Suara.com - Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti, menyebut praktik penyiksaan yang terjadi kepada penyandang disabilitas mental (ODGJ) di panti sosial merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap warga negara yang paling kejam.
Hal ini dikatakan Yeni dalam diskusi bertajuk "Penyandang Disabilitas Mental di Panti-Panti Sosial Berhak Merdeka" secara virtual, Jumat (27/8/2021).
"Menurut saya (itu) kekerasan terhadap warga negara yang paling kejam," ujar Yeni.
Yeni menuturkan berdasarkan data yang dikumpulkan terdapat sekitar 11.049 orang penyandang disabilitas mental di 190 panti sosial. Dari jumlah tersebut, mayoritas merupakan perempuan.
Baca Juga: Ratusan ODGJ Jalani Swab Test PCR Sebelum Vaksinasi Covid-19
"Mudah-mudahan dari Kementerian Sosial punya datanya, namun sampai sejauh ini mereka jumlahnya 11.000 orang yang kita simpulkan, inilah yang tinggal di berbagai dan hampir separuhnya adalah perempuan," ucap dia.
Yeni mengungkapkan bahwa terdapat tiga hal pelanggaran hak asasi manusia di panti sosial khusus untuk penyandang disabilitas mental.
Pertama terjadinya perampasan kebebasan, kedua penahanan sewenang-wenang dan ketiga, perlakuan secara kejam atau diperlakukan secara tidak manusiawi atau dihina.
"Ini adalah tiga hal yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia atau merupakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Ketiga hal ini terjadi di banyak panti sosial terutama di swasta walapun ada milik pemerintah di seluruh Indonesia," tutur dia.
Menurutnya pemerintah telah melakukan pembiaran adanya pelanggaran hak asasi manusia di panti sosial khusus penyandang disabilitas mental.
Baca Juga: Bikin Menangis! Tinggal Digubuk, Gadis Kecil Rawat Ibu ODGJ
"Hal ini dibiarkan oleh pemerintah, jadi saya menganggap telah terjadi pelanggaran HAM by omission dengan pembiaran oleh pemerintah kepada lebih dari 11000 orang di Indonesia, melalui pembiaran," kata Yeni.
Ia pun membeberkan situasi di panti-panti sosial terutama milik swasta kepada penyandang disabilitas mental.
Yeni menuturkan bahwa penyandang disabilitas psikososial (disabilitas mental) dikurung di panti-panti sosial tanpa persetujuan mereka, tidak mendapatkan kejelasan dan kepastian kapan penyandang disabilitas psikososial tersebut keluar dari panti sosial.
"(Panti sosial) di Jawa Tengah yang isinya sekitar 140 orang, pengurus Panti mengatakan bahwa orang-orang yang berada di panti tersebut itu akan tinggal di situ seumur hidup. Jadi berarti mereka adalah tahanan seumur hidup tanpa melakukan tindak pidana," kata dia.
Kemudian kata Yeni, penjemputan penyandang disabilitas psikososial untuk dibawa ke panti sosial tersebut dilakukan secara paksa dan dengan kekerasan, fasilitas di panti sosial yang berupa ruangan dengan jeruji besi ataupun menyerupai sel penjara.
Lalu, banyak penghuni panti yang dipasung atau dirantai di dalam panti, terdapat sel-sel isolasi yang mengurung penghuni.
"Karena sebagian besar pemasungan justru terjadi secara masif di panti panti sosial. Jadi orang sudah masuk di dalam panti tidak hanya dikurung di dalam sel, beberapa dari mereka juga dirantai. Jadi pemasungan itu yang banyak di panti-panti sosial, banyak orang yang tidak mengetahui hal itu," ucap dia.
Selain itu ia menyebut para penyandang disabilitas mental juga kerap mendapat pemukulan, penghinaan dan berbagai tindakan yang merendahkan martabat manusia.
"Ada sel sel isolasi untuk mengurung penghuni, di dalamnya acap terjadi pemukulan penghinaan dan berbagai tindakan yang merendahkan martabat manusia termasuk penggundulan baik laki-laki maupun perempuan," kata Yeni.
Selanjutnya terjadi pemberian obat antipsikotik dengan efek sampingnya yang sangat tinggi, bahkan tanpa persetujuan atau sepengetahuan penghuni.
Lalu kurangnya layanan medis bagi penghuni yang sakit. Hal tersebut kata Yeni, mengakibatkan angka kematian di panti-panti sosial yang lebih tinggi dibandingkan tempat-tempat lain. Namun sampai sekarang menurutnya tidak ada pihak yang secara serius mendata angka mortalitas di panti-panti sosial tersebut.
"Kami mendapatkan data-data itu pada saat mengunjungi panti-panti, pada saat berbicara dengan orang yang ada di Panti. Pada saat diwawancara, di setiap minggu di sini pasti ada yang mati," ucap Yeni.
Selanjutnya adanya kontrasepsi paksa bahkan sterilisasi paksa, penghuni yang kurang gizi atau kelaparan, penghuni yang digundul rambutnya, tak ada tempat tidur yang memadai di panti-panti sosial.
Lalu ditemukan sanitasi yang buruk di panti-panti sosial.
"Banyak yang buang air lokasi tempat dia dikurung, mereka terpaksa mandi di tempat terbuka termasuk perempuan. Bahkan ada penghuni perempuan yang dimandikan oleh petugas laki-laki," kata dia.
Selain itu ia menyebut adanya perampasan hak wanita untuk membesarkan anaknya,ada juga laporan pelecehan seksual kepada perempuan oleh staf panti.
"Tak ada privasi dan tak boleh memiliki barang milik pribadi, tak ada mekanisme pengaduan dan perlindungan dari tindak kekerasan," katanya.