Suara.com - Yayasan Lembaga Hidup Indonesia (YLBHI) mengungkap timpangnya keadilan bagi masyarakat yang ingin melindungi lingkungan hidup dengan perusahaan yang terus melakukan perusakan dan pencemaran.
Dari laporan yang diajukan kedua belah pihak, terlihat jelas bagaimana keadilan hanya diberikan terhadap pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Hal tersebut diungkap Wakil Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Aditia Bagus Santoso melalui Laporan Penanganan Kasus Penanganan Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum pada 2021.
Aditia memberikan contoh, proses hukum mulai dari pelaporan hingga vonis baik dari sisi masyarakat maupun perusahaan. Masyarakat di sini berlaku sebagai korban atas perusakan dan pencemaran yang dilakukan perusahaan.
Baca Juga: YLBHI Dampingi 37 Kasus Lingkungan Hidup, Warga Desa Vs Perusahaan
Ia lantas memperlihatkan tiga laporan pidana yang diajukan oleh masyarakat kepada pihak kepolisian. Dari laporan tersebut, tidak ada satupun yang pernah dipanggil dan ditangkap.
Tidak adanya proses yang berjalan, otomatis tidak ada juga yang pernah naik ke pengadilan.
"Kalau laporan masyarakat itu perusahaan tidak pernah dipanggil bahkan tidak pernah ditangkap," kata Aditia dalam paparannya pada siaran YouTube YLBHI, Selasa (31/8/2021).
Sementara kondisi berbeda tampak ketika perusahaan membuat 12 laporan pidana ke pihak kepolisian.
Pihak kepolisian langsung memprosesnya dengan melakukan penangkapan serta pemanggilan terhadap masyarakat yang dianggap mengganggu usahanya.
Baca Juga: Usai Perpanjang PPKM, Kini Picu Kerumunan Sembako, LBH: Jokowi Selalu Bertolak Belakang
Kemudian 21 orang sejak 2016 sudah dihukum bersalah.
"Mereka melaporkan pidana tersebut selain untuk memperjuangkan usaha agar mental dan semangat dari masyarakat menurun dan meneruskan pencemaran lingkungan hidup," tuturnya.
Kondisi serupa juga terjadi pada proses hukum perdata. Rata-rata proses hukum masih berjalan bahkan ada yang harus ditunda hingga berkali-kali.
Kasus paling terbaru ialah soal gugatan warga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) ke PTUN Semarang sejak 15 Juli 2021.
Gugatan itu dilandasi oleh adanya manipulasi dokumen konsultasi publik bertanggal 26 April 2018, sebagai dasar pemberian izin penetapan lokasi (IPL).
Padahal warga merasa tidak pernah menjalani konsultasi publik seperti yang disebutkan. Mereka lantas menuntut pencabutan SK Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
Akan tetapi, Aditia menyebut kalau gugatan itu sudah resmi ditolak majelis hakim.
Selain itu, ia juga mencontohkan soal gugatan yang diajukan Koalisi Bersihkan Indonesia terkait lalainya pemerintah pusat dan daerah menangani polusi udara di Jakarta.
Pihak yang digugat yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Presiden RI Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten.
Kendati berjalan baik, sidang dengan agenda putusannya masih dalam status penundaan. Penundaan itu sudah dilakukan hingga tujuh kali dan dijadwalkan ulang pada 11 September 2021 nanti.
Melihat kondisi tersebut, Aditia menilai saat ini pengadilan dan penegak hukum lainnya tidak memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup.
"Terlihat dari bagaimana penangkapan dan putusan kasus-kasus bagi mereka yang ditangkap karena berjuang atas perlindungan lingkungan hidup."