Suara.com - Pengamat hukum dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Umar Husein menilai, pelanggaran etika yang dilakukan Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar membuat kepercayaan masyarakat kepada Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) semakin tergerus.
Bahkan dia menyebut, kepercayaan masyarakat kepada lembaga antirasuah tersebut semakin menurun sejak Revisi UU KPK yang memuncak dengan dinonaktifkannya 75 pegawai KPK lantaran tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
"(Kepercayaan masyarakat) makin turun setelah KPK edisi (Firli Bahuri, dkk) ini kan turun, dengan mulai diadakannya perubahan Undang-undang KPK, terus formasi yang terakhir juga gitu kan, terus TWK itu membuat kepercayaan publik makin turun sampai ini (pelanggaran etika Komisioner KPK)," ujar Umar saat dihubungi Suara.com, Rabu (1/9/2021).
Umar pun mengungkapkan sejarah dibentuknya KPK. Menurutnya, KPK dibangun sebagai lembaga koreksi terhadap lembaga penegak hukum yang lain.
Baca Juga: Pengamat Hukum Ini Sebut Sanksi Potong Gaji Wakil Ketua KPK Tak Berefek: Harusnya Dipecat
"Dulu KPK ini dibuat sebagai koreksi terhadap lembaga penegak hukum yang lain. Kalau nggak ada bedanya, sama aja ngapain?" katanya.
Bahkan, kata Umar, seharusnya KPK menjadi contoh bagi lembaga penegak hukum lainnya sebagai lembaga yang bersih.
"Mestinya (KPK) dia lebih, mestinya KPK harusnya lebih lebih sigap, atau lebih dari yang sudah ada kita kalau tidak lebih baik buat apa? Dan dia (KPK) harus jadi contoh. Sebenarnya sasaran KPK itu membersihkan sapunya ya, alatnya harus bersih," tutur Umar.
Umar menyebut untuk melihat menurunnya kepercayaan masyarakat seharusnya dilakukan survei.
Namun kata dia, secara akal sehat atau common sense, sudah bisa terlihat menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap KPK.
Baca Juga: Sebut Hukuman Lili Pintauli Terlalu Ringan, Ray Rangkuti: Minimal Dinonjobkan
Ia mencontohkan, ketika kali pertama KPK dilemahkan, masyarakat tergerak membela KPK karena dianggap lembaga yang memiliki harapan untuk memberantas korupsi. Namun saat ini, masyarakat sudah tidak peduli dengan lembaga antirasuah tersebut.
"Coba lihat, dulu ya kita perhatikan zaman awal-awal KPK pada saat akan dilemmahkan orang semua tergerak membantu, nongkrongin KPK dan lain sebagainya, karena orang menganggap lembaga ini adalah harapan untuk memperbaiki negara harapan untuk memberantas korupsi harapan untuk Indonesia yang lebih baik sekarang kita lihat orang sudah cuek," kata dia.
Lebih lanjut, Umar menyarankan kepada pimpinan KPK untuk menerima masukan atau kritik masyarakat dengan lapang dada.
Ia pun menyinggung soal rekomendasi Ombudsman RI kepada KPK terkait polemik TWK.
"Pandangan masyarakat masukan kritik musti diterima dengan lapang dada untuk perbaikan. Jangan kemudian masyarakat dihadapi dengan cara bertahan. Contoh pada saat kritik dari Ombudsman, berkelit di masalah teknis kewenangan itu, apa ombudsman berwenang, mengerti KPK dan lain sebagainya. Jadi tidak melihat substansinya lagi," katanya.
Sebelumnya diberitakan, sanksi pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan terhadap Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar tidak menimbulkan efek jera.
Menurut Umar, Wakil Ketua KPK itu bisa diberikan sanksi penonaktifan jabatan selama setahun tanpa mendapat fasilitas. Bahkan, dia menilai, seharusny Lili Pintauli semestinya dipecat dari jabatannya.
"Nggak ada artinya sanksi itu, kalau perlu dipecat. Minimal nonaktif setahun, minimal itu dengan segala fasilitas ditarik. Kalau sejuta sekali makan, nggak artinya itu. Kan yang dipotong Rp 1,5 juta, itupun sebulan, minimal skorsing setahun," ujarnya saat dihubungi Suara.com, Rabu (1/9/2021).
Sebelumnya, Lili Pintauli telah divonis terbukti melakukan pelanggaran etik karena berhubungan dengan pihak yang berperkara di KPK, Wali Kota Tanjung Balai nonaktif M Syharial -yang kini ditetapkan menjadi tersangka- dalam kasus dugaan jual beli jabatan.
Namun, Wakil Ketua KPK itu hanya diberi sanksi pemotongan gaji pokok 40 persen selama 12 bulan.
Umar menuturkan sanksi pemecatan kepada Komisioner KPK yang melakukan pelanggaran tersebut sedianya harus dilakukan Dewas KPK. Hal tersebut kata Umar agar memberikan efek jera.
Umar menyebut, jika tidak dihukum, dikhawatirkan akan timbul persepsi bahwa komisioner KPK yang lain melakukan hal serupa.
"Maksimal pecat, kenapa? Bukan menghukum pribadi tapi merupakan efek jera kepada yang lain gitu. Kalau nggak dihukum yang lain nanti akan melakukan hal yang sama, atau timbul dugaan jangan-jangan semua sudah begitu, karena kalau dihukum oh berarti entar kena gua," ucapnya.