Kisah Orang-orang yang Gagal Melarikan Diri dari Taliban

Reza GunadhaBBC Suara.Com
Kamis, 02 September 2021 | 20:44 WIB
Kisah Orang-orang yang Gagal Melarikan Diri dari Taliban
Ilustrasi warga Afganistan panik, mencoba kabur dari negara tersebut agar tidak berurusan dengan Taliban.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ribuan warga Afghanistan berbondong-bondong pergi ke Bandara Kabul dalam dua pekan terakhir, untuk keluar dari negara tersebut sehingga tak berurusan dengan Taliban.

Mereka berhari-hari menunggu dengan gelisah tanpa air, makanan, atau toilet agar bisa diangkut dengan pesawat.

Banyak yang nyaris meninggal karena serangan bom bunuh diri oleh ISIS-K dan kemudian serangan drone AS.

Pemerintah AS mengatakan bahwa mereka bersama dengan mitra telah berhasil mengevakuasi 123.000 orang sebelum tenggat 31 Agustus.

Baca Juga: Zakia Khudadadi Lakoni Debut di Paralimpiade Tokyo setelah Lalui Drama Evakuasi

Namun banyak orang, termasuk mereka yang pernah bekerja di pemerintahan Afghanistan, aktivis perempuan, jurnalis, serta orang-orang dari kelompok minoritas agama dan seksual, telah tertinggal.

BBC berbicara kepada tiga orang yang tidak bisa pergi. Mereka sekarang dalam persembunyian, jadi nama asli mereka diubah untuk melindungi identitas mereka.

Setelah Taliban merebut Kabul, Nazeef, bersama istri dan bayinya meninggalkan rumah mereka.

"Sayangnya saya tidak bisa tinggal. Saya meninggalkan rumah saya dan berpindah-pindah. Saya berganti lokasi setiap hari. Saya sekarang bersembunyi di rumah saudara saya," kata Nazeef kepada BBC.

Laki-laki yang pernah bekerja sebagai manajer kantor pemerintah itu punya riwayat panjang dengan Taliban. Masalahnya dimulai ketika ia dikirim untuk mengaudit pinjaman yang diberikan kepada petani di wilayah pedesaan, yang berada dalam pengaruh Taliban.

Baca Juga: Dikenal Sebagai Kelompok Radikal dan Teroris, Ini Perbedaan Taliban, ISIS, dan Al-Qaeda

"Dalam peran itu saya telah berkunjung ke 18 provinsi selama hampir dua tahun untuk berbicara dengan petani. Taliban tidak suka proyek ini karena didanai oleh negara asing, Saat bekerja, saya melihat aktivitas Taliban dan menyampaikan informasi itu kepada kawan-kawan media saya."

Nazeef berkata Taliban mengetahui bahwa ia adalah sumber berita itu dan "menyampaikan peringatan" kepadanya, melalui kakaknya. Ia mengaku mengabaikan peringatan itu dan terus menyuarakan sikap oposisinya terhadap kelompok militan itersebut, antara lain dengan menulis kritik pedas di media sosial.

Namun adalah peran terakhirnya di pemerintah yang ia pikir membuatnya menjadi target utama.

"Saya bekerja di departemen yang sangat sensitif, mengelola data pribadi orang-orang. Taliban tahu jika mereka menangkap saya, mereka bisa mendapatkan nama dan alamat banyak orang yang mereka ingin jadikan target."

Ia mendengar dari tetangganya bahwa Taliban datang ke rumahnya setidaknya tiga kali dalam dua pekan terakhir.

"Saya dapat informasi mereka telah membunuh tujuh orang yang pernah bekerja dengan pemerintahan sebelumnya di Kabul, baru dua hari yang lalu."

Karena ia tidak bekerja untuk pemerintah asing, ia tidak mendapat panggilan dari pemerintah negara-negara Barat untuk datang ke bandara. Namun Nazeef mencoba peruntungannya dan tetap berangkat ke bandara bersama istri dan anaknya.

"Saya sudah empat kali mencoba tapi tidak bisa berangkat. Saya bawa dokumen untuk menunjukkan bahwa saya bekerja di wilayah sensitif dan nyawa saya dalam bahaya namun saya tidak bisa menemui atau berbicara dengan pejabat kedutaan. Saya bahkan tidak bisa mendekati gerbang bandara."

Nazeef khawatir ia tidak akan bisa banyak bergerak setelah semakin banyak petempur Taliban berada di Kabul. Ia sedang bersiap untuk menempuh perjalanan berisiko bersama istri dan anaknya dengan membayar penyelundup manusia.

Ia tahu itu akan jadi perjalanan yang berat, di mana banyak migran tewas dan perempuan terutama rentan terhadap pelecehan seksual.

"Bahkan itu tidak mudah," kata Nazeef, karena "Taliban mengatakan mereka telah menutup semua penyeberangan perbatasan dengan negara tetangga".

Meski begitu, Nazeef siap untuk mengambil risiko.

"Mereka tidak akan pernah memaafkan saya. Jika saya tinggal di Kabul, Taliban akan membunuh saya jika mereka menemukan saya."

"Saya ingin pergi karena tidak ada jaminan bahwa nyawa saya aman," kata Ahmed.

Ahmed sudah bertahun-tahun bekerja sebagai jurnalis dan kemudian mendapat jabatan sebagai penasihat media di salah satu departemen di pemerintahan Afghanistan.

Ia belum menerima ancaman pembunuhan secara langsung, namun ia takut karena Taliban menyita semua dokumentasi dari kantor tempatnya bekerja, termasuk daftar staf yang berisi namanya.

"Tindakan Taliban saat ini biasa saja. Tapi bagaimana perilaku mereka setelah mendirikan pemerintahan, itu pertanyaannya."

Ia curiga Taliban masih mengonsolidasikan kekuasaannya dan menunggu waktu yang tepat untuk "melenyapkan mereka yang dianggap sebagai musuh".

Ahmed tidak percaya dengan amnesti umum yang diberikan oleh Taliban.

Istrinya dan kakaknya meminta Ahmed untuk pergi. Karena dia memiliki visa Inggris yang valid, ia memutuskan untuk pergi ke bandara Kabul pada Kamis lalu namun ketika ia tiba, seluruh jalan di luar gerbang utama penuh dengan orang-orang.

Nekat, ia melompat ke saluran drainase yang sejajar dengan jalan, untuk menghindari antrean.

Saat mengarungi air selokan setinggi lututnya, ia mendengar suara ledakan keras.

"Ledakannya begitu kuat, saya sampai terlempar ke tanah oleh gelombang kejut. Tangan dan wajah saya memar. Ledakan bom itu hanya 150 meter dari posisi saya."

Sebanyak 170 orang, termasuk 13 tentara AS, tewas dalam serangan bom yang menghentikan operasi evakuasi untuk sementara.

Ahmed dijemput oleh kakaknya dan ia sampai di rumah setelah beberapa jam. Ia berkata sekitar selusin orang yang pernah bekerja di berbagai departemen media untuk pemerintah kini telah pergi ke berbagai negara melalui penerbangan evakuasi.

Ahmed ingin keluar sesegera mungkin. Ia berkata ia tidak yakin kapan penerbangan komersial akan kembali beroperasi dari bandara Kabul, jadi ia berencana menyeberang perbatasan ke Pakistan, dan mencoba peruntungannya di sana.

"Situasinya buruk sekali," imbuhnya.

"Taliban menyetop mobil-mobil dan memeriksa semua orang, meminta mereka menunjukkan kartu identitas."


Setelah mendapat panggilan dari pemerintah Inggris, Parvana bergegas ke bandara Kabul untuk kabur.

"Saya menikah dengan seseorang yang bekerja dengan tentara asing. Karena itu saya dalam bahaya besar."

Namun ia tidak bisa keluar dari Afghanistan.

Parvana menikah dengan seorang penerjemah yang bekerja untuk militer Inggris di Afghanistan.

Suaminya bermigrasi ke Inggris beberapa tahun yang lalu dan akhirnya mendapatkan izin untuk membawa istrinya ke Inggris setelah Taliban mengambil alih Kabul.

Namun ia tidak mendapat visa di paspornya dan sekarang mengkhawatirkan keselamatan nyawanya.

"Kedutaan-kedutaan ditutup di sini. Bagaimana pemerintah Inggris akan mengelola skema relokasi? Saya tidak tahu bagaimana cara kerja relokasi dari negara ketiga? Situasinya sangat buruk dan saya merasa putus asa sekarang. Saya tidak bisa pergi ke Inggris," ujarnya.

Lebih dari 15.000 orang telah dievakuasi oleh Inggris sejak 14 Agustus. Namun Parvana tidak ada di antara mereka.

"Saya di sana enam hari enam malam tapi tidak berhasil. Terlalu penuh. Saya duduk di tanah. Itu tidak aman sama sekali. Saya berusaha sangat keras untuk masuk namun tidak bisa bergerak sesenti pun."

Seiring orang-orang terus berdatangan ke bandara ia kehabisan makanan dan air.

"Saya berusaha tidak makan atau minum karena tidak ada toilet. Cuacanya panas sekali di siang hari dan saya merasa benar-benar lelah."

Pada satu hari ia meninggalkan bandara untuk menggunakan toilet di rumah kerabatnya.

"Ketika saya kembali, kerumunan bertambah besar dan saya berdiri jauh di belakang posisi saya sebelumnya. Jauh dari gerbang."

Parvana akhirnya menyerah dan pulang ke rumah, walaupun ia memprediksi akan ada lebih banyak orang di bandara, jika atau ketika, penerbangan evakuasi kembali dilangsungkan.

Sementara ini, kehadiran militan Taliban yang mengancam di jalanan telah membatasi pergerakan Parvana.

"Jalanan hampir kosong," ujarnya.

"Semua orang diam di rumah. Pasukan Taliban dengan senapan mesin dan pelontar granat (RPG) berpatroli di jalanan dan menanyai orang-orang yang ingin meninggalkan Afghanistan."

Parvana berasal dari keluarga yang sangat konservatif dan terbiasa mengenakan burka dengan penutup wajah. Ia tidak bekerja dan memantau media sosial untuk informasi.

"Taliban mengatakan tidak akan ada balas dendam. Namun saya melihat video mereka membunuh beberapa pejabat militer di Kabul. Saya tidak bisa percaya pada mereka. Setelah Amerika pergi, mereka akan menemukan dan membunuh lebih banyak orang."

Perempuan itu berkata harapannya telah pudar dengan keberangkatan penerbangan evakuasi terakhir, dan ia ingin negara-negara Barat memberikan tekanan pada Taliban untuk menjamin keamanan bagi orang-orang yang ingin keluar Afghanistan.

"Komunitas internasional tidak boleh melupakan kami dan melakukan segala hal untuk segera menolong kami. Jika mereka terus membuang-buang waktu, orang-orang seperti saya tidak akan bertahan hidup."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI