Suara.com - Mengubah sinar matahari menjadi energi listrik sudah tidak lagi menjadi mimpi. Melalui panel surya, kini warga bisa mewujudkan cita-cita kemandirian energi untuk kehidupan masa depan yang ramah lingkungan.
I Gusti Ngurah Murgayasa membidani panel surya di kampungnya, Desa Senganan, Penebel, Tabanan, Bali. Pria yang akrab disapa Bli Gusti ini membangun panel surya dalam skala rumah tangga, hingga lebih besar menyuplai buat pertanian warga.
Bermula pada 2005, ia belajar dari orang asing membuat panel surya. Dua tahun kemudian, pada 2007 ia mulai terjun bisnis energi listrik dari matahari.
Masa itu belum ada edukasi di sekolah tentang panel surya. Sebagai orang asli Bali, hatinya tergerak mengenalkan dan mengajarkan energi terbarukan itu bagi warga.
Baca Juga: Indonesia Perlu Benahi Pengadaan PLTS Skala Besar Agar Peroleh Harga Listrik Kompetitif
Pada 2008, ia mendirikan Yayasan Bio Solar Farms. Dengan cita-cita warga mandiri secara energi untuk menunjang pertanian yang lebih produktif.
Di rumah berarsitektur Bali itu, Bli Gusti memenuhi semua kebutuhan energi listriknya dari tenaga matahari. Ia memiliki lahan di sekitar rumahnya seluas 600 meter persegi.
Sekitar 100 meter persegi lebih, lahan itu ia gunakan untuk panel surya yang dikelola Yayasan Bio Solar Farm. Setidaknya ada 62 panel surya yang dipasang di sana.
Sejumlah 20 panel surya, ia gunakan buat praktek belajar bagi warga di desanya. Kekinian, warga sangat antusias untuk belajar. Dalam sepekan dua kali selama dua jam untuk belajar mengenai panel surya.
Baca Juga: Rencana Revisi Permen ESDM soal PLTS Atap Harus Ada Jalan Tengah
“Dulu orang tidak tahu solar panel, sekarang sudah mengerti. Dulu anak didik kami sekitar 60 orang, sekarang sudah menjadi 80 orang,” kata Bli Gusti dalam perbincangan dengan Suara.com, Kamis (26/8/2021).
Bagi pemuda setingkat SMA, kadang ia ajak untuk praktik langsung bila ada proyek pemasangan panel surya.
Sampai saat ini belum banyak warga yang membuat panel surya untuk kebutuhan energi listrik di rumahnya. Sebab harganya yang masih mahal.
Bli Gusti menuturkan, melalui Bio Solar Farms, ia membantu warga dengan berbagai energi listrik dari tenaga surya itu. Khususnya membantu memenuhi energi listrik untuk pertanian warga.
Kini ia tengah berupaya mengembangkan central microgreens (sayuran hijau).
“Kami ingin sharing listrik agar warga bisa terbantu,” ujarnya.
Saat ini ada warga yang membuat kebun buah-buahan organik, seperti jeruk dan lainnya. Masa pandemi Covid-19, ia bersama rekannya di Bio Solar Farms mengajarkan ibu-ibu di desanya membuat kue yang energi listriknya disuplai dari panel surya.
“Kami ingin membantu petani dengan energi ramah lingkungan,” tuturnya.
Bli Gusti tak mau menyodorkan proposal kepada pemerintah untuk minta bantuan. Ia ingin mengembangkan panel surya dan membantu warga secara mandiri.
“Saya mau mandiri saja mengadakan solar panel,” ucapnya.
Menurut dia, di Bali secara luas penggunaan panel surya sudah mulai marak. Khususnya, sejak Gubernur Bali menerbitkan Pergub Energi Bersih dan Kendaraan Listrik pada 2019.
Yang menjadi kendala saat ini yaitu harga panel surya yang masih mahal. Sedangkan, ia dengan Yayasan Bio Solar Farms fokus untuk berbagi manajemen energi tenaga surya, bukan untuk menjual panel surya.
“Saya ingin memanfaatkan energi lingkungan sekitar. Saya tidak mau jual solar, saya maunya berbagi pengetahuan tentang ramah energi,” katanya.
Ia berharap masyarakat mulai beralih ke energi terbarukan yang ramah lingkungan. Energi listrik dari hasil pembakaran batu bara yang merusak alam karena penambangan harus segera ditinggalkan.
“Energi berasal dari tambang sekarang ini akan habis, kalau tidak pintar manajemen energi pelan-pelan kita akan mati. Kami ingin menyampaikan bahwa energi akan mahal dan akan habis. Kami di bio solar mau menyampaikan energi alternatif,” tuturnya.
Penerangan Kebun Jeruk Organik dari Tenaga Surya
I Gusti Ngurah Made Prabaswara, salah seorang petani yang menggunakan energi panel surya untuk penerangan kebun buah jeruk organiknya di Desa Senganan, Penebel, Tabanan, Bali. Petani muda 18 tahun ini juga memroduksi pupuk kandang yang diolah untuk pertanian.
Di kebunnya, Made membutuhkan energi listrik untuk mengompos pupuk. Energi listriknya juga dari panel surya yang ramah lingkungan. Hal ini telah berlangsung 1,5 tahun.
“Sekarang ini bio solar memberikan pasokan listrik ke kebun. Jadi kami tidak perlu bersusah payah mendapatkan listrik. Manfaatnya banyak, penggunaan listri PLN bisa dikurangi,” ujar Made.
