Suara.com - Direktur Pusat Studi dan Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menilai wacana amandemen UUD 1945 hanya menjadi kepentingan elite, bukan rakyat.
Ia mencatat bahwa gagasan mengubah konstitusi itu tidak pernah dibawa, bahkan turut dikampanyekan pada Pemilu 2019. Hal tersebut yang menjadi indikator bahwa amandemen bukan lagi demi rakyat.
"Itu bukan kepentingan publik, tapi kepentingan elite. Indikatornya Pemilu kemarin gak ada yang kampanye," kata Feri dalam diskusi daring, Rabu (1/9/2021).
Padahal jika rencana amandemen ikut dikampanyekan oleh peserta Pemilu, hal itu dapat memudahkan publik melakukan dialog. Publik akan dapat bertanya lebih mendalam mengapa kemudian amandemen menjadi krusial hingga sampai menjadi isu yang dibawa saat kampanye.
"Kalau publik tahu maka dia akan berdialog dengan para calon. Kami bersedia memilih Anda kalau Anda membawa isu perubahan konstitusi ini dengan membawa perubahan a, b, c, d. Bagaimana kita bisa mengatakan ini bagian dari kepentingan publik?" ujar Feri.
UUD 1945 Bukan Kitab Suci
Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan kitab suci.
Sehingga kata Bamsoet bukan hal tabu jika ada amandemen untuk melakukan penyempurnaan. Sebabnya, menurut Bamsoet konstitusi akan terus berkembang menyesuaikan kebutuhan zaman.
"Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang bukanlah kitab suci, karenanya tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan. Secara alamiah, konstitusi akan terus berkembang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakatnya," kata Bamsoet dalam pidato memperingati Hari Konstitusi dan Hari Lahir MPR, Rabu (18/8/2021).
Baca Juga: PPP: Jadi Lucu kalau PPHN Berbentuk Undang-Undang bukan TAP MPR
Bamsoet sekaligus menyampaikan bahwa saat ini MPR mendapati adanya aspirasi masyarakat untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Aspirasi itu yang kemudian direspons MPR untuk melakukan amandemen terbatas UUD 1945.