Suara.com - Harga tes polymerase chain reaction di luar Pulau Jawa – Bali masih banyak yang dipatok di atas ketetapan pemerintah. Murah atau mahal malah ditentukan lama tidaknya penerbitan surat hasil tes. Alhasil, warga masih enggan mengikuti tes. Ledakan kasus corona bisa terjadi di Oktober.
SEORANG pemuda risau selepas disuntik vaksin covid-19, sebab perkiraan waktu mengantre yang dibuatnya meleset. Dia insaf tidak memunyai banyak waktu, harus cepat-cepat pergi dari tempat itu selagi Senin masih siang.
Syamsul semakin pusing tujuh keliling kalau mengingat datum yang tercantum pada tiket pesawat miliknya: Selasa, 24 Agustus 2021, pukul 16.00 WIB.
Itu artinya dia harus mendapat surat hasil tes polymerase chain reaction, kurang dari 24 jam. Kalau tidak, Syamsul harus mengubur dalam-dalam impiannya menghadiri acara di Kalimantan.
Baca Juga: Sejumlah Klinik di Bandar Lampung Belum Tetapkan Harga PCR Sesuai SE Kemenkes
Sejak hawar corona melanda, pemerintah mewajibkan seseorang memunyai sertifikat vaksin covid-19 dan hasil tes PCR negatif untuk bepergian dengan menumpangi burung besi.
Prabumulih, tempat tinggal Syamsul, termasuk kota kecil di Sumatera Selatan, sehingga ia menyangsikan bisa mendapat klinik tes PCR yang mampu menerbitkan surat keterangan sebelum waktu keberangkatan pesawat.
Satu-satunya pilihan adalah mencari klinik di Palembang, kota utama di Sumsel yang berjarak empat jam perjalanan darat dari Prabumulih.
Apalagi dia mendapat informasi dari teman, ada rumah sakit di kota itu yang bisa menerbitkan hasil tes CPR dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Singkat cerita, keesokan pagi sebelum keberangkatan pesawat, Syamsul mendatangi rumah sakit beken di Palembang, yang merupakan salah satu unit usaha grup besar serta ternama yang diusul temannya itu.
Baca Juga: Dilema Tes PCR: Jokowi Teriak Harga Turun, Praktiknya Masih Mahal
“Saya mau tes PCR, tapi apa hasilnya bisa cepat keluar?“ tanya Samsul ke salah satu petugas administratif di RS.
“Bisa, kami ada paket PCR dengan hasilnya bisa cepat dikeluarkan, biayanya Rp 800 ribu,“ jawab si petugas.
Syamsul akhirnya bisa berlega hati, karena petugas itu menjanjikan hasil tes PCR bisa diterbitkan beberapa jam setelahnya, sehingga ia bisa mengejar naik pesawat.
Tapi dia tetap membatin, karena harga yang ditetapkan RS jauh melebihi batas biaya tes PCR yang ditetapkan pemerintah.
Sejak 15 Agutus 2021, Kementerian Kesehatan RI resmi menurunkan harga tes usap PCR. Untuk Pulau Jawa – Bali, biaya tes hanya Rp 495 ribu. Sementara untuk luar Jawa – Bali Rp 550 ribu.
Harga turun tapi masih tinggi
TIDAK hanya di rumah-rumah sakit, harga tes PCR lebih mahal ketimbang yang dipatok pemerintah juga terjadi di klinik.
Berdasarkan penelusuran Suarasumsel.id, terdapat klinik di Kota Palembang yang meminta Rp 700 ribu untuk tes PCR.
Petugas Klinik AY Frez misalnya, mengakui meminta Rp 700 ribu kepada orang yang akan mengikuti tes PCR.
“Itu harganya sudah turun setelah ada imbauan presiden. Sebelumnya harga tes PCR Rp 900 ribu, tapi kini turun jadi Rp 700 ribu,” kata si petugas.
Ia menuturkan, kliniknya harus bekerja sama dengan laboratorium sebagai tempat pemeriksaan sampel sehingga terdapat biaya tambahan.
