Suara.com - Saat serangan 11 September terjadi di New York 20 tahun lalu, warga Indonesia yang sedang berada di luar negeri saat itu ikut merasakan dampaknya.
Sulfikar Amir adalah salah satu warga Indonesia yang berada di New York, saat dua pesawat menabrak menara kembar World Trade Centre tepat dua puluh tahun yang lalu.
Ia baru saja memulai studinya di Rensselaer Polytechnic Institute di Troy, negara bagian New York.
Baca Juga: Membantah Teori Konspirasi Seputar Serangan 11 September atas New York
"Saya baru mulai kuliah PhD sekitar sebulan, sedang stress-stress-nya karena harus membaca 400 halaman per minggu, jadi saya sering begadang."
"Begitu bangun jam sembilan pagi ... saya ke living room dan di situ istri saya teriak 'tuh lihat di New York City!' sambil melihat TV," cerita Sulfikar kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.
"Astaga! Apa ini yang terjadi kata saya waktu itu."
"Kami melihatnya kaget dan shock banget. Terus kemudian ada lagi [pesawat kedua] kita lihat live [di televisi]. Wah, gila itu. Gila."
Sesaat setelah peristiwa itu, Sulfikar mendapat email dari tempat kuliahnya yang mengumumkan semua perkuliahan di hari itu ditiadakan, kecuali untuk satu mata kuliah.
Baca Juga: Teori Konspirasi Masih Menyebar hingga 20 Tahun Usai Serangan 11 September
"Kami semua datang, teman-teman PhD saya pada shock semua, saya ingat satu teman saya asal Inggris yang saat itu menangis karena orangtuanya ada di New York City. Jadi teman-teman saya yang lain berusaha menenangkannya."
Sulfikar menceritakan, setelah serangan 11 September komunitas Muslim diminta untuk lebih berhati-hati dan "low-profile".
"Sebenarnya impact yang paling besar untuk saya adalah karena identitas saya sebagai muslim dan sebagai orang yang berasal dari Asia Tenggara, dan lebih spesifik dari Indonesia" tambah profesor yang sekarang mengajar di Nanyang Technological University Singapura ini.
"Ini terasa sekali dalam urusan imigrasi. Jadi setelah peristiwa itu banyak orang Indonesia yang masuk ke dalam sebuah daftar yang membuat kita harus melapor setiap masuk ke atau keluar dari Amerika Serikat."
"Kalau gagal melapor, kita tidak akan diterima lagi masuk ke Amerika," katanya.
Sulfikar mengatakan ia bersyukur tinggal di kawasan Upstate New York, yang menurutnya cukup liberal dan punya banyak komunitas Muslim, sehingga lebih toleran.
Namun saat berjalan-jalan ke negara bagian lain, ia mengatakan sering merasa dicurigai.
Salah satunya waktu sedang transit di bandara di Cincinnati, ia membawa ransel cukup besar saat itu dan merasa diperhatikan oleh seorang kulit putih.
"Saya meletakkan tas saya sebelum masuk toilet karena berat. Sampai saya selesai dan keluar restroom, orang itu masih ada nunggu saya, dia sepertinya ingin memastikan ransel itu saya bawa kembali."
"Saya juga pernah makan di sebuah restoran Turki langganan saya, lalu ada orang kulit putih masuk dan teriak 'you are f*cking terrorist' dan lain-lain, meski ujung-ujungnya minta duit," ujarnya.
Sempat melepas jilbab
Dian Hendra masih ingat persis saat serangan 11 September terjadi di tahun 2001.
"Ketika itu saya ada di Grosvenor Square London karena baru saja selesai mengurus paspor di KBRI," katanya kepada Sastra Wijaya dari ABC Indonesia.
"Peristiwa ini sangat melekat di ingatan, karena pada masa itu KBRI berkantor di Grosvenor Square dan bertetangga dengan Kedubes Amerika Serikat.
"Ketika sore tiba di rumah, setelah menjemput anak-anak sekolah, saya menyalakan TV dan semua saluran menayangkan hancurnya Twin Towers di New York."
"Kemudian ada tayangan kerumunan massa di Grosvenor Square."
"Saya teringat hanya dua tiga jam sebelumnya saya duduk di tempat yang sama berpiknik bersama anak saya yang terkecil duduk di push chair-nya, sebelum pulang ke rumah," kata Dian yang sudah tinggal Inggris sejak akhir tahun 1980-an.
Dian merasakan ada perbedaan besar dalam kehidupannya di London sebelum dan sesudah peristiwa 11 September.
"Sebelum September 11, saya tidak mengalami sesuatu yang aneh sebagai Muslim," ujarnya.
Namun setelah 11 September, Dian merasakan sendiri identitas Muslim-nya menjadi berbeda.
"Karena saya berhijab, maka perubahan itu sangat saya rasakan juga dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu dalam bentuk persepsi orang terhadap saya."
