Suara.com - Wakil Ketua MPR yang juga anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan, Dewan Pegawas KPK harus mengubah aturan sanksi di kode etik. Ia meminta sanksi terkait pemotongan gaji atau pendapatan dipindahkan dari sanksi berat.
Permintaan pemindahan sanksi potong gaji dari sanksi berat itu seiring hukuman yang diberikan kepada Wakil Ketua KPK Lili Pintauli atas pelanggaran etik yang ia lakukan. Dewas KPK menyebut bahwa pelanggaran Lili berat, begitupun dengan sanksi yang disebut berat.
Namun pada kenyataannnya, sanksi berat itu hanya menjatuhkan hukuman potong gaji 40 persen kepada Lili. Padahal selain gaji, sebagai pimpinan KPK Lili memiliki tunjangan dengan nominal yang terbilang besar.
"Mestinya sanksi berat untuk pelanggaran berat itu penonaktifan atau pemberhentian sementara atau tetap. Kalau cuma potong gaji pokok disebut sebagai sanksi berat, maka ini akan jadi bahan tertawaan publik yang akan menjatuhkan martabat KPK sebagai lembaga penegak hukum," kata Arsul kepada wartawan, Selasa (31/8/2021).
Baca Juga: Gegara Lili Pintauli Langgar Etik tapi Hukuman Ringan, PKS: KPK Semakin Menyedihkan
Arsul menyampaikan bahwa dirinya menerima banyak aspirasi pasca-putusan etik Lili diumumkan. Aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat meminta agar Komisi III DPR mendalami dan membahas soal putusan tersebut dalam rapat dengan Dewas KPK.
"Intinya, sejumlah pihak menyampaikan ada kontradiksi antara cara pandang Dewas yang menilai perbuatan Lili tersebut dianggap sebagai pelanggaran berat, namun sanksi yang dijatuhkan hanya memotong gaji pokok 40 %," ujar Asrul.
Padahal dikatakan Arsul gaji pokok komisioner KPK tidak seberapa dibanding dengan total tunjangan atau take home pay yang diterima.
"Ini dinilai oleh para penyampai aspirasi kepada kami yang di Komisi III sebagai hal yang aneh. Apalagi beredar media pendapat anggota Dewas, Albertina Ho, yang menyatakan bahwa perbuatan Lili itu dianggap sebagai awal atau permulaan korupsi. Ini berarti kategorinya pelanggaran etik serius tetapi sanksi yang dijatuhkannya tidak serius," tandas Arsul.
Lili Harus Mundur Tak Pantas Pimpin KPK
Baca Juga: Lili Pintauli Cuma Dipotong Gaji, Sudirman Said: Hukuman Seperti Pembantu Pecahkan Piring
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menyebut hukuman yang dijatuhkan Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas pelanggaran etik terhadap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar terlalu lembek.
Zaenur mengatakan perbuatan Lili yang sudah dinyatakan terbukti berhubungan dengan Wali Kota Tanjung Balai nonaktif M Syarial, harusnya diberi sanksi berat, yakni diminta mengundurkan diri. Syarial diketahui merupakan tersangka kasus korupsi jual beli jabatan.
“Seharusnya sanksi yang layak dan tepat dijatuhkan kepada Lili adalah diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai Pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 4 huruf b Perdewas 02/2020,” kata Zaenur dalam keterangan tertulisnya kepada Suara.com, Senin (30/8/2021) .
Dia menegaskan atas perbuatan itu, Lili sudah tidak pantas menjabat sebagai Wakil Ketua KPK.
“Lili tidak pantas lagi menjabat sebagai pimpinan KPK karena telah menyalahgunakan kewenangan yakni berhubungan dengan pihak berperkara,” ujar Zaenur.
Menurutnya perbuatan yang dilakukan Lili tidak hanya melanggar kode etik, namun juga merujuk pada tindakan pidana.
“Perbuatan ini tidak hanya melanggar kode etik, tetapi merupakan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU 30/2002 jo Uu 19/2019 tentang KPK,” jelasnya.
“Pasal ini melarang pimpinan KPK berhubungan dengan pihak berperkara dengan alasan apapun. Menurut Pasal 65 UU KPK, pelanggaran atas ketentuan tersebut diancam pidana maksimal 5 tahun penjara,” tegas Zaenur menambahkan.
Lili Melanggar Etik
Sebelumnya dalam sidang etik yang digelar, Ketua Dewas KPK , Tumpak H Panggabean menyatakan Lili terbukti melakukan pelanggaran etik karena terlibat dalam kasus jual beli perkara yang melibatkan eks Penyidik KPK AKP Stepanus Robin Pattuju dan Wali Kota Tanjungbalai nonaktif M Syahrial.
Atas perbuatannya itu, Lili hanya dijatuhi hukuman pemotongan gaji selama 12 bulan.
“Menghukum terperiksa (Lili Pintauli Siregar) dengan saksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan," kata Tumpak dalam sidang putusan kode etik.
Menurut Tumpak, Lili bersalah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku berupa menyalahgunakan pengaruh selaku pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani oleh KPK.
Adapun hal memberatkan terhadap sanski berat yang dijatuhkan kepada Lili, Terperiksa tidak menunjukan penyesalan atas perbuatannya. Kemudian, terperiksa Lili juga selaku pimpinan KPK seharusnya menjadi contoh dan teladan dalam pelaksanaan tugas KPK.
"Namun terperiksa melakukan sebaliknya," ucap Tumpak.
Sementara itu, hal meringankan terperiksa Lili mengakui segala perbuatannya dan belum pernah dijatuhi sanksi etik.
Hal ini memperhatikan ketentuan tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Pasal 4 ayat (2) huruf b dan Pasal 4 ayat (2) huruf a Peraturan Dewan Pengawas Nomor 02 tahun 2020 tentang penegakan kode etik dan pedoman perilaku KPK dan peraturan lain yang berkaitan dengan perkara ini.