakukan isolasi".
Senada, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, sekaligus Koordinator PPKM Darurat wilayah Jawa dan Bali, Luhut Binsar Panjaitan, mengeklaim orang-orang yang memiliki status hitam di aplikasi Peduli Lindungi dan kedapatan berkeliaran di ruang publik "akan segera ditangani".
"Di mall misalnya, itu akan kita langsung bawa ke karantina terpusat untuk menghindari penularan ke orang-orang lain," kata Luhut dalam konferensi pers perkembangan PPKM Jawa dan Bali, Senin malam.
Namun, nyatanya, tak semua yang berstatus hitam di aplikasi tersebut positif Covid, seperti yang dialami Pramadhiyas Danisworo.
Pekerja bidang konstruksi ini mengaku selama beberapa hari terakhir ditolak masuk restoran sebab status di aplikasinya masih berwarna hitam, padahal dia sudah dinyatakan negatif melalui dua tes PCR.
Tes PCR yang terakhir ia lakukan pada Senin lalu, mengonfirmasi bahwa dirinya negatif, namun status hitam di aplikasi PeduliLindungi-nya belum berubah.
"Rumah sakit atau tempat saya ambil swab itu kan terkoneksi dengan PeduliLindungi, hasilnya sebenarnya sudah negatif cuma di status di Peduli Lindungi itu masih hitam," jelasnya kepada BBC News Indonesia.
Status hitam itu membuatnya terkendala ketika melakukan aktivitas di ruang publik, seperti ketika berniat makan ke restoran.
"Tapi ternyata di restoran tersebut mesti menunjukkan aplikasi itu, karena hitam jadi nggak bisa. Untuk beberapa tempat makan sama tempat publik yang memang pakai aplikasi itu memang agak terkendala," tutur pria berusia 29 tahun tersebut.
Ada empat kriteria di aplikasi PeduliLindungi: hijau bagi mereka yang telah melakukan dua kali vaksin dan tak ada catatan kontak erat, sementara kuning untuk mereka yang baru mendapat satu kali vaksin atau penyintas Covid-19.
Sedangkan status berwarna merah diberikan pada mereka yang belum melakukan vaksinasi, dan hitam adalah mereka yang positif Covid-19 atau memiliki riwayat dengan pasien Covid-19.
Tak punya wewenang hukum dan medis
Akan tetapi, langkah pemerintah ini dipertanyakan oleh Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia, Alphonzus Widjaja.
Alih-alih menangani mereka yang nekat berkeliaran meski dinyatakan positif, pemerintah semestinya langsung bertindak ketika mendapat konfirmasi orang-orang itu teridentifikasi positif.
"Bagi mereka yang positif Covid-19, mereka harus diisolasi, tetapi kenapa mereka berkeliaran? Seharusnya pemerintah bisa menangani ini karena pemerintah memiliki data yang sangat lengkap terhadap orang-orang yang bernotifikasi warna hitam ini," ujar Alphonzus.
Ia menegaskan, pemilik akun PeduliLindungi dengan status berwarna hitam, yakni mereka yang terkonfirmasi positif Covid atau memiliki riwayat kontak erat, ditolak masuk pusat perbelanjaan.
Namun, ia mengakui tidak ada tindak lanjut yang dilakukan pihak pusat perbelanjaan terhadap orang tersebut, sebab tidak memiliki "wewenang hukum" dan "kemampuan medis terhadap mereka.
"Kami tidak memiliki wewenang untuk menangani orang-orang ini secara hukum, dan juga kami tidak memiliki kemampuan atau keahlian medis untuk menangani ini.
"Setelah kami tolak, itu menjadi pertanyaan kami, ke mana mereka ini pergi? Ini kan yang harusnya menjadi tugas pemerintah untuk bisa memastikan ke mana mereka pergi," ujar Alphonzus.
Apakah ada sanksi?
Ia menambahkan, pemerintah harus memastikan bahwa masyarakat bisa melakukan aktivitas, khususnya di bidang ekonomi, secara aman tanpa terancam mereka yang abai dengan kondisi kesehatan mereka dan nekat berkeliaran.
