Epidemiolog Khawatirkan Lonjakan Kasus meski Rasio Positif Makin Rendah

Reza GunadhaBBC Suara.Com
Selasa, 14 September 2021 | 17:39 WIB
Epidemiolog Khawatirkan Lonjakan Kasus meski Rasio Positif Makin Rendah
Ilustrasi PPKM di masa pandemi Covid-19. (Pixabay)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah Indonesia mengklaim angka positivity rate atau rasio positif covid-19 mencatat rekor terendah, yaitu 3,05 persen.

Namun, hal ini diragukan seorang ahli penyakit menular lantaran pelacakan kontak (tracing) dan pengetesan (testing) yang dianggap masih rendah.

Apabila klaim angka positivity rate sebesar 3,05 persen per tanggal 12 September itu sesuai kenyataan, maka Indonesia sudah di bawah ambang batas minimal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 5 persen.

Positivity rate adalah persentase jumlah kasus positif terinfeksi virus corona dibagi dengan jumlah orang yang menjalani tes atau pemeriksaan.

Baca Juga: Simak! Daftar 5 Provinsi dengan Cakupan Vaksinasi di Bawah 20 Persen

Untuk diketahui, apabila positivity rate suatu wilayah semakin tinggi, maka kondisi pandemi di daerah tersebut memburuk.

Namun jika rendah, akan terjadi sebaliknya.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Senin (13/09), mengungkapkan rekor terendah angka positivity rate itu, seiring menurunnya kasus penularan covid-19 di Indonesia belakangan ini.

"Dari enam indikator WHO, untuk kasus konfirmasi sudah masuk ke level satu, yaitu level yang paling baik di bawah 20 kasus konfirmasi per 100.000 penduduk per minggu... positivity rate-nya sudah turun ke batas normalnya WHO di bawah 5 persen," ungkap Budi Gunadi.

Budi Gunadi juga mengklaim bahwa upaya pelacakan kontak Covid-19 yang dilakukan pemerintah "sudah jauh membaik" sesuai standar WHO.

Baca Juga: Menkes Kasih Catatan untuk Penyelenggaraan IBL 2022

Mengapa ahli penyakit menular meragukan data pemerintah?

Namun, epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, standarisasi pelacakan kontak dan testing Covid-19 yang sudah digariskan pemerintah, tidak berjalan semestinya di lapangan.

"Kota-kota atau kabupaten tidak ada yang melakukan tes secara sempurna, kecuali Jakarta, tapi kalau tracing-nya semuanya 'hancur'," kata Tri Yunis Miko Wahyono kepada BBC News Indonesia, Senin (13/09).

Untuk itulah, Tri Yunis meminta pemerintah Indonesia supaya memastikan agar data-datanya terkait penurunan kasus Covid-19 itu "dikonfirmasi dengan baik".

"Makanya saya ingatkan kepada pemerintah, kalau datanya tidak bisa dipastikan, saya khawatir akan terjadi lonjakan [kasus]," ujarnya.

"Kalau tidak standar tesnya, kemudian juga kontak tracing-nya tidak standar, maka kemudian angka yang dibacakan bahwa ada penurunan level itu, ya, berarti angkanya semu," tambahnya.

Temuan tiga kasus terkait pelacakan covid-19 di kota Makassar (Sulsel), dan kota Kendari (Sulawesi Tenggara), yang dilaporkan wartawan setempat kepada BBC News Indonesia, juga menguatkan kekhawatiran pakar penyakit menular tersebut.

Sementara, pakar permodelan matematika dari Institut Teknologi Bogor (ITB) Nuning Nuraini mengatakan, penurunan positivity rate di Indonesia tidak terlepas dari penurunan kasus Covid-19 di Indonesia sejak Agustus lalu.

"Memang tampak menurun, kapasitas tes juga tinggi di sekitar Juli karena memang banyak kasus ditemukan, tapi seiring dengan penurunan kasus maka jumlah orang yang di tes juga menurun, dan hal ini berakibat pada positivity rate yang turun," kata Nuning dalam pesan tertulis kepada BBC News Indonesia, Senin (13/09),

"Natural sebenarnya, namun jika kita ingin melihat dengan 'baik' situasinya, saat ini sebenarnya waktu untuk melakukan sampling test untuk memastikan bahwa kondisinya memang 'aman'," tambahnya.

