Suara.com - Lebanon akhirnya mengumumkan susunan kabinet baru, dan menyudahi kebuntuan politik yang melumpuhkan Beirut selama 13 bulan terakhir. Prioritas utama pemerintahan baru adalah menyelamatkan negara dari kebangkrutan.
Sejak Jumat (11/9), Lebanon secara resmi memiliki pemerintahan baru. Kabinet 24 menteri pimpinan Najib Mikati itu dipastikan bakal melewatkan bulan madu politik, dan sebaliknya bergegas menangkal keruntuhan ekonomi yang kian dekat.
Selama 13 bulan masa kebuntuan, mata uang Pound Lebanon merosot sebanyak 90 persen dibandingkan Dolar Amerika Serikat.
Sementara angka inflasi yang meroket memaksa warga menyimpan uang, yang semakin mempersulit pemulihan.
Baca Juga: Kualifikasi Piala Dunia 2022: Australia Tekuk Vietnam, Korsel Tundukkan Lebanon
Saat ini pemerintah tidak lagi mampu membiayai berbagai aneka subsidi terhadap bahan pokok dan energi. Akibatnya harga bahan bakar dan obat-obatan meroket, ketika pasokan listrik dibatasi dua jam per hari.
Namun, analis menebar keraguan terhadap kabinet baru Lebanon.
Analis politik, Sami Nader, misalnya menilai situasi tidak akan berubah, selama dinamika politik seputar negosiasi susunan kabinet masih mendominasi.
"Kelanjutan politik bagi-bagi kekuasaan dan percekcokan seputar langkah-langkah reformasi,” tidak mengurangi rintangan yang dihadapi pemerintahan selanjutnya.
"Pemerintahan ini pun digodok oleh orang-orang yang sama,” kata dia.
Baca Juga: Mengenal Kuskus Sumber Karbohidrat Pengganti Nasi, Pernah Coba?
Rekor historis keterpurukan ekonomi Bank Dunia menyebut situasi di Lebanon sebagai salah satu krisis ekonomi paling parah di dunia sejak dekade 1850-an.
Keruntuhan ekonomi separah itu biasanya merupakan dampak perang, tulis Bank Dunia pada 31 Mei lalu. Tapi di Lebanon, krisis dipicu oleh pengeluaran negara yang eksesif dan menjerat Lebanon dalam tumpukan utang, serta praktik perbankan yang tidak berkesinambungan.
"Prioritas utama pemerintah adalah untuk mencegah negara kolaps,” kata Maha Yayha, direktur lembaga penelitian, Carnegie Middle East Center.
Subsidi harus direvisi ulang, dan jaring sosial hanya diberikan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.
Untuk itu, kabinet baru Lebanon didesak untuk melancarkan putaran baru perundingan dengan Dana Moneter Internasional, demi membuka keran bantuan senilai miliaran dolar AS.
Sejauh ini negosiasi antara kedua pihak terbentur klausul soal siapa yang akan menanggung risiko kerugian.
Lebanon berada dalam situasi pelik sudah sejak sebelum menyatakan diri tak sanggup membayar utang pada Maret 2020 silam.
Negara-negara donor dan IMF menyaratkan reformasi menyeluruh, dan audit ketat terhadap bank sentral sebelum dana bantuan dikucurkan. Tahun lalu, pemerintah Lebanon mengumumkan serangkaian kebiijakan sentral, antara lain reformasi di sektor listrik, restrukturisasi perbankan dan mencabut ikatan dengan mata uang dolar AS, yang sejak 1997 mengatrol nilai tukar Pound Lebanon.
Namun sejauh ini, rencana itu baru berupa janji politik. Status quo bagi raja-raja kecil, khususnya sektor perbankan sejauh ini pelit berbagi data audit dengan alasan menjaga kerahasiaan nasabah.
Namun menurut ekonom Lebanon, Mike Azar, reformasi di sektor perbankan dan restrukturisasi layanan publik bersifat krusial untuk memadu sepakat dengan IMF.
"Tidak ada yang bisa Anda tawarkan selain dua restrukturisasi besar ini,” kata dia kepada AFP.
Meski demikian, kelompok elit yang mendominasi Lebanon sejak Perang Saudara 1975-1990, diyakini berkepentingan merawat sistem perekonomian yang ada saat ini.
"Merestrukturisasi perusahaan negara akan berdampak besar pada partai-partai politik, karena sudah menjadi sumber keuangan mereka,” kata dia. "Bagaimana mungkin mereka akan bersedia menerima reformasi?” imbuhnya.
Sejak ledakan di pelabuhan
Beirut yang memaksakan lengsernya pemerintahan Perdana Menteri Hassan Diab, lebih dari setahun lalu, Lebanon diperintah oleh kabinet transisi dengan Diab sebagai pelaksana tugas kepala pemerintahan.
Saat mengumumkan bubarnya kabinet transisi, Agustus silam, dia menyebut masalah terbesar Lebanon adalah "sistem korupsi” yang tidak hanya "mengakar kuat di semua lembaga negara” tetapi juga menjadi "lebih besar ketimbang negara,” dan sedemikian kuat sehingga negara "tidak lagi mampu melawannya,” kata dia seperti dilansir New York Times. rzn/pkp (afp, dpa, nytimes)