"Padahal di satu sisi, pemerintah sudah menyatakan bahwa kita siap hidup berdampingan dengan Covid, tapi saya kira bukan ini maksudnya berdampingan dengan membiarkan orang-orang dengan positif Covid ini berkeliaran," cetusnya.
Lantas, adakah mekanisme sanksi bagi mereka yang nekat keluyuran meski teridentifikasi positif Covid-19 ini?
Epidemiolog Masdalina Pane mengungkap bahwa sanksi terhadap mereka yang berperilaku abai diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular.
Namun menurutnya, sanksi yang diatur dalam regulasi tersebut, "tidak relevan untuk dilakukan sekarang".
"Saya belum melihat undang-undang [baru] atau Perda (peraturan daerah) yang mengatur hal itu, tetapi untuk tahap yang awal sebelum ada regulasi tentang hal itu, tindakan persuasif harus dilakukan," tegas Masdalina.
Sistem pelacakan 'tidak jalan'
Bagi Masdalina Pane, epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, insiden ini menandakan bahwa sistem pelacakan Covid-19 di Indonesia belum berjalan dengan baik.
Masdalina menjelaskan kasus konfirmasi Covid-19 bisa diketahui pemerintah melalui sistem pelaporan nasional, New All Record (NAR).
Kurang dari 24 jam, hasil kasus konfirmasi tercatat. Seketika itu juga, kata Masdalina, semestinya petugas mendatangi orang tersebut untuk melakukan isolasi dan karantina.
"Artinya, kalau mereka masih berkeliaran, mereka itu tidak dijangkau oleh para petugas di lapangan," cetusnya.
Lebih lanjut, Masdalina menambahkan harus ada koordinasi antara Puskesmas yang mengetahui kasus konfirmasi dengan aparat di wilayah, seperti ketua rukun tetangga (RT).
"Pak RT dengan orang-orang di sekitarnya harus melakukan containment terhadap orang tersebut jangan sampai berkeliaran. Artinya, sistem itu nggak jalan," kata Masdalina.
Upaya yang bisa dilakukan, kata Masdalina, ialah dengan mendirikan satuan tugas Covid-19 di pusat perbelanjaan, sehingga jika ada pengunjung yang terkonfirmasi positif, mereka lalu digiring ke rumah.
"Tentu harus ada petugasnya yang giring balik, supaya mereka nggak berkeliaran ke tempat-tempat lain juga," ujar Masdalina.
Ia mengingatkan banyak fasilitas umum yang belum terkoneksi dengan aplikasi tersebut, seperti misalnya pasar tradisional, yang berpotensi menjadi pusat penyebaran jika salah satu pengunjungnya ternyata terkonfirmasi positif Covid-19.
Adapun, Mantan Direktur Organisasi Kesehatan Dunia, WHO Asia Tenggara, Profesor Tjandra Yoga Aditama, menyarankan pemerintah melakukan pembaruan sistem aplikasi PeduliLindungi agar bisa mencegah mereka yang dinyatakan positif berkeliaran.
"Orang yang positif kan datanya masuk ke Peduli Lindungi, kan ada NIK-nya, alamatnya, nomor telpon, sehingga Puskesmas bisa menghubungi yang bersangkutan.
"Dari sisi orangnya sendiri, begitu hasilnya positif, saya sih usulnya di aplikasi PeduliLindungi keluar blinking, yang mengatakan 'Saudara, sesuai dengan hasil tes yang positif, maka saudara melakukan isolasi mandiri'. Orang kan dikasih tahu hasil tes di hari pertama, harusnya dia langsung isolasi, hari kedua, ketiga dan seterusnya," ujar Tjandra.
Selain itu, aplikasi peduli lindungi bisa setiap hari memberi peringatan kepada mereka yang positif untuk mengingatkan harus isolasi.
"Reminder terus diberikan sampai 14 hari isolasi selesai," cetusnya.