Pakar UGM Sebut Amandemen Biasanya Diiringi Peralihan Rezim dan Adanya Krisis

Rabu, 15 September 2021 | 19:32 WIB
Pakar UGM Sebut Amandemen Biasanya Diiringi Peralihan Rezim dan Adanya Krisis
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar. (tangkap layar)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mempertanyakan waktu digulirkannya wacana amandemen UUD 1945 di tengah masa pandemi Covid-19. Zainal menilai adanya perubahan konstitusi dalam sebuah negara biasanya diikuti dengan suatu momen tertentu.

"Kalau kita bicara soal teori perubahan konstitusi di negara manapun, itu selalu ada namanya momentum," kata Zainal dalam diskusi bertajuk 'Membaca Wacana Amandemen UUD 1945: Akal-akalan 3 Periode?', Rabu (15/9/2021).

Zainal mengatakan, momentum tersebut bisa dalam rangka kemerdekaan, peralihan rezim dari otoritarian menuju demokratis, bisa karena ada krisis hingga karena adanya kudeta.

Ia pun mempertanyakan masa pandemi covid ini apakah sudah menjadi alasan yang cukup untuk mengubah konstitusi. Ia tak menampik memang saat pandemi ada krisis ekonomi, alasan tersebut juga jadi salah satu alasan di sebuah negara untuk merubah konstitusi.

Baca Juga: OJK Ungkap Banyak Orang yang Beli Asuransi saat Pandemi Covid-19

"Karena UUD itu biasanya berubah karena konstelasi kekuasaan yang berubah, ada krisis biasanya krisis ekonomi bisa jadi, tapi ada konstelasi ketidakpercayaan dan sebagainya," tuturnya.

Untuk itu, Zainal mengatakan, mengubah konstitusi khususnya dalam hal ini amandemen UUD 1945 tidak diperlukan. Terlebih dalam masa pandemi covid dan beberapa negara juga mengalami kontraksi.

"Yang kita butuhkan tentu saja di zaman pandemi ini adalah sikap lebih serius, lebih fokus dalam penanganan pandemi," tandasnya.

UUD 45 Bukan Kitab Suci

Sebelumnya Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan kitab suci.

Baca Juga: Satgas Sebut Positivity Rate Covid-19 Indonesia Capai 4,9 Persen, Sesuai Standar Aman WHO

Sehingga kata Bamsoet bukan hal tabu jika ada amandemen untuk melakukan penyempurnaan. Sebabnya, menurut Bamsoet konstitusi akan terus berkembang menyesuaikan kebutuhan zaman.

"Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang bukanlah kitab suci, karenanya tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan. Secara alamiah, konstitusi akan terus berkembang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakatnya," kata Bamsoet dalam pidato memperingati Hari Konstitusi dan Hari Lahir MPR, Rabu (18/8/2021).

Bamsoet sekaligus menyampaikan bahwa saat ini MPR mendapati adanya aspirasi masyarakat untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Aspirasi itu yang kemudian direspons MPR untuk melakukan amandemen terbatas UUD 1945.

"Saat ini sedang ditunggu masyarakat, yaitu berkaitan dengan adanya arus besar aspirasi yang berhasil dihimpun MPR, yaitu kehendak menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara," ujar Bamsoet.

Bamsoet menyadari bahwa jalan menuju ke arah amandemen memang masih panjang. Ia berujar jika mengacu pada 2 periode yang lalu, periode MPR 2009-2014 dan 2014-2019, PPHN umumnya hanya melalui undang-undang.

Namun atas dasar rekomendasi MPR di dua periode tersebut dan periode MPR saat ini, MPR di bawah kepemimpinan Bamsoet diharapkan dapat mendorong PPHN dengan payung hukum yang lebih kuat, yaitu melalui TAP MPR.

Kenapa? Agar seluruhnya patuh dan tidak bisa diterpedo dengan perpu," kata Bamsoet.

Bamsoet mengatakan ada arus besar yang menginginkan bangsa Indonesia kembali memiliki bintang pengarah dalam jangka panjang. Mengingat kata dia sebentar lagi akan masuk pada tahun emas Indonesia pada 2045.

Ia menilai dengan keunggulan yang dimiliki, semisal bonus demografi, rakyat Indonesia akan bertambah menjadi 318 juta pada tahun 2024 dan didominasi oleh anak-anak muda atau generasi muda produktif. Di mana 70 persennya adalah generasi produktif.

Sehingga dikatakan Bamsoet diperlukan satu perencanaan yang visioner yang mampu membaca berbagai tantangan zaman yang terus menerus berkembang,

"Sehingga arus besar ini harus menjadi perhatian kami di MPR bahwa nanti apakah akan dilakukan amandemen terbatas untuk mengakomodir arus besar ini, ataukah kembali seperti dulu lagi oleh undang-undang. Ini sangat tergantung pada dinamika politik yang ada, sangat tergantung pada stakeholders di gedung ini, yaitu para pimpinan partai politik, para cendekiawan, para akademisi, para praktisi yang dapat mewujudkan itu semua," kata Bamsoet.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI