Suara.com - Semua pergerakan dimonitor dari jarak jauh dengan telepon genggam. Sebuah kamera tersembunyi dipasang di kamar dan ancaman mengirim video intim ke keluarga. Paspor ditahan, bersama dengan dokumen dan uang. Kontak dengan teman dibatasi. Hubungan seks paksa antara 15 sampai 20 klien per hari.
Ini adalah rutinitas harian tiga perempuan Brasil yang diselamatkan oleh polisi dari pekerjaan seperti budak yang terjadi di London barat laut, dalam sebuah investigasi kompleks yang dimulai sejak Maret tahun lalu.
Kasus ini berakhir pada 9 Agustus, ketika Shana Stanley, seorang perempuan berusia 29 tahun, dan Hussein Edanie, pria berumur 31 tahun, mengaku bersalah atas tuduhan menjalankan usaha prostitusi dan merencanakan perjalanan dengan tujuan eksploitasi.
Tiga perempuan Brasil dan satu warga negara Inggris menjadi korban mereka.
Baca Juga: Curhat PSK Palembang Hadapi Pandemi: Banting Harga sampai Tertipu Pelanggan Online
Edani diganjar hukuman penjara delapan tahun dan dua bulan, sementara Stanley menghadapi tiga tahun dan tujuh bulan kurungan dalam vonis yang dijatuhkan pada 27 Agustus lalu.
Detail kasus ini diperoleh secara eksklusif oleh BBC News Brazil.
"Mereka menjual mimpi kepada saya, yang kemudian berubah menjadi mimpi buruk," ujar salah satu korban dari Brasil itu.
Dia masih memulihkan diri dari trauma karena penyiksaan kejam di neraka dunia di ibu kota Inggris itu.
Dalam laporan ini, identitas para penyintas dirahasiakan.
Baca Juga: Semarak Muda-mudi Inggris Kunjungi Festival Musik Reading
"Surat kematian Anda"
Ketiga perempuan Brasil itu tiba di Inggris pada 2020, setelah menerima "beasiswa" dari tempat yang mengaku menawarkan kursus Bahasa Inggris selama beberapa pekan.
Polisi tidak menyediakan detail bagaimana mereka menghubungi korban.
Tak lama setelah mereka mendarat di London, mereka menjadi korban perdagangan manusia, yang menurut PBB terjadi kepada 2,5 juta orang dan menjadi tempat perputaran uang lebih dari US$30 miliar (RP427 triliun) per tahun.
"Berkat keberanian para korban, kami berhasil mengumpulkan bukti yang tidak dapat dibantah, sehingga Edani dan Stanley tak punya pilihan lain selain mengaku bersalah. Ini akan menghalangi mereka mencelakakan orang lain," kata Detektif Pete Brewster, salah satu penyelidik.
Proses penyelidikan dimulai setelah salah satu korban dari Brasil meminta pertolongan polisi pada Maret tahun lalu. Ketika itu, dia terlibat pertengkaran dengan Stanley.
Dalam pertengkaran itu, korban mencoba menelepon polisi, namun didorong oleh Stanley, yang kemudian, menurut catatan polisi, mengancamnya.
"Anda menandatangani surat kematian Anda sendiri," kata dia.
Peristiwa ini memicu warga Brasil tersebut untuk tak menyerah meminta pertolongan polisi dan menunjukkan foto-foto para pelaku kejahatan.
Tim Perbudakan Modern dan Eksploitasi Anak dari London Metropolitan Police kemudian meluncurkan investigasi.
Dalam testimoninya, korban berkata, tak lama setelah memulai kelas Bahasa Inggris di Manchester, dia diundang ke London untuk bertemu dengan perempuan yang memberinya beasiswa tersebut.
Setelah bertemu dengan perempuan itu, korban dipaksa menandatangani kontrak atau "dia tidak akan bisa kembali ke Brasil", "harus hidup di jalanan London", dan "tidak akan pernah bisa bertemu keluarganya lagi".
Prostitusi paksa
Kontrak tersebut, menurut polisi, meminta korban untuk setuju "menjual tubuhnya".
Dia mengaku tak punya pilihan lain kecuali menandatangani kontrak tersebut kepada para penyelidik, karena takut tak bisa kembali ke Brasil.
Modus yang sama dilakukan kepada korban-korban lain dari Brasil, yang juga datang ke Inggris setelah dijanjikan belajar Bahasa Inggris gratis, termasuk dibayari tiket dan administrasi.
Para korban diharuskan menyetor US$690 (Rp9,8 juta) per hari. Sebagai upah, mereka dibayar US$345 (Rp4,9 juta) per minggu, ditambah US$70 (Rp990 ribu) untuk makan.
Untuk memperoleh pendapatan yang diminta oleh para pelaku kejahatan, mereka harus menerima 15 sampai 20 klien dalam sehari, kata polisi.
Jumlah uang yang harus diberikan kepada Stanley dan Edani, menurut mereka, dipakai untuk membayar pengeluaran transportasi dari Brasil, yang semula dikira gratis oleh para korban.
Di dalam kamar, semua kegiatan divideokan dengan kamera yang dikontrol oleh pasangan tersebut. Mereka juga mengatakan kepada korban, mereka akan mengirimkan gambar-gambar tersebut ke keluarga mereka "jika mereka tidak melakukan apa yang diminta."
Para korban juga diberi telepon genggam oleh Stanley, yang tidak boleh dimatikan dan dipakai untuk mengirim informasi klien melalui WhatsApp dan memonitor pergerakan melalui GPS.
Selama beberapa waktu, mereka memang menjalani kursus Bahasa Inggris, namun lama-kelamaan dipaksa untuk keluar.
Pada April 2020, sebulan setelah pengaduan dari salah satu korban, polisi London mengeluarkan surat perintah penggeledahan dan penyitaan di alamat rumah pelaku, dan menyita ponsel, dokumen, daftar harga dan berkotak-kotak kondom dari kediaman mereka.
Ribuan poundsterling ditemukan di rekening bank mereka.
Setelah penggeledahan inilah, polisi menemukan satu korban warga negara Inggris, seorang perempuan yang mengaku mengira ditemukan oleh agensi model.
Mulanya pasangan Stanley dan Edani mengirimi korban hadiah dan membiayai semua kebutuhan korban, namun kemudian memaksanya untuk "membayar utangnya" dan memprostitusikan diri.
"Edani dan Stanley membujuk para korban dengan janji palsu untuk memanipulasi dan mengeksploitasi mereka demi uang. Mereka sama sekali tidak menghormati para korban dan kesejahteraan mereka, bahkan memaksa mereka bekerja sepanjang hari dengan sedikit keuntungan, bahkan ketika mereka merasa tidak enak badan," kata Detektif Brewster.
"Satu-satunya yang mereka pedulikan adalah berapa banyak uang yang bisa mereka dapatkan."
Bagaimana aturan terkait prostitusi di Inggris?
Berdasarkan hukum Inggris, prostitusi atau menawarkan jasa seksual dengan imbalan uang adalah aktivitas legal.
Akan tetapi, eksploitasi prostitusi — melalui muncikari — ataupun rumah bordil dilarang.
Polisi London berkata "mereka menangani laporan perbudakan modern dengan sangat serius dan berkomitmen menuntut semua pihak yang terkait dengan kejahatan ini."
Mereka juga mengatakan, "mendorong siapa saja yang mengalami kejahatan serupa untuk melapor kepada polisi" dan pengaduan mereka akan "ditangani dengan sensitif" dan "diinvestigasi dengan teliti".
Menurut Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kejahatan (UNODC), 72% korban perdagangan manusia di dunia adalah perempuan dan remaja putri.
Dalam kasus-kasus yang melibatkan perempuan, 83% terkait eksploitasi seksual, 13% kerja paksa, dan 4% tujuan lain.
Untuk korban laki-laki, proporsinya terbaik, 82% diperdagangkan untuk kerja paksa, 10% eksploitasi seksual, 1% untuk penjualan organ, dan 7% tujuan lain.