Suara.com - Pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS yang diduga menjadi korban perundungan dan pelecehan seksual akan segera berada di bawah lindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dengan demikian, ia kemungkinan bisa terhindar dari ancaman laporan balik.
Kasus MS ini merupakan rentetan kasus kekerasan seksual di lingkungan lembaga pemerintahan, tanpa ada ruang pengaduan.
KPI sendiri menyerukan lembaga pemerintah lainnya belajar dari polemik ini untuk segera membuat aturan standar penanganan perundungan dan kekerasan seksual di tempat kerja.
Baca Juga:
- Kasus kekerasan seksual anak meningkat, 'Sex education jangan selalu dianggap tabu dan liberal'
- 'Kenapa bapak yang seharusnya melindungi malah merusak?' - Gelombang perkosaan anak dalam keluarga di Indonesia
- Seperti ini kejadiannya: Pelecehan seksual di tempat kerja
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima permohonan perlindungan dari MS pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang diduga korban perundungan dan pelecehan seksual.
Baca Juga: Dugaan Pelecehan di KPI, MS Disebut Minta Damai Tapi Terduga Pelaku Harus Cabut Kuasa
Wakil Ketua LPSK, Edwin Partog mengatakan, permohonan ini akan segera ditindaklanjuti untuk menetapkan status pemohon sebagai "terlindung" dari lembaganya setelah melalui "pendalaman".
"Kami juga akan mendalami tingkat ancaman, apakah ada ancaman yang dialami dari proses hukum yang berlangsung, dari upaya ancaman fisik, psikis atau laporan balik kepada pemohon," kata Edwin kepada BBC News Indonesia, Kamis (09/09).
Ketika statusnya sudah menjadi "terlindung", kata Edwin, segala tuduhan atau laporan balik terhadap MS "harus ditunda dulu prosesnya. Sampai laporan utamanya itu dibuktikan."
Bagaimana polemik ini berawal?
Beberapa waktu lalu, pegawai KPI berinsial MS membuat surat terbuka ke publik tentang perundungan termasuk pelecehan seksual yang diduga dilakukan delapan rekan kerjanya.
Dalam surat itu, MS mengaku, sejak mulai bekerja di KPI Pusat pada 2011, ia mengatakan rekan kerjanya beberapa kali telah "melecehkan, memukul, memaki, dan merundung tanpa bisa saya lawan."
Baca Juga: Ketua KPI Jengkel Televisi Sensor Film Kartun: Gue Kaget Shizuka Diblur
"Tahun 2015, mereka beramai ramai memegangi kepala, tangan, kaki, menelanjangi, memiting, melecehkan saya dengan mencorat-coret buah zakar saya pakai spidol. Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan emosi," tulis MS.
MS telah melaporkan kejadian dua kali ke kepolisian, akan tetapi laporan itu tidak ditindaklanjuti. "Kepada siapa lagi saya mengadu? Martabat saya sebagai lelaki dan suami sudah hancur."
Atas pesan yang telah beredar di publik ini, sejumlah rekan kerjanya yang dituduh melakukan perundungan dan pelecehan seksual mengancam akan melaporkan balik MS.
"Klien kami juga mengalami kerugian yang melebihi oleh pelapor kalau boleh dibilang," kata Tegar Putuhena, kuasa hukum pihak terlapor kepada awak media. Hal ini merujuk pada pesan yang ditulis MS dengan mencatat nama jelas terlapor sehingga berdampak terhadap keluarga mereka.
MS juga melaporkan kasusnya ke Komnas HAM.
Awal pekan ini MS dilaporkan telah memberikan keterangan kepada Komnas HAM atas dugaan perundungan dan kekerasan seksual selama bertahun-tahun bekerja di KPI.
Laporan ini setelah MS melaporkan kasusnya ke Polres Metro Jakarta Pusat awal bulan.
Anggota Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan "MS menceritakan semua yang dia alami."
Komnas HAM mengagendakan pertemuan dengan kepolisian dan KPI. "Rencananya minggu depan," tambah Beka Ulung.
Bukan kasus pertama
Kasus yang dihadapi MS bukan pertama kalinya terjadi di lingkungan lembaga pemerintahan. Kasus terkait dengan dugaan kekerasan seksual pernah dialami staf BPJS berinisial RA yang dilakukan oleh atasannya pada 2019.
Sebelumnya, juga seorang pegawai Dirjen Pajak mengadu karena dilecehkan oleh atasannya pada 2016. Lalu, 2014 seorang pegawai di LKBN ANTARA mengadu ke LBH APIK untuk mendapatkan pendampingan karena mengaku mendapat pelecehan seksual dari seorang general manager.
Anggota Komnas Perempuan, Theresia Iswarini mengatakan belum mencatat ada kasus yang melibatkan pria namun dari data menyangkut perempuan kasus ini hanya fenomena gunung es.
