Suara.com - Menjawab kritik warga sipil dengan somasi tampaknya menjadi kecenderungan baru pejabat publik di Indonesia. Terbaru adalah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Luhut melayangkan somasi sebagai tanggapan atas kajian koalisi masyarakat sipil. Menurut pakar LIPI adalah respons "tidak wajar".
Langkah pejabat publik seperti itu juga menunjukkan "sikap anti terhadap kritik dan anti terhadap sains", kata peneliti tersebut.
Namun tim kuasa hukum Luhut Pandjaitan menganggap somasi adalah "cara tepat" dan bukanlah merupakan bentuk antikritik.
Baca Juga: Anggap Publik Sopan Hina Juliari, Haris Azhar Sebut Peringanan Hukuman Adalah Kesalahan
Luhut melalui kuasa hukumnya juga mengatakan upaya somasi sebagai pembelajaran agar semua pihak berhati-hati mengutarakan opini.
Bagaimanapun, menurut pakar, masa pandemi Covid-19 membuat rakyat bergantung pada pemerintah melalui vaksinasi, bantuan sosial dan program lain.
Sehingga kenyataan ini disebutnya seolah "melegitimasi kekuasaan absolut", sehingga pemerintah disebut "cenderung arogan terhadap suara-suara sumbang".
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan mengatakan pihaknya tidak ingin langkah para pejabat itu dikaitkan dengan Presiden Joko Widodo.
Mereka menyebut somasi sebagai urusan personal serta hak konstitusi setiap warga—termasuk pejabat—yang merasa harga diri dan martabatnya dirugikan.
Baca Juga: Soal Vonis 12 Tahun Juliari, Haris Azhar Sebut Majelis Hakim Seperti Alami Sesat Pikir
Sebelumnya, konten aktivis HAM Hariz Azhar yang membahas soal rencana eksplorasi tambang emas di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua, berbuntut somasi oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Obrolan yang diunggah di akun YouTube pada 20 Agustus 2021 ini membahas hasil laporan gabungan koalisi masyarakat sipil mengenai "Ekonomi -Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya" yang diluncurkan 12 Agustus 2021.
Konten tersebut menghadirkan dua narasumber yang merupakan bagian dari koalisi antara lain Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dan Kepala Divisi Advokasi Walhi Papua Wirya Supriyadi.
Kuasa hukum Luhut, Juniver Girsang, menganggap wawancara Haris bersama Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti tersebut "membentuk opini yang tendensius, memfitnah, mencemarkan nama, membunuh karakter dan, menyebarkan berita bohong".
Menurut Juniver, dalam obrolan hampir 27 menit itu penyebutan nama kliennya yang dikatakan "bermain dalam pertambangan di Papua adalah informasi yang tidak benar dan tidak mendasar".
Karena itu pada 26 Agustus 2021, pihaknya melayangkan somasi terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.
"Tentu ini sangat sangat merugikan klien kami," tukas Juniver kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (29/8/2021).
"Oleh karenanya kami dalam somasi memberi tempo waktu 5x24 jam sejak somasi diterbitkan dengan demikian sampai Selasa, agar mereka menjelaskan kepada kami mengenai motif, maksud dan tujuan menyampaikan pernyataan yang tidak benar tersebut," lanjut dia lagi.
Melalui somasi itu Haris dan Fatia juga diminta menyampaikan permohonan maaf dan menyatakan penyesalan. Jika sampai tenggat keduanya tidak merespons maka pihaknya terpaksa akan menempuh upaya hukum lanjutan.
Juniver dan kliennya mengaku lebih memilih somasi dan tidak mau mengklarifikasi atau menyelesaikannya melalui dialog terbuka secara ilmiah.
"Kami tidak mau [klarifikasi] karena kami yang benar. Bukan kami yang mengoreksi, tetapi mereka yang harus mengoreksi dan menyampaikan apa yang salah," tutur Juniver.
Kuasa hukum klaim somasi bukan bentuk antikritik
Obrolan Haris Azhar berjudul "Ada Lord Luhut Di balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya! Jenderal BIN Juga Ada!" berbasis pada laporan yang dikerjakan sejumlah kelompok sipil di antaranya #BersihkanIndonesia, YLBHI, Walhi, Pusaka Bentara Rakyat, Walhi Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia dan Trend Asia.
Kajian cepat para peneliti menilai bahwa "operasi militer di Papua merupakan upaya ilegal".
Studi yang mengambil kasus di Intan Jaya tersebut menemukan indikasi "dugaan keterkaitan antara bisnis tambang dan penerjunan militer di Papua".
Melalui laporan itu pula, koalisi mendapati "ada empat perusahaan yang terindikasi menguasai konsesi lahan tambang di Blok Wabu, satu di antaranya diduga terhubung atau bersinggungan dengan Luhut".
Ketika dikonfirmasi soal temuan tersebut, Juniver tak menjawab detail.
Ia hanya mengklaim punya bukti bahwa kliennya tak berkaitan dengan bisnis tambang di Papua dan justru meminta koalisi terlebih dulu membeberkan bukti.