Artikel lebih dalam tentang harga tes swab per daerah di luar Jawa – Bali sila simak di tautan berikut ini:
- Perbedaan Harga Tes PCR di Kota Makassar, Lebih Cepat Lebih Mahal
- Modus Lebih Cepat, Bikin Harga Tes PCR Tak Sesuai Himbauan Jokowi
- Harga Tes PCR Masih Mahal, Dilema antara Melawan Wabah atau Bisnis
- Sejumlah Klinik di Bandar Lampung Belum Tetapkan Harga PCR Sesuai SE Kemenkes
- Harga PCR Turun, Riau Masih Pakai Akurasi Tes Antigen untuk Deteksi Covid
- Dukungan Masyarakat Samarinda Soal Penurunan Harga Swab Test PCR
- Dilema Tes PCR: Jokowi Teriak Harga Turun, Praktiknya Masih Mahal
Tambahan biaya ini dipungut klinik dari peserta tes untuk menutupi biaya operasional petugas sampai administratif, guna mengantarkan sampel ke laboratorium.
Meski harganya masih melebihi ketentuan pemerintah, ia memastikan hasil tes PCR sudah memenuhi imbauan Presiden Jokowi, yakni maksimal satu kali dua puluh empat jam.
Kondisi yang sama juga didapatkan di provinsi tetangga Sumsel, yakni Lampung. Harga PCR justru mengacu pada lama atau tidaknya hasil tes bisa diterbitkan, bukan ketetapan tarif pemerintah.
Menurut penelusuran Suaralampung.id, harga tes PCR di sejumlah klinik kesehatan di Kota Bandar Lampung berkisar antara Rp 650 ribu sampai Rp 900 ribu.
Salah satu klinik di pertigaan Jalan Ratu Dibalau, Tanjung Senang, Kota Bandar Lampung, misalnya, mematok tarif sesuai lama atau cepatnya penerbitan hasil tes.
Untuk tes PCR dengan hasil yang baru diterbitkan dua hari kemudian, dipatok tarif sesuai ketetapan pemerintah yakni Rp 525 ribu.
“Ada juga yang Rp 650 ribu, satu hari langsung bisa diketahui hasilnya," kata petugas klinik tersebut, Senin (13/9).
Sementara klinik di Jalan Sultan Ageng Tirtayasa, Kecamatan Sukabumi, membanderol harga tes PCR Rp 900 ribu dengan janji hasilnya bisa didapat dalam satu hari.
"Harga tes PCR-nya Rp 900 ribu. Hasilnya hanya satu hari. Misalnya kalau tes PCR-nya hari ini, hasilnya bisa diketahui jam delapan malam," kata dia.
Karena reagen mahal
KLINIK-klinik di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, kebanyakan juga menerapkan prinsip yang sama: mematok harga tes PCR sesuai lama waktu penerbitan hasilnya.
SuaraSulsel.id menemukan salah satu klinik di daerah Bontolempangan yang mengenakan harga tes PCR Rp 575 ribu, atau Rp 50 ribu lebih tinggi dari tarif pemerintah.
Salah satu karyawan klinik tersebut mengatakan, harga itu sudah diturunkan sejak ada ketetapan pemerintah. Sebelumnya, mereka memasang harga sampai Rp 800 ribu untuk tes PCR.
"Rp 50 ribu itu untuk biaya konsultasi dokter," jawabnya singkat.
Bahkan, di Klinik Lacassino, Kecamatan Panakkukang, Makassar, harga tes PCR bisa mencapai Rp 1,7 juta, tergantung durasi penerbitan surat hasil pemeriksaan.
Lacassino menetapkan harga Rp 525 ribu atau sesuai ketentuan pemerintah untuk tes PCR dengan hasil pemeriksaan keluar maksimal 24 jam.
Tapi kalau ingin mendapat surat hasil PCR maksimal 12 jam setelah tes, klinik itu memasang harga Rp 750 ribu. Sedangkan agar surat hasil tes terbit 4 jam setelah tes, Rp 1,7 juta.
Karyawan Lacassino menjelaskan, perbedaan harga itu disebabkan beragamnya reagen yang digunakan saat PCR.
"Kalau yang hasilnya keluar 24 jam, itu karena pakai open reagen. Lebih murah, tapi lama prosesnya,” kata dia.
‘Dikemas’ lewat paket
KEMBALI ke Pulau Sumatera, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha Sumatera Utara mengakui masih ada temuan penyedia layanan PCR di daerahnya yang membanderol harga di atas ketentuan pemerintah.
Biasanya, kata Kepala KPPU Kanwil I Ridho Pamungkas saat dikonfirmasi Suarasumut.id, Rabu (25/8/2021), harga tes PCR yang lebih tinggi daripada ketetapan pemerintah itu karena ‘dikemas’ alias disatukan dengan layanan tambahan lain atau biasa disebut ‘paket tes swab’.
