Suara.com - John Howard, eks Perdana Menteri Australia, menepis tuduhan pernah melontarkan komentar anti-Islam selama masa jabatannya pada tahun-tahun awal setelah tragedi 9/11.
Dalam wawancara dengan radio Triple J milik ABC dalam rangka peringatan 20 tahun serangan 11 September, John Howard diminta untuk merenungkan kembali komentar-komentarnya tentang umat Islam saat itu.
Pembawa acara program Hack dari Triple J, Avani Dias, menanyakan kepada mantan perdana menteri soal komentar yang membuat warga Muslim di Australia yang merasa seperti orang asing di negaranya sendiri.
"Saya tidak pernah membuat komentar anti-Islam. Tidak, maaf saja ya, saya tidak akan menerima tuduhan itu. Itu sama sekali keliru," katanya.
Baca Juga: Anak Usia 12-15 Tahun Bakal Disuntik Vaksin COVID-19 di Australia
"Saya tidak akan terima bila dituduh saya mendorong permusuhan terhadap warga Muslim di Australia. Saya justru banyak melakukan hal yang sebaliknya," ucap John.
Avani kemudian mengutip laporan dari tahun 2006, di mana John Howard mengatakan warga Muslim yang datang ke Australia harus belajar Bahasa Inggris dengan cepat dan harus memperlakukan kaum perempuan dengan lebih baik agar bisa menyesuaikan dengan nilai-nilai yang berlaku di Australia.
Ia mengatakan secara keseluruhan tidak ada komentarnya yang "merugikan" terhadap komunitas Muslim.
"Jika Anda melihat apa yang saya katakan di Parlemen (saat itu), saya ingin agar kita memperlakukan Muslim di Australia dengan baik, benar, dan seperti kita memperlakukan orang lain," ujarnya.
"Saya sepenuhnya menolak tuduhan bahwa saya memiliki permusuhan terhadap orang-orang Islam," tegasnya.
Namun sejumlah pemuka masyarakat Islam saat itu mengecam keras komentar dari John Howard yang menjabat perdana menteri.
"Menyatakan Muslim adalah ekstremis dalam masyarakat kita, atau menyatakan siapa pun kecuali sebagian kecil Muslim di Australia bertindak seperti itu, atau bahwa Muslim sebagai sebuah kelompok tidak dapat beradaptasi dengan Australia, adalah argumen yang tidak valid, menyinggung dan bodoh," kata juru bicara Dewan Islam NSW di Sydney, Ali Roude, saat itu.
Beberapa tahun sebelum serangan 11 September, John Howard juga pernah menggambarkan burqa yang dikenakan sebagian perempuan Muslim sebagai sebuah ancaman.
Berlakukan perjanjian ANZUS
John Howard berada di Washington DC pada hari terjadinya serangan 9/11 dan mengaku melihat asap dari gedung Pentagon di dekatnya setelah pesawat ketiga yang dibajak menabraknya.
Kurang dari sebulan kemudian, Presiden AS George W. Bush mengumumkan serangan militer ke Afghanistan, setelah Taliban yang berkuasa di sana menolak untuk menyerahkan pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden.
Howard memberlakukan Perjanjian ANZUS, pertama kali dan satu-satunya dalam sejarah Australia, yang menyatakan, "Jika salah satu dari AS atau Australia diserang, maka yang satunya akan bertindak sebagai sekutu."
"Saya pikir ketika hal seperti ini terjadi, kita harus mendukung teman-teman kita. Itulah mengapa saya berpikir kenapa Australia harus membantu dan mendukung Amerika Serikat," tambahnya.
Bentuk dukungan ini berupa pengiriman lebih dari 26.000 tentara Australia ke 'perang melawan teror' selama 20 tahun, dengan 41 orang di antaranya kehilangan nyawa.
Osama bin Laden akhirnya dibunuh oleh pasukan AS pada 2011, Australia dan AS baru menarik penuh pasukannya pada bulan lalu.
Kini Taliban telah mengambil kembali kekuasaan atas Afghanistan.
John juga membantah jika intervensi militer pasukan sekutu di Afghanistan telah berkontribusi pada munculnya kelompok ekstrimis seperti ISIS.
"Ini bukan karena apa yang dilakukan di Afghanistan, tapi memang karena ideologi yang membenci apa yang kami perjuangkan," katanya.
Namun seorang pakar menjelaskan kepada program Hack Triple J bahwa 'perang melawan teror' telah menjadi tempat berkembang biak ekstremisme.
“Faktanya, pendudukan militer dan kegiatan pembangunan yang terjadi di Afghanistan, di Irak, akhirnya memicu lebih banyak perlawanan dan lebih banyak pelaku teroris,” jelas Lydia Khalil, Peneliti di Lowy Institute.
John mengatakan mengirim pasukan ke medan perang bukanlah keputusan yang dia sesali.
Hal itu, katanya, menunjukkan komitmen Australia sebagai sekutu setia Amerika Serikat, sesuatu yang dia yakini masih dirasakan manfaatnya oleh generasi muda Australia.
"Saya pikir kita memiliki hubungan dengan negara paling kuat di dunia yang memberikan jaminan keamanan tertinggi," katanya.
Dia juga tidak mengesampingkan situasi serupa untuk Australia di masa depan.
"Saya tidak ingin generasi muda Australia terlibat dalam perang. Tapi saya juga tahu bahwa sejarah mengajarkan jika kita tidak siap untuk membela apa yang kita yakini, maka kita akan kehilangan apa yang kita yakini itu," ucapnya.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.