Suara.com - New York, Selasa pagi, 11 September 2001. Jarum jam belum bergerak jauh dari pukul 09:00 pagi.
Ketika kepanikan mengguncang warga kota karena dua serangan atas Twin Towers World Trade Centre (WTC), komunitas Muslim mulai menjadi sasaran kemarahan warga setempat.
Saat itu telah tersiar kabar kelompok ekstremis al-Qaida yang bertanggung jawab atas serangan paling mengerikan dalam sejarah Amerika Serikat dan dunia.
Imam Indonesia, Shamsi Ali, yang pagi itu tengah menuju tempat kerjanya di PTRI, PBB, termasuk di antara yang merasakan dampaknya, bukan secara fisik, namun berupa cacian.
Baca Juga: 5 Potret Enzy Storia di New York, Hadiri Ajang Fashion Bergengsi!
"Sangat menyedihkan sangat mencekam," cerita Shamsi Ali mengenang kejadian pagi hari, 20 tahun lalu itu.
Dua pesawat menabrakkan Gedung Twin Towers World Trade Centre New York. North Tower yang pertama ditabrak pada 08:46 waktu setempat dan South Tower pada pukul 09:03. Serangan di dua gedung ini menewaskan lebih dari 2.600 orang.
Dua momen yang sering diceritakan dan selalu diingat Shamsi Ali - yang saat ini menjadi direktur Jamaica Muslim Centre - adalah ketika mendengar cacian supir taksi yang tak tahu dirinya Muslim, dan pelukan oleh tetangga Katolik yang menyadarkannya akan hal yang menurutnya sangat penting.
Persepsi tentang Islam yang salah. Islam dan Muslim dikaitkan dengan kekerasan.
Ketika berjalan kaki pulang ke rumahnya dari Manhattan ke Queen yang cukup jauh, ada taksi yang mau berhenti dan mengantarnya.
Baca Juga: 6 Gaya Artis Indonesia di New York Fashion Week, Berpose Kece di Jalanan Kota
Supir taksi yang tidak mengetahui dirinya Muslim "Bersedia mengantar saya dengan senang hati Namun ketika di mobil, dia mulai mencaci maki Islam dan orang Islam."
Saat itu telah santer diberitakan kelompok ekstremis al-Qaida yang bertanggung jawab.
Ketika tiba di rumah tetangganya, suami istri yang sudah sepuh bergegas menghampiri dan memeluknya.
"Dia mengatakan tiga kali, 'Saya tak percaya', sambil menangis. 'Saya tak percaya kalau orang Islam yang melakukan ini. Kalau semua orang Islam seperti kamu tak mungkin dia melakukan itu'," cerita Shamsi mengutip tetangganya.
"Saat dipeluk orang tersebut, betul-betul perasaan saya bercampur aduk, saya memikirkan hari-hari yang akan datang, mencekam," katanya lagi.
Sang tetangga pemeluk Katolik yang berasal dari Irlandia sempat dicurigai Shamsi saat awal pindah ke Amerika Serikat pada 1996.
"Saya mengistilahkan, saya diajari menjadi Muslim yang lebih baik, tidak diajari Islam, tetapi diajari menjadi Muslim yang baik," katanya.
Baca juga:
- Apa yang terjadi pada serangan 9/11?
- Kisah agen FBI memburu arsitek serangan 11 September: 'Ia lolos ketika sudah hampir tertangkap'
- FBI merilis kembali foto-foto serangan 9/11 di Pentagon
Sejak beberapa tahun sebelumnya, tetangga suami istri yang berusia 70an itu, selalu menyapu di depan rumah, termasuk di depan kediaman keluarga Shamsi.
"Ada kecurigaan di benak saya, ini non-Muslim, tapi kok baik sekali, menyapu depan rumah saya Awalnya kita tidak pernah interaksi dengan non-Muslim, saya jadi curiga, sebentar lagi mereka akan menggoda saya. Ternyata berhari-hari, berbulan-bulan kemudian, mereka tak pernah ngomong soal agama."
Sikap tetangganya ini, kata Shamsi, justru, "mengingatkan saya, arti agama yang sesungguhnya. Agama itu bukan yang kita lakukan di rumah-rumah ibadah, tapi agama itu adalah apa yang kita lakukan di tengah masyarakat, menampilkan perilaku yang baik."
"Dua hal ini adalah pelajaran penting yang saya bawa dalam langkah dakwah-dakwah saya di Amerika. Betapa banyak teman-teman kita di luar sana yang salah paham dan kewajiban kita untuk memberitahu Islam yang sesungguhnya.
"Yang paling efektif bukan ceramah berapi-api tapi bagaimana menampilkan Islam dengan perilaku dan karakter," katanya lagi.