“Servis tambahan itu maksudnya harga PCR didasari pada kecepatan hasil tes. Misalnya, harga Rp 525 ribu, hasil tes keluar 1 x 24 jam. Sedangkan hasil yang keluar lebih cepat seperti dalam waktu 4 jam, harganya mencapai Rp 1 juta,” kata Ridho.
Ridho mengakui, ada faktor bisnis dalam penyediaan layanan PCR. Sebab, hasil tes tersebut tidak hanya untuk kepentingan medis, tapi juga syarat utama melakukan perjalanan via pesawat.
Secara prinsip, Ridho menegaskan tarif tes PCR seharusnya sesuai ketetapan pemerintah meski terdapat perbedaan waktu dalam penerbitan hasil tes.
“Pihak penyedia tidak boleh menetapkan harga sendiri. Kami akan panggil penyedia layanan PCR yang masih mahal ini. Jangan bermain-main harga dan memanfaatkan kondisi ini untuk mencari keuntungan berlebih," tegas Ridho.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Abdul Kadir mengakui, masih banyak klinik dan rumah-rumah sakit yang tidak menaati batas atas harga tes PCR.
Biasanya, klinik maupun RS yang bandel tersebut berdalih terdapat biaya tambahan untuk konsultasi dokter, ataupun kalau ingin hasil tes cepat diterbitkan.
Padahal, kata Abdul Kadir, semua dalih itu tidak diperbolehkan. Klinik atau RS harus taat terhadap biaya yang sudah ditetapkan pemerintah.
"Kalau semisal Sulsel, kan harga tertingginya Rp525 ribu ya, karena di luar Jawa-Bali. Tidak boleh lebih tinggi dari itu, kalau lebih murah dari itu boleh," kata Abdul Kadir yang juga calon Rektor Universitas Hasanuddin itu.
Beda daerah beda sikap
BANYAKNYA pusat pelayanan tes PCR mematok harga di atas ketetapan pemerintah dinilai sebagai imbas dasar hukum yang tak kuat dalam penentuan tarif.
Dasar hukum ketetapan tarif itu tertuang dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI Nomor: HK.02.02/I/2845/2021 Tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan RT-PCR.
Dalam surat edaran itu, Kemenkes RI tidak mengatur apakah kesamaan tarif batas tertinggi PCR itu diberlakukan tanpa merujuk lama atau cepatnya penerbitan hasil tes.
Alhasil, surat edaran yang merupakan implementasi perintah Presiden Jokowi itu hanya diposisikan sebagai imbauan oleh pemerintah daerah.
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Palembang, Yuliarni, misalnya, menyatakan surat edaran Kemenkes RI itu hanya bersifat imbauan.
Sebagai pembina, dinas-dinas kesehatan di daerah hanya menindaklanjutinya dengan cara meneruskan informasi tersebut kepada pengelola fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta.
“Kalau surat edaran itu sifatnya himbauan, fasilitas kesehatan harus menyesuaikan, yang pasti sudah kami teruskan ke fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan PCR,” kata Yuliarni.
Namun, Kepala Dinas Kesehatan Sulsel Ichsan Mustari memunyai sikap yang lebih tegas terhadap penyedia layanan tes PCR yang tidak mau mengikuti tarif pemerintah.
Mustari mengakui, masih ada pusat pelayanan tes PCR di daerahnya yang mematok tarif di atas harga pemerintah. Ia meminta masyarakat melapor bila menemukan praktik seperti itu.
"Silakan dilaporkan, kami akan menindaklanjuti dan memberikan teguran ke klinik yang bersangkutan," kata Mustari, Jumat (3/8).
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, dr Padilah Mante Runa, juga memunyai sikap yang sama.
Dia menegaskan, kalu masih ada klinik di daerahnya yang tak mematuhi aturan tarif PCR dari pemerintah, akan langsung dilaporkan ke aparat penegak hukum.
"Tak boleh itu, karena sudah ada edarannya dari Kemenkes bahwa harga tes PCR harus diturunkan. Kalau memang ada laporan salah satu klinik belum menurunkan harga tes PCR, langsung kami laporkan ke polisi," kata dr Padilah Mante Runa kepada Suarakaltim.id, Sabtu (4/9).
Antara takut dan mewah
TIDAK semua klinik maupun RS di luar Pulau Jawa – Bali mematok harga tes PCR melebihi tarif batas atas yang ditetapkan Kemenkes RI.