Sebelumnya, WHO menyoroti angka positivity rate Covid-19 di Indonesia yang sudah di bawah batas aman 5%.

"Sejak catatan mingguan 30 Agustus hingga 5 September, angka positivity rate menurun menjadi 6,6%, dari pekan sebelumnya 12,1%," ungkap WHO dalam laporan mingguan yang dirilis Rabu (08/09) lalu.

Di Indonesia, peningkatan tajam positivity rate terjadi pada Juli 2021, yaitu melampaui 30% dan 40%, ketika terjadi lonjakan kasus COVID-19 di atas 40.000 hingga 50.000 setiap hari.

Angka ini lebih tinggi dari puncak kasus sebelumnya per Desember 2020 hingga Januari dengan positivity rate mencapai 28,8%.

Kasus di Sulawesi Tenggara, apakah pelacakan berjalan ideal?

Shally Maulana, 46 tahun, menceritakan apa yang dialami keluarganya meminta layanan kesehatan puskesmas di kampung halamannya di Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Pada pertengahan Juli 2021, kota Kendari berstatus zona merah dengan tingkat persebaran Covid-19 tertinggi dari kabupaten atau kota lainnya di provinsi itu.

Shally, yang tinggal di Banda Aceh, menghubungi ibunya - 72 tahun - yang mengurung diri di kamar terpisah untuk menghindari kontak erat dengan orang-orang serumah. Saat itu ibunya sudah menunjukkan gejala Covid-19.

Dia kemudian menghubungi puskesmas setempat untuk meminta bantuan dan dijanjikan untuk membantunya. Namun kenyataannya itu tak pernah terjadi.

Alasanya, mereka tidak bisa menemui ibunya karena sibuk dalam proses pemakaman para pasien Covid-19 yang meninggal.

"Akhirnya kami mendapat bantuan ambulance dari tempat lain, bukan tempat tinggal kami," ungkap Shally kepada wartawan di Kendari, Riza Salman, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (13/09).

Berdasarkan hasil tes swab antigen dari rumah sakit terdekat, ibu Shally dinyatakan terpapar Covid-19 dan mengalami gejala ringan dan dipersilahkan pulang untuk menjalani isolasi mendiri.

Sehari setelah itu, beberapa petugas Puskesmas baru datang melakukan pengecekan kesehatan orang serumah.

"Setelah itu tidak ada sama sekali (pengecekan) hingga beliau sembuh. Tidak ada!" ungkapnya. "Apakah selanjutnya di follow up dengan tracking? Tidak ada juga. Berhenti di situ saja."

Mengapa puskesmas terkendala dalam upaya pelacakan - kasus di Sulawesi Selatan

Ernianti, staf kesehatan di Puskesmas Barang Lompo, kota Makassar, yang terlibat dalam proses pelacakan kasus Covid-19, mengaku pernah mendapati beberapa keluarga pasien yang menolak untuk ditemui.

Rata-rata pasien atau pihak keluarga yang mempunyai kontak erat ini menolak karena mereka takut isolasi, katanya kepada wartawan di Makassar, Darul Amri yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (13/09) malam.

"Kita arahkan swab antigen tapi mereka itu tidak mau, itu kendalanya tidak mungkin juga dipaksa," kata Ernianti.

"Bahkan yang kontak eratnya yang sudah positif terus dilakukan tracing ke rumahnya siapa-siapa kontak eratnya dan mereka menolak," tambahnya

Menurutnya, sebelum petugas puskemas melakukan pelacakan, mereka melakukan penyuluhan lebih dulu, tapi itu pun ditolak.

"Mereka itu tidak mau, ada sih sebagian yang mau dan ada sebagian tidak mau. Kalau pemaksaan saya tidak bisa paksa, cuma kita hanya bisa pantau, apakah selama lima hari dia bergejala kita baru koordinasi kita pantau semua," ujarnya.

Temuan di lapangan menunjukkan kendala terbesar yang sering ditemui tim tracer adalah keluarga pasien menolak dipantau oleh pihak puskesmas, bahkan ada yang mengganti nomor kontak (telpon) yang didaftarkan.

Seorang warga Makassar, Lia, yang berusia 34 tahun, dan pernah terpapar Covid-19, mengaku dirinya tak melaporkan kasusnya ke puskesmas terdekat, karena khawatir mendapat stigma.