- Pelecehan seksual di Irak lebih banyak dialami pria dibandingkan perempuan?
- Pelecehan seksual di ruang publik: 'Saya membawa trauma itu setiap hari'
"Itu betul kalau disebut fenomena gunung es. Karena karakter kasusnya. Ini karakter kasus di mana ada pola relasi yang sangat timpang antara atasan dan bawahan," kata Rini - sapaan Theresia Iswarini kepada BBC News Indonesia.
Dalam satu kasus yang ditangai Komnas Perempuan yang terjadi di kementerian, korban justru dipindah kerja. "Dan, korban itu tidak boleh didampingi oleh lembaga di luar institusi tersebut. Ini yang menjadi problem," kata Rini.
Laporan pengaduan yang diterima Komnas Perempuan terkait Kekerasan terhadap Perempuan pada 2020 mencapai 2.389 kasus. Meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 1.419 kasus. Namun jumlah kasus kekerasan terkait dengan lembaga negara atau instansi pemerintah, tidak banyak.
"Upaya untuk mengangkat kasus ini tidak gampang, karena karakter kasus, atau karakter relasi kuasa [yang] timpang itu," jelas Rini.
Kasus-kasus di lembaga negara atau instansi pemerintahan yang pernah ditangani LBH APIK juga demikian. Sebagian besar korban adalah bawahan dari pelakunya.
"Karena pelakunya punya kuasa, sehingga juga kerugian korban bisa berkali-kali lipat akan dipersalahkan. Terus orang nggak percaya sama keterangan dia, karena lebih percaya sama orang yang relasi kuasanya lebih tinggi. Atau ketidakberanian orang lain untuk melakukan pembelaan," kata Direktur LBH APIK Jakarta, Siti Mazumah kepada BBC News Indonesia.
Menurut Zumah—sapaan Siti Mazumah, peristiwa ini akan terus terjadi karena sejauh ini umumnya lembaga negara atau instansi pemerintahan belum punya unit layanan pengaduan khusus. Akibatnya, korban akan sepanjang hidupnya bekerja dalam kondisi "takut dan trauma".
"Kasus ini bukan sekali dua kali, tapi terus berulang terjadi. Dan kita hanya sibuk saja kayak pemadam kebakaran," lanjut Zumah.
Berpedoman pada etik dan disiplin
Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN) Satya Pratama mengatakan, "Kalau pelecehan seksual, kita lihat dulu kasusnya, sebatas apa. Tapi karena pelecehan sifatnya pidana, maka bisa gunakan KUHP saja."
Sejauh ini, baik lembaga negara maupun instansi pemerintah berpatokan pada hukum kode etik dan disiplin untuk penyelesaian kasus-kasus perundungan maupun kekerasan seksual.
"Dasar Hukum PP 42/2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS; PP 53/2010 Tentang Disiplin PNS, dan Peraturan Kepala BKN 21 /2010 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 53 Tahun 2010," kata Satya dalam pesan tertulis.
Namun, menurut Anggota Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, mekanisme ini perlu dievaluasi. "Untuk hal-hal terkait dengan kekerasan seksual dia tidak bisa lagi disebut pelanggaran disipilin atau kode etik. Dia harus ada step [langkah] yang lebih kuat lagi," katanya.
Langkah tersebut adalah SOP pengaduan internal yang berpihak kepada korban, termasuk kemauan dari pimpinan lembaga atau instansi pemerintahan untuk menyelesaikan.
"Mekanisme internal harus dibangun dan meyakinkan korban, atau mereka yang potensial jadi korban untuk berani melaporkan apa yang dialami," tambah Rini.
Duduk bareng
Komnas Perempuan sendiri sudah memiliki mekanisme pengaduan internal terkait kasus kekerasan seksual, yang bisa dijadikan model oleh lembaga negara lainnya. Di antaranya membuka saluran anonimitas agar pelapor nyaman untuk mengutarakan persoalannya.
Sementara itu, Anggota Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan dalam waktu dekat akan berkomunikasi dengan Komnas Perempuan, KPAI, dan LPSK untuk "merumuskan apa yang bisa dilakukan bersama."
"Ini saya kira bukan soal urgennya, tapi juga pencegahan supaya tidak terjadi yang sama di mana pun," kata Beka.
KPI serukan SOP internal di lembaga-lembaga
Dugaan pelecehan seksual dan perundungan di KPI, membuat lembaga ini merefleksikannya sebagai "warning bagi kita semua" untuk membuat prosedur penanganan kekerasan seksual dan perundungan di internal lembaga.
"Nah, itu yang menjadi evaluasi kita, bagaimana mekanisme prosedur penanganan ketika terjadi kekerasan di tempat kerja. Nanti juga kita akan dorong segera, siapkan ruang konseling dan ruang pengaduan bagi pegawai KPI," kata Anggota KPI, Nuning Rodiyah.