"Beberapa kali saya mengalami pelecehan verbal di jalan. Kejadian seperti ini sangat membuat tidak nyaman," ujar Dian.
"Ada pula kejadian di kereta Underground ketika satu anak saya yang ketika itu berumur 9 tahun tiba-tiba ditarik keluar dari tempat duduknya," katanya, sementara penumpang lain hanya diam saja tak membantu.
"Tidak lama setelah itu kebetulan kami pindah ke daerah perumahan yang mayoritas dihuni orang Inggris asli, sehingga saya dengan berat hati membuka hijab saya."
"[Karena] kalau keluar rumah, saya harus menggunakan transpor publik, sehingga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, saya melepas hijab saya." katanya lagi.
"Ini saya lakukan untuk alasan keamanan, karena saat itu suami saya punya jam kerja panjang dan sering saya hanya sendiri bersama anak-anak yang masih kecil."
Antara tahun 2009 sampai 2014, Dian sempat pulang ke Indonesia karena mendapatkan pekerjaan di sebuah sekolah internasional, sebelum kembali lagi ke Inggris di tahun 2015.
Dian pun memutuskan kembali mengenakan jilbab setelah melihat ada perubahan besar warga Inggris dalam memperlakukan Muslim.
"Ternyata ada hikmah di balik peristiwa September 11, yaitu meningkatkan awareness terhadap Muslim".
"Meski banyak kejadian pahit yang dirasakan Muslim di Inggris, di balik itu masyarakat semakin kenal dengan Islam. Dan dengan semakin kenal, semakin ada rasa menghormati."
Dua puluh tahun setelah peristiwa 11 September di Amerika Serikat, Dian merasa tak ada masalah lagi menjadi Muslim di Inggris.
"Menurut saya negeri ini sangat baik mendukung hak dan kesempatan untuk semua orang.
"Tugas kita sebagai Muslim adalah menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat, melakukan dakwah kita melalui karakter yang baik."
Merasakan menjadi kelompok minoritas di Australia
Beberapa bulan setelah serangan 11 September 2001, Ersa Tri Wahyuni berangkat ke Melbourne untuk melanjutkan studinya di bidang akuntansi.
Ia mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Australia, AusAid namanya saat itu, untuk kuliah di University of Melbourne.
Ersa mengatakan setibanya di Melbourne, ia tak menyangka betapa kuatnya ia merasakan sentimen anti-Islam di Australia setelah peristiwa 11 September.
"Saya di Indonesia kan tidak pernah memiliki masalah dengan identitas atau penggunaan jilbab, yang sudah saya pakai sejak umur 15 tahun," ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.
"Kami semua, mahasiswa asal Indonesia, sering diingatkan untuk selalu berhati-hati, jangan dulu kumpul-kumpul atau pengajian," kata Ersa yang kini menjadi dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (FEB Unpad).
Ersa pernah juga mendengar laporan ada pengajian di rumah mahasiswa Indonesia di Brunswick yang digerebek dan komputernya diambil. Tapi ia tidak tahu pasti kelanjutan dari laporan tersebut.
Di awal semester Ersa sudah ditunjuk menjadi Presiden untuk asosisasi mahasiswa pasca-sarjana University of Melbourne, salah satu organisasi kemahasiswaan terbesar di Australia.
Ersa mengatakan ia menjadi mahasiswa internasional dan Muslimah pertama di asosisasi yang saat itu menaungi lebih dari 10 ribu mahasiswa pascasarjana.
"Tapi saat itu kok jadinya heboh banget ya, sampai masuk ke media, ke majalah, dengan menyoroti perempuan berjilbab menjadi presiden asosiasi," ujarnya.
Ersa sempat merasa terpilihnya menjadi presiden asosiasi hanya karena dirinya seorang Muslim, serta sebagai pernyataan politik dari University of Melbourne menanggapi sentimen anti-Islam yang sedang berkembang.
"Tapi ketika saya bertanya kenapa saya yang dipilih dan mengalahkan mahasiswa lokal, jawabannya karena saya sudah memiliki banyak pengalaman sebagai aktivis mahasiswa di Indonesia," ujarnya.
Ersa pun membuktikan kemampuannya dalam memperhatikan kesejahteraan mahasiswa pascasarjana di Australia, termasuk memperkenalkan pemahaman perbedaan budaya di dunia kampus.
Salah satunya adalah menggagas disediakannya pilihan makanan halal dan vegetarian di setiap kegiatan kemahasiswaan.
"Sebelumnya mereka tidak pernah melakukannya, padahal mahasiswa internasional terutama dari kalangan Muslim makin banyak."
Ersa saat ini menjabat sebagai Kepala Unit Internasionalisasi di FEB Unpad dan ia mengatakan pengalamannya tinggal di luar negeri sebagai minoritas menjadi salah satu kesempatan terbaik dalam hidupnya.
"Dengan pernah menjadi kelompok minoritas di luar negeri, kita semakin paham pentingnya menghargai perbedaan dan empati bagi orang lain," kata Ersa.