Tapi persoalannya, masih ada warga yang enggan mengikuti tes PCR dengan beragam alasan, baik karena menilai harganya masih mahal ataupun takut.
Anshar Asnafi (34) warga Siak, Riau, misalnya, mengakui sejak hawar covid-19 menyerang tahun 2020, hingga kekinian tidak pernah melakukan tes PCR.
Alasannya sederhana, Anshar mengakui tidak memunyai urusan yang menyaratkan dirinya menunjukkan hasil tes PCR.
"Tidak pernah tes PCR, belum ada urusan yang mengharuskan untuk tes PCR,” kata Anshar kepada Suarariau.id.
Lain halnya Neli, pegawai swasta di Palembang, Sumsel, yang menilai harga tes PCR tetap terbilang mahal meski sudah diturunkan menjadi Rp 525 ribu.
Ia mengatakan, hanya mengikuti tes PCR kalau ada kebutuhan mendesak seperti ditugaskan ke luar daerah oleh kantor atau terdapat urusan keluarga di luar daerah.
“Harganya masih mahal sekali. Uang Rp 525 ribu itu bisa digunakan untuk kebutuhan lain. PCR itu kalau mendesak, itu kebutuhan mewah,” kata dia.
Potensi ledakan kasus
PERSOALAN harga hingga keengganan warga untuk mengikuti tes PCR dinilai menjadi salah satu faktor utama yang bisa memicu ledakan kasus positif covid-19 di luar Pulau Jawa – Bali.
Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan, covid-19 terutama varian Delta, sebenarnya sedang merambah ke luar Jawa – Bali.
Kalau persoalan harga tes PCR hingga keengganan warga mengikuti prosedur pengujian tersebut tak kunjung teratasi oleh pemerintah, bisa jadi hawar lebih cepat menjalar sehingga terjadi ledakan kasus covid-19.
“Varian Delta ini sebenarnya sudah merambah ke luar Jawa – Bali. Tapi kini masih di daerah periferi (pinggiran). Kalau testing kurang karena persoalan harga maupun fasilitasnya sedikit, serta masyarakat kurang berkesadaran untuk memeriksaan diri, ini kombinasi komplet bagi penyebaran wabah,” kata Dicky kepada Suara.com, Rabu (15/9).
Dicky menilai, situasi penyebaran covid-19 di luar Pulau Jawa – Bali lebih mengkhawatirkan, karena lemahnya testing, tracing, dan treatment (3T).
Infrastruktur serta sistem kesehatan di luar Jawa - Bali juga masih banyak yang belum memadai.
Persoalan itu masih ditambah lagi dengan masalah sosial ekonomi, serta status kesehatan yang lebih rendah--plus pengabaian protokol kesehatan oleh masyarakat.
"Belum masalah cakupan vaksinasi di luar Pulau Jawa – Bali yang masih rendah," kata dia.
Dicky mengungkapkan, penduduk di luar Pulau Jawa – Bali hanya diuntungkan oleh letak geografis dan demografis yang berjauhan, sehingga penyebaran wabah cenderung lambat.
“Tapi potensi kematiannya akan lebih banyak daripada Pulau jawa – Bali. Sayangnya lagi, dalam kaitan kematian ini, minim sekali pendataan. Definisi kematiannya juga sempit, hanya yang terkonfirmasi melalui PCR. Sementara yang ikut PCR ini sedikit.”
Karenanya, Dicky mewanti-wanti ketetapan harga tes PCR dari pemerintah harus dipatuhi semua pihak sehingga tingkat pengujian covid-19 massif dan meluas.
Tes PCR, kata dia, penting karena akan menggambarkan situasi penyebaran corona dalam suatu wilayah, sehingga pihak berwenang bisa melakukan modifikasi strategi berbasis sains.
“Kalau beragam persoalan testing itu belum terselesaikan, estimasi gelombang ketiga covid-19 di luar Jawa – Bali itu bisa terjadi akhir Oktober 2021,” kata Dicky.
------------------------------------------------------
Artikel ini adalah hasil peliputan bersama Apriskian Tauda Parulian (Kaltim); M Ariwibowo/Budi Warsito (Sumut); Fitri (Sumsel); Alfat Handri/Panji Ahmad Syuhada (Riau); Ahmad Amri (Lampung); Muhammad Aidil (Sulsel); dan, Stephanus Aranditio (Jakarta).