"Tentu [kami punya bukti]. Kalau benar [temuan itu], kami tidak somasi. Jadi jangan kami ditanya, tapi mereka buktikan," ucap dia.
"Malahan mereka menyatakan di situ, 'bermain', kata-kata bermain ini sangat negatif dengan kapasitas beliau sebagai Menko Investasi, 'bermain dalam pertambangan yang terjadi di Papua'. Ini kan Anda bisa bayangkan, kalau dengan demikian apa ini namanya?"
"Kalau orang yang mengerti pernyataan itu, tentu dia bisa membayangkan akibatnya apa terhadap jabatan yang diemban Bapak Luhut Binsar Panjaitan," lanjut Juniver.
Sekalipun berkeras melayangkan somasi, dia mengklaim pilihan tersebut bukan berarti kliennya lantas antikritik.
Upaya ini disebutnya sebagai 'pembelajaran' agar berbagai pihak menyampaikan pendapat secara hati-hati.
"Ini juga caranya Bang Luhut, untuk membuat introspeksi bagi siapapun yang melakukan kajian harus betul-betul hasil research yang teruji, bukan pembentukan opini, bukan membentuk suatu kualifikasi character assassination, " tuturnya.
"Beliau katakan kepada saya, saya ini sangat suka kritik yang konstruktif, karena ini adalah balancing dalam kita menjalankan tugas dan tanggung jawab, tetapi kalau dibentuk opini, kalau dibentuk suatu fitnah dan pencemaran, ini artinya tidak objektif, berarti ada motif," tambah Juniver.
'Yang diserang bukan sekadar Haris atau Gatia, tapi yang melakukan penelitian'
Anggota koalisi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, memastikan pihaknya dapat mempertanggungjawabkan data dan hasil kajian tersebut.
Ia mengatakan, indikasi dugaan keterlibatan pejabat negara yang ditemukan koalisi melalui kajian cepat tersebut justru "harus diungkap dan penyampaian ke publik menjadi hak warga yang dijamin konstitusi".
"Jadi justru ketika somasi itu dilakukan dalam kacamata tersebut, somasi itu bagian dari menghalang-halangi hukum itu sendiri.
"Jadi cara-cara yang seolah-olah legal, dipakai untuk melawan sesuatu yang derajatnya lebih tinggi, dilindungi secara konstitusi," jelas Isnur kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Kalaupun dianggap ada yang keliru, lanjut Isnur, pejabat publik cukup melakukan klarifikasi, bantahan atau membedah data kajian.
"Yang diserang LBP itu bukan sekadar Haris atau Fatia, tapi menyerang institusi masyarakat sipil yang melakukan penelitian," tukas Isnur yang juga Koordinator Bidang Advokasi YLBHI.
"Kami punya datanya, beberapa nama pejabat, nama jenderal, itu terindikasi masuk ke perusahaan-perusahaan yang memang bermain tambang di Papua," sambung dia lagi.
Tren somasi pejabat publik dan tanggapan KSP
Langkah Menko Luhut tersebut menambah daftar pejabat publik yang merespons kajian dan kritik masyarakat sipil dengan somasi.
Sebelumnya ada Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang juga pernah melayangkan somasi terhadap Indonesia Corruption Watch (ICW).
Adapun pada Februari 2021, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor juga mengeluarkan somasi bagi siapapun yang mengunggah foto atau video yang berhubungan dengan banjir di kawasan itu.
Meski tak detail menyebut angka, pengamatan YLBHI menemukan tren pejabat yang memperkarakan warga sipil meningkat.
Mengutip riset SAFENet, Kepala Bidang Advokasi Muhammad Isnur mengatakan mayoritas pengguna pasal dalam UU ITE adalah penguasa.
Catatan SAFENet pada 2019 menunjukkan pejabat publik dan politisi menempati posisi teratas sebagai pelaku pemidanaan hak berekspresi secara daring.
Situasi berlanjut pada 2020 di antaranya pelaporan oleh Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan dan ajudan Bupati Aceh Barat Hidayatul Fajri menggunakan UU ITE yang menyasar warga sipil—termasuk buruh.
Muhammad Isnur mengatakan, maraknya somasi maupun fenomena pelaporan warga sipil oleh pejabat publik ini "akibat sikap Presiden Joko Widodo yang dianggap tidak tegas".
"Karena presidennya cenderung mendiamkan hal itu. Harusnya presidennya jelas dong: memerintahkan. Jadi bahasanya bukan: sebaiknya," kritik Isnur.
Namun begitu Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ade Irfan Pulungan keberatan jika langkah para pejabat pemerintah itu melulu dikaitkan dengan Presiden Jokowi.
Ia mengatakan somasi adalah urusan personal dan hak konstitusinal yang bisa ditempuh siapapun—termasuk pejabat—yang "merasa harga diri dan martabatnya dirugikan".