"Kenapa saya tidak melapor ke puskesmas karena waktu itu pandangan orang terhadap orang covid 'kan perlakuannya lebih buruk dari pada perampok," ungkapnya kepada wartawan di Makassar, Darul Amri, Senin (13/09).

Lalu dia memilih melakukan isolasi mandiri di rumahnya, sembari setiap 10 hari melakukan swab, ternyata pada hari ke 10, hasilnya negatif.

Kementerian Kesehatan akui ada kendala

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan Indonesia menyebut sudah ada 16 provinsi yang melaporkan angka positivity rate di bawah 5%, namun hal ini tidak terlepas dari kelemahan di lapangan, kata salah-seorang pejabatnya.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, tidak sedikit provinsi yang belum memperbaharui status kasus Covid-19 di wilayahnya, utamanya angka kematian akibat Corona.

Dia mengungkapkan hal itu disebabkan sejumlah faktor, seperti prosedur administrasi berjenjang, mulai level RT, RW, Kecamatan, Kelurahan, hingga Disdukcapil untuk menyatakan pasien meninggal akibat COVID-19.

"Meskipun kasus covid-19 menurun masih banyak provinsi yang belum memperbarui status kasusnya yang telah berusia lebih dari 21 hari, hal ini terjadi karena adanya keterlambatan dalam melakukan input data kematian ke dalam sistem," katanya dalam siaran pers PPKM, Rabu (08/09).

"Belum lagi ada keterbatasan para nakes untuk tidak bisa langsung menginput laporan data kematian karena tingginya beban kerja dalam menangani tingginya kasus aktif pada saat itu," sambung dia.

Apa yang dikhawatirkan pakar penyakit menular?

Ahli penyakit menular dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono mengakui ada penurunan kasus Covid-19 di Indonesia, namun dia meragukan upaya pelacakan dan pengetesan sudah berjalan optimal.

Itulah sebabnya, Tri Yunis meragukan pula klaim pemerintah Indonesia bahwa angka positivity rate atau rasio positif Covid-19 di Indonesia mencetak rekor terendah, yaitu 3,05%.

"Angka positivity rate harus terukur dari angka tesnya harusnya standar dan kontak tracingnya harus standar pula," kata Tri Yunis kepada BBC News Indonesia, Senin (13/09).

Dari hasil survei, dua proses itu tidak berjalan sesuai standar yang sudah digariskan WHO, walaupun pemerintah Indonesia sudah membuat aturan teknisnya.

"Jadi, angka terendah [positivity rate] itu menjadi tidak terstandarisasi, karena di Indonesia tesnya satu per 1.000 populasi per hari atau per minggu.

"Kemudian, semua kabupaten dari 514 kabupaten, cuma provinsi DKI Jakarta atau 5 kota yang standar. Yang lainnya enggak standar," jelasnya.

Demikian pula kontak tracing-nya. Menurutnya, harus ada pemeriksaan PCR pada semua kontak dengan orang yang terpapar Covid-19.

"Kontak tracing itu satu kasus akan dikontak minimal 20 atau 30 orang, menurut WHO, tapi di Indonesia kontak tracing-nya dua sampai delapan, bahkan rata-rata enam orang," ujar Tri Yunis.

"Itu berarti rata-rata yang di-tracing hanya keluarga," katanya.

"Kalau itu tidak standar tesnya, kemudian juga kontak tracing-nya tidak standar, maka kemudian angka yang dibacakan bahwa ada turun level itu, ya, berarti angkanya semu," tandas Tri Yunis.

"Kalau cara mengukurnya salah, ya, akan tidak kelihatan ada yang hilang atau ada yang tidak terlaporkan.

"Jadi kalau angka itu tidak terlaporkan, saya takut Indonesia [kasus covid-19] tiba-tiba akan tinggi lagi," tandasnya.

Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR pada Senin (13/09), Menteri Kesehatan Budi Gunadi mengeklaim bahwa upaya pelacakan kontak Covid-19 yang dilakukan pemerintah "sudah jauh membaik" sesuai standar WHO.

Wartawan di kota Makassar, Sulawesi Selatan, Darul Amri dan wartawan di kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Riza Salman, ikut berkontribusi dalam laporan ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI