Suara.com - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mempertanyakan waktu digulirkannya wacana amandemen UUD 1945 di tengah masa pandemi Covid-19. Zainal menilai adanya perubahan konstitusi dalam sebuah negara biasanya diikuti dengan suatu momen tertentu.
"Kalau kita bicara soal teori perubahan konstitusi di negara manapun, itu selalu ada namanya momentum," kata Zainal dalam diskusi bertajuk 'Membaca Wacana Amandemen UUD 1945: Akal-akalan 3 Periode?', Rabu (15/9/2021).
Zainal mengatakan, momentum tersebut bisa dalam rangka kemerdekaan, peralihan rezim dari otoritarian menuju demokratis, bisa karena ada krisis hingga karena adanya kudeta.
Ia pun mempertanyakan masa pandemi covid ini apakah sudah menjadi alasan yang cukup untuk mengubah konstitusi. Ia tak menampik memang saat pandemi ada krisis ekonomi, alasan tersebut juga jadi salah satu alasan di sebuah negara untuk merubah konstitusi.
"Karena UUD itu biasanya berubah karena konstelasi kekuasaan yang berubah, ada krisis biasanya krisis ekonomi bisa jadi, tapi ada konstelasi ketidakpercayaan dan sebagainya," tuturnya.
Untuk itu, Zainal mengatakan, mengubah konstitusi khususnya dalam hal ini amandemen UUD 1945 tidak diperlukan. Terlebih dalam masa pandemi covid dan beberapa negara juga mengalami kontraksi.
"Yang kita butuhkan tentu saja di zaman pandemi ini adalah sikap lebih serius, lebih fokus dalam penanganan pandemi," tandasnya.
UUD 45 Bukan Kitab Suci
Sebelumnya Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan kitab suci.
Baca Juga: OJK Ungkap Banyak Orang yang Beli Asuransi saat Pandemi Covid-19
Sehingga kata Bamsoet bukan hal tabu jika ada amandemen untuk melakukan penyempurnaan. Sebabnya, menurut Bamsoet konstitusi akan terus berkembang menyesuaikan kebutuhan zaman.