"Kok dilibatkan ke Pak Jokowi, enggak harus dilibatkan ke Pak Jokowi. Ini kan urusan personal, seseorang yang harga dirinya, martabat seseorang, yang kedudukannya itu merasa dirugikan secara hukum," ucap Ade Pulungan kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Ade menganggap sekalipun menjadi pejabat publik, seseorang tetap berhak mengajukan somasi atau langkah hukum lain jika merasa difitnah.
Ia mengatakan, publik harus bisa membedakan antara kritik dan masukan dengan yang sekadar fitnah maupun pembunuhan karakter.
"Memangnya kalau sebagai pejabat negara, ketika harga dirinya dituduhkan yang tidak benar, mereka akan terima? Mereka akan diam saja? Ya enggak boleh dong," sambung dia.
Apalagi menurut dia, penyampaian di ruang publik dan ruang digital bisa berdampak lebih luas.
"Ketika misalnya disampaikan di ruang publik dan digital itu, siapa saja kan bisa melihat, mendengar, mengetahui. Dengan seperti itu, itu kan sudah membekas dalam mindset orang-orang yang melihat tuduhan-tuduhan itu," terangnya.
"Dan itu lebih kejam daripada putusan pengadilan," sambung Ade.
Menurut dia, kritik juga masukan harus disampaikan berdasarkan fakta serta "sesuai tata krama, kesantunan, kesopanan, etika, moral dan adat istiadat".
Mengapa pejabat publik cenderung lebih suka melaporkan warga sipil?
Pakar sosial dan politik dari LIPI, Wasisto Raharjo Jati, menilai tren somasi menandakan sikap antikritik di kalangan pejabat yang kian lama kian menguat.
Menurut analisisnya, kondisi itu diperparah dengan situasi wabah.
Pandemi Covid-19 memperkuat kuasa pemerintah sebagai aktor tunggal untuk berkuasa secara absolut melalui berbagai program seperti vaksinasi hingga bantuan sosial.
Hubungan ketergantuangan rakyat dengan pemerintah, itu membuat elite cenderung arogan terhadap suara-suara yang sumbang atau dianggap berseberangan, katanya.
Sehingga penguasa, menurutnya, "merasa bisa bertindak sewenang-wenang, termasuk melalui pelaporan dan somasi".
"Somasi itu respons yang tidak wajar sebenarnya, kalau kita melihat perilaku pejabat di negara lain, itu rata-rata mereka menerima sains.
"Karena mereka merasa bukan pakar, dan para ahli yang menulis riset adalah pakarnya," terang Wasis kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan kepada BBC News Indonesia.
"Artinya di sini, ada semacam arogansi kekuasaan yang ditunjukkan. Seharusnya yang namanya hasil sains itu tidak boleh terpolitisasi, apalagi disomasi," tambah dia.
Sehingga dalam merespons sebuah kajian ataupun riset, semestinya yang dilakukan pejabat publik bukanlah memperkarakannya atau menyomasi, melainkan mendiskusikan secara ilmiah.
"Harusnya, entah itu Pak Moeldoko atau Pak Luhut, itu membuka dialog, dialog terbuka. Gap-nya itu di mana sebenarnya?
"Atau paling nggak, metodenya apa? Itu kan lebih ilmiah, lebih dialogis dan lebih terhormat," kata Wasis menyarankan.
"Kalau somasi ini kan sama saja menunjukkan bahwa meruntuhkan kebebasan akademik. Karena yang namanya hasil riset, hasil report, yang jelas metode dan alat ukurnya, itu secara akademisi diterima," terangnya.
Kondisi tersebut—kajian yang berbalas somasi—ini lebih lanjut mencerminkan penurunan bukan saja kebebasan berpendapat melainkan juga kebebasan akademik, sebutnya.
Menurut Wasisto, keengganan menerima kajian atau riset yang hasilnya dianggap bertentangan dengan kepentingan pemerintah juga menunjukkan karakter antisains.
Sehingga, kajian yang tidak sesuai arah pemerintah akan dilabeli cap negatif mulai dari disinformasi, misinformasi hingga hoaks, tambahnya.
"Kalau misalnya pengetahuan yang dihasilkan ilmuwan, kritik yang disampaikan masyarakat, dibungkam. Terus sisi demokrasinya di mana?" tanya Wasis.
"Pembungkaman-pembungkaman itu menunjukkan negara kita kan makin lama makin otoriter," lanjut dia.
Tanda-tanda itu ditangkap Wasis, tak hanya ditunjukkan melalui cara pejabat publik merespons hasil kajian masyarakat sipil, tapi juga penghapusan mural yang belakangan marak dilakukan.
Aksi itu menurutnya merupakan pertanda jelas.
"Karena begini, yang namanya mural itu kan memuat pesan-pesan yang sifatnya everyday politics, artinya memuat isu-isu keseharian yang tidak ditangkap politik formal. Itu lebih genuine daripada yang dibahas di DPR atau pemerintah," jelas Wasis.
"Kalau itu dibungkam, lalu aspirasi yang diterima pemerintah itu dari mana sebenarnya? Itu kan patut dipertanyakan," tambahnya.