Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional atau National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA), Amerika Serikat, sempat memperingatkan Indonesia akan adanya kenaikan suhu permukaan air laut berkisar 2-3 derajat celsius di wilayah Raja Ampat, Papua Barat pada 20 Oktober 2020.
Berdasarkan pengukuran berbasis citra satelit, NOAA menyebutkan adanya pemutihan terumbu karang.
Estimasi pemanasan air laut tersebut diperkirakan terjadi dalam kurun waktu 7 hari. Akibatnya, fase pemutihan terumbu terjadi kurun waktu empat bulan lamanya. Setelah itu, diperkirakan terumbu karang mati.
Tapi di Raja Ampat, selain disebabkan pemanasan suhu permukaan laut, kerusakan lamun juga terjadi karena ulah manusia.
Abdul menduga, penggunaan bom oleh sejumlah nelayan jadi penyebab ekosistem lamun dan terumbu karang hancur. Saban melaut, dia masih sering menemukan sisa-sisa penggunaan bom di perairan Raja Ampat.
“Masih ada yang melakukan. Masyarakat takut, mau dicegah, repot,” ujarnya.
Nelayan setempat, Amir Wighel, mengatakan masyarakat menggunakan bom karena minim pengetahuan dalam mencari ikan.
Karena itu, Amir yang juga anggota konservasi pesisir warga Kampung Waigama, berulang kali mengajak masyarakat patroli bersama untuk mencegah penggunaan bom ikan.
“Setelah kami sering patroli dan dua kali melakukan penangkapan, akhirnya berkurang drastis,” kata Amir kepada Suara.com.
Baca Juga: Wapres Ajak Wisata ke Raja Ampat dengan Prokes, Tuai Kritikan Publik
Setelah gencar berpatroli, gangguan terhadap ekosistem lamun mengalami penurunan. Nelayan yang bergabung dalam konservasi pesisir mulai merasa lega, apalagi padang lamun menjadi sumber pangan bagi habitat laut yang dilindungi, seperti dugong dan penyu.