Suara.com - Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menegaskan tidak ada pembahasan amandemen secara spesifik dalam pertemuan antara delapan ketua umum partai politik dengan Presiden Jokowi di Istana Negara.
Pernyataan tersebut disampaikan untuk menjawab sekaligus membantah ihwal pengakuan Ketum PAN Zulkifli Hasan dalam pidatonya saat Rakernas ke-2.
"Waktu pertemuan di Istana itu, tidak dibahas soal amandemen. Yang dibahas adalah masalah yang timbul dalam ketatanegaraan kita," kata Arsul di Kompleks Parlemen DPR, Jakarta, Rabu (1/9/2021).
Menurut Arsul, pernyataan Zulhas dalam pidatonya terkait dengan penyampaian Presiden Jokowi menyoal lembaga negara yang masing-masing merasa berkuasa.
Baca Juga: PAN Minta Zulkifli Hasan Maju Sebagai Capres 2024
Apakah jalan keluarnya dengan amandemen? Arsul mengatakan bahwa jawaban itu tergantung pada tafsir ketum masing-masing.
"Itu saya kira tafsir masing-masing. Sebab ada masalah-masalah yang hemat saya sebagai orang yang berlatar belakang hukum, tidak kemudian menyelesaikannya dengan amandemen," kata Arsul.
Karena itu, Arsul kembali menegaskan bahwa tidak ada pembahasan terkait amandemen secara spesifik.
"Tapi bahwa misalnya saya gak usah sebut lah ya ada yang menyuarakan ya kan itu biasa. Tapi tidak kemudian dibahas dibicarakan bahwa ya kayanya memang perlu amandemen tidak seperti itu, itu sesuatu yang cair saja, masing-masing peserta di situ, ketua umum partai menyampaikan pandangan-pandangannya gitu," katanya.
Pertemuan di Istana Singgung Amandemen
Baca Juga: Soal Posisi di Kabinet, Zulkifli Hasan: PAN Siap Ditugaskan
Sebelumnya, Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan mengungkap isi pembahasan dalam pertemuan partai politik koalisi pemerintahan di Istana Presiden, beberapa waktu lalu.
Sejumlah hal yang dibicarakan dari mulai penanganan Covid-19, ekonomi, hingga kelembagaan.
Hal itu diungkapkan Zulhas dalam pidato pembukaannya di acara Rakernas PAN II di Rumah PAN, Warung Buncit, Jakarta Selatan, Selasa (31/8/2021).
"Ada beberapa bicara 'wah kita kalau gini terus, ribut, susah, lamban, bupati nggak ikut gubernur, gubernur nggak ikut macam-macam lah ya. Merasa KY (Komisi Yudisial) lembaga paling tinggi paling kuat, MA (Mahkamah Agung) nggak. MA merasa paling kuasa, MK (Mahkamah Konstitusi) nggak. MK katanya yang paling kuasa. DPR paling kuasa. Semua merasa paling kuasa," kata Zulhas.
Kemudian Zulhas dalam pidatonya menyinggung soal amandemen UUD 1945. Ia menilai setelah sekian lama memang UUD 1945 perlu dievaluasi.
"Jadi setelah 23 tahun, hasil amandemen itu menurut saya memang perlu dievaluasi. Termasuk demokrasi kita ini, kita mau kemana, perlu dievaluasi," tuturnya.
Zulhas juga menyinggung soal adanya pihak yang menginginkan Indonesia cocok dengan demokrasi terpimpin. Namun menurutnya, sila keempat dalam Pancasila sudah menjelaskan soal arah demokrasi Indonesia.
"Jadi kalau mau kita ini memang demokrasi yang musyawarah, demokrasi dimusyawarahkan, dipimpin oleh orang yang punya hikmah. Nah hikmah itu ilmunya cukup, imannya kuat. Sehingga punya wisdom, punya kebijaksanaan," tuturnya.
"Jadi bukan terpimpin. Kalau di sila keempat itu kan demokrasi dimusyawarahkan," sambungnya.
Lebih lanjut, Wakil Ketua MPR RI itu mengatakan masing-masing ketua umum partai politik yang hadir juga sempat menyampaikan pandangan-pandangannya.
"Habis itu saudara-saudara makan bakso deh. Makan bakso, udah selesai, udah pulang. Tapi apa pun itu saya diundang, tentu kehormatan bagi PAN," katanya.