"Islam ketika itu sedang runtuh juga"
Tantangan, "paling berat" menyusul Serangan 11 September, kata Shamsi, adalah "persepsi yang terbalik, bagaimana ketika orang Muslim duduk di subway (kereta bawah tanah), di bus, orang pasti akan berpikir, subway akan diledakkan atau dia akan menusuk orang."
"Luar biasa citra yang terbangun ketika itu," kata Shamsi yang disebut dalam New York Magazine, terbitan Mei 2006, sebagai salah seorang pemuka Islam berpengaruh.
New York Magazine menyebutnya sebagai ulama moderat yang "memimpin 1.000 jemaah di Indonesian Culture Centre di Woodside, 4.000 jemaah di Jamaican Muslim Centre dan berkhotbah di depan 6.000 jemaah di Masjid 96th Street. Sejak 9/11". Ia menjadi utusan tak resmi penegak hukum dan kantor wali kota.
"Seandainya Islam itu seperti Gedung WTC, Islam ketika itu sedang runtuh juga."
"Saya merasakan beratnya ketika itu, bagaimana membangun lagi. Kalau WTC secara fisik bisa dibangun lagi, tapi membangun image [citra] yang diruntuhkan ini Bagaimana image yang selama ini kita bangun diruntuhkan. Sangat menyedihkan."
Hari itu, komunitasnya banyak mendengar "teman-teman yang menghadapi kekerasan. Ada masjid yang dirusak, ada perempuan yang dipukuli. Macam-macam kekerasan yang terjadi pada hari pertama."
Menurut catatan Biro Penyelidik Federal, FBI, terdapat 28 laporan kejahatan anti-Muslim pada tahun 2000 dan jumlahnya pada tahun 2001, naik hampir 500.
Dikirim bunga oleh pendeta
Sejumlah masjid yang sempat diserang, menurut Shamsi, termasuk yang menutup diri dan tidak berupaya mengenalkan diri ke para tetangga.
"Akhirnya orang yang dibombardir dengan informasi yang salah tentang Islam, jadi curiga Terkadang ketidaktahuan orang, kebencian orang, disebabkan karena kita yang kurang berinteraksi atau bergaul dengan orang," cerita putra kelahiran Makassar ini.
Namun ia mengatakan masjid Indonesia al-Hikmah yang dipimpinnya, justru didatangi dua pendeta dari gereja yang terletak tak jauh.
"Mereka membawa karangan bunga ke kita, ada masjid yang diserang, tapi masjid kita dibawakan karangan bunga. Pendeta itu mengatakan, 'Saya tahu kamu dalam situasi sulit, apa yang dapat kami bantu?', justru gereja menawarkan."
Melalui kunjungan ini, kata Shamsi, pihaknya kemudian menjalin komunikasi dan dialog.
Imam Shamsi juga merasa dirinya "terekspos".
"Saya sendiri, yang telah tinggal di New York beberapa tahun sebelum Serangan 11 September, terekspos karena sebelumnya saya tak bisa membayangkan berkomunikasi dengan pemeluk agama lain secara masif, bahkan dengan masyarakat Yahudi.
"Kapan kita bisa bermimpi akan berkomunikasi, berdialog, bahkan menulis buku dengan pendeta Yahudi. Ini kan belum pernah kita impikan. Tapi ketika terjadi Serangan 11 September, semua ini membuka [peluang]," tambahnya lagi.
Shamsi mendapatkan pendidikan pesantren di Sulawesi Selatan dan melanjutkan studi di Pakistan. Ia kemudian mendapat tawaran untuk bekerja di Arab Saudi selama dua tahun.
Pengalaman di dua negara ini, yang disebut Shamsi, membuatnya mudah curiga terhadap pemeluk agama lain, ketika pindah ke New York pada 1996.
Tetapi upayanya membuka diri bukan tanpa masalah dari jamaah sendiri.
Ketika itu Shamsi Ali juga menjadi wakil imam di Islamic Cultural Center (ICC), masjid yang terletak di 96th Street. Sejumlah jamaah tak setuju dengan kontak dengan Yahudi ini.
Di tengah penentangan ini, kontak eratnya dengan Rabi Marc Schneier membawa keduanya mengorganisir saling kunjung ke masjid dan sinagoga dan berujung pada pembuatan buku berjudul Sons of Ibrahim yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Anak-anak Ibrahim.
Keduanya juga diundang ke sejumlah negara, menjadi model untuk menjalin komunikasi antar agama.
Rabi Burton Visotzky, profesor kajian Yahudi mengatakan, "Orang Barat sering bertanya-tanya apa pesan yang disampaikan di masjid-masjid, dan orang Yahudi sering khawatir."
"Apa yang saya dengar dari yang disampaikan Shamsi Ali adalah khotbah tentang persaudaraan," kata Visotzky seperti dikutip Reuters.
Sementara publikasi komunitas, The Jewish Week, menggambarkan Shamsi sebagai "peminpin yang karismatik dan penuh perhatian."
Shamsi menyebut apa yang dilakukan komunitas Yahudi dan Muslim ini mengubah banyak hal.
"Gerakan yang dimulai di New York menjadi global movement [gerakan global] antar Muslim-Yahudi. Terakhir di Tunisia tahun 2019. Mereka berabad-abad belum pernah berdialog. Saat kami ke sana, para syekh dan rabi saling berterima kasih," ceritanya.
Setelah tiba di New York pada 1996 dan memimpin Masjid al-Hikmah, Shamsi diundang memberi ceramah tentang Islam di New York Police Department.
Kontrak ini yang membuat NYPD memintanya mewakili komunitas Muslim dalam doa bersama antaragama di Stadion Yankee, yang dihadiri sekitar 15.000 orang, dua minggu setelah Serangan 11 September.
Pintu dialog antar agama
Shamsi juga aktif dalam kegiatan antaragama, termasuk National Dialogue of Muslim and Catholic serta konperensi Imam dan Rabi di AS dan luar negeri.
Ia menyebut, "11 September membuka pintu kesempatan semua pihak untuk dialog antaragama yang kemudian sangat booming".
"Dari kota New York, kemudian jadi fenomeda global," ujar Shamsi.
Islam semakin berkembang dan radikalisme juga diidentikkan dengan supremasi kulit putih
Dua puluh tahun sejak Serangan 11 September, Shamsi menyebut persepsi yang salah tentang Islam di AS sudah berkurang. Islam juga menjadi agama yang "sangat populer" dengan politisi-politisi Muslim, termasuk anggota kongres, wali kota dan anggota dewan perwakilan daerah di New York.
"Di NYPD, ada sekitar 1.000 lebih polisi yang Muslim dan ada salat Jumat. Di sekolah umum, sudah ada liburan Idul Fitri, Idul Adha, dan makanan halal yang didanai pemerintah, karena anak-anak perlu makanan halal."
"Masyarakat Amerika sudah melakukan perubahan2 dalam melihat Islam," katanya lagi.
Menjelang peringatan ke-20 Serangan 11 September, naiknya banyak Muslim Amerika ke posisi berpengaruh di Washington dan posisi-posisi penting lain, merupakan perkembangan yang tidak diperkirakan dua dekade lalu, lapor Newsweek.
Tiga distrik Detroit akan memilih wali kota-wali kota Muslim pertama, tim sepak bola Amerika New York Jets mengangkat Robert Saleh sebagai pelatih Muslim pertama, sementara CBS menampilkan drama dengan karakter utama Muslim, tambah Newsweek dari serangkaian posisi penting.
Pada 2001, sekitar satu juta Muslim tercatat tinggal di AS, menurut data Association of Religious Data Archives, dan jumlah pemeluk Islam sekarang tercatat sekitar 3,5 juta.
Sementara jumlah masjid meningkat dua kali lipat sejak tahun 2000 menjadi lebih dari 2.700 di seluruh AS.
"Keberkahan" naiknya Trump
Shamsi mengatakan salah satu dari apa yang ia sebut sebagai "keberkahan" naiknya Donald Trump adalah bahwa "tuduhan radikalisme tak lagi identik dengan orang Islam, namun kelompok supremasi kulit putih yang mengambil alih Capitol Hill [Januari lalu]."
Tetapi tantangan ke depan masih besar, menurut Shamsi.
Umat Islam harus berbenah terus menerus, katanya. "Ada harapan dunia Barat bahwa Islam harus menjadi bagian dari kontribusi dalam membangun peradaban dunia."
Ia mencontohkan kontribusi kecil komunitas Muslim di lembaga yang dipimpinnya, Jamaica Muslim Centre.
"Dulu orang takut untuk tinggal di daerah ini, karena narkoba dan sebagainya. Sejak Jamaican Muslim Centre berdiri, orang-orang Islam datang membeli rumah dan membuka usaha, akhirnya menjadi salah satu daerah yang paling aman."
Di Idul Adha lalu, wali kota terpilih Eric Adams datang secara khusus untuk menyampaikan apresiasi.
"Inilah komunitas yang kita harapkan, yang bisa berkembang dan memberi kontribusi positif," katanya, seperti ditirukan Shamsi.
Pada 2013, Shamsi mendirikan Nusantara Foundation, organisasi sosial untuk mendorong dialog antaragama.
Melalui yayasan ini, kata Shamsi, "Saya ingin Amerika sadar, ketika mendengar kata Islam tak lagi menengok ke Saudi, Qatar, atau Timur Tengah, tapi ke Indonesia."