Dewan Daerah Walhi Bali, Suriadi Darmoko berpendapat, Provinsi Bali cukup maju ketimbang daerah lain soal pengembangan energi terbarukan. Terlihat dari Pergub Nomor 45 Tahun 2019 tetang Energi Bersih dan Kendaraan Listrik. Namun implementasinya terkendala oleh pandemi Covid-19.
Kendati begitu, pergub tersebut masih lemah karena masih memasukkan energi fosil dalam kategori energi bersih.
“Pergub itu menyebut energi bersih merupakan energi terbarukan dan gas alam. Misalnya, sumber energi bersih meliputi energi tebarukan dan tak terbarukan (minyak bumi, batubara, gas bumi). Semestinya kalau energi fosil adalah energi kotor harusnya ditinggalkan, tidak dimasukkan dalam kebijakan,” ujar Darmoko.
Mulai marak panel surya merupakan inisiatif komunitas warga. Sehingga kebijakan pemerintah diperlukan untuk melindungi upaya warga untuk menggunakan energi dari tenaga surya itu untuk kebutuhan mandiri. Misalnya, Desa Adat membangun energi bersih dengan memasang panel surya.
Darmoko tak memungkiri ada persoalan mengenai energi bersih ini, yakni limbah panel. Menurutnya itu salah satu konsekuensi yang pasti terjadi. Akan tetapi secara teknikal panel masih berfungsi hanya saja efesiensinya menurun.
“Kalau semua dicari jejak karbon semua ada, tapi mana yang emisinya lebih sedikit. Untuk saat ini PLTS ini adalah sumber energi dengan jejak karbon rendah. Kebijaknya selanjutnya perlu ada pengelolaan limbah pasca perangkat pendukung PLTS tak berfungsi. Harus ada kebijakan kongkrit supaya tidak ada masalah yang menumpuk di kemudian hari,” tuturnya.
***
Sementara itu, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mendorong Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera melegislasi revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49/2018 tentang Penggunaan PLTS Atap oleh pelanggan PLN.
Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa dalam keterangan pers, Kamis (18/8/2021) mengatakan, perubahan ini diharapkan meningkatkan minat masyarakat memasang panel surya.
Sehingga dapat membantu pencapaian target bauran energi terbarukan dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) serta komitmen Indonesia untuk mencapai karbon netral sebelum 2060.
“Pemasangan PLTS Atap pada skala besar adalah cara tercepat dan termurah bagi pemerintah untuk mencapai target RUEN,” kata Fabby.
Fabby berujar, revisi permen itu yang memperluas cakupan kepada seluruh pelanggan akan memperluas potensi pasar PLTS Atap, khususnya untuk segmen konsumen C&I.
Menurut dia, perubahan nilai ekspor listrik dari 65 persen menjadi 100 persen dengan skema net-metering dapat memperpendek masa pengembalian investasi dari yang saat ini di atas 10 tahun, bisa dipercepat di bawah 8 tahun, dengan tarif listrik saat ini.
PLN pun tidak membayar kepada pelanggan dan surplus transfer listrik akan menjadi milik PLN setelah 6 bulan. Kenaikan minat konsumen PLTS Atap ini pun dinilai seharusnya dilihat sebagai bentuk partisipasi atau gotong royong warga negara Indonesia terhadap upaya pemerintah meningkatkan energi terbarukan dan penurunan emisi CO2 dengan biaya sendiri dan tidak membebani keuangan negara dan BUMN.
Dia menambahkan, manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan dari revisi Permen PLTS Atap jauh lebih besar dibandingkan dampak minimal yang terjadi dari penurunan pendapatan pada PLN. PLTS Atap yang tumbuh hanya akan membawa manfaat besar bagi warga.
Bagaimana langkah pemerintah mengenai PLTS?
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menyatakan pemerintah melakukan perbaikan regulasi untuk mempercepat pelaksanaan regulasi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PLN sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2019.
“Pemerintah melihat pengembangan PLTS Atap merupakan peluang besar yang memberi manfaat bagi semua pihak,” ujar Dadan kepada Suara.com, Kamis (27/8/2021).
Dia menuturkan, hingga Juli 2021, kapasitas PLTS Atap telah terpasang sebesar 35,56 MWp yang dipasang oleh 4.028 pelanggan. Komposisi terbanyak berdasarkan kapasitas adalah wilayah Jawa Barat dengan 8,84 MWp.
Dadan menambahkan, pemerintah menyusun perencanaan energi jangka panjang dengan prioritas pengembangan PLTS didasarkan pertimbangan potensinya yang berlimpah, kecepatan konstruksi dan harga yang semakin kompetitif. Pengembangan PLTS akan diprioritaskan pada tiga segmen yaitu PLTS Terapung, PLTS Skala Besar dan PLTS Atap.
Pemerintah juga tengah memfinalkan Rancangan Peraturan Presiden tentang Pembelian Tenaga Listrik EBT oleh PLN. Dia mengklaim dalam Peraturan tersebut telah disiapkan pengaturan yang memberikan iklim investasi yang baik bagi pengembangan EBT.
Antara lain, harga jual EBT menjadi kompetitif dengan tetap mempertimbangkan kewajaran dan keterjangkauan melalui pemberian insentif dan biaya penggantian oleh Pemerintah apabila harga jual listrik dari pengembang EBT lebih tinggi daripada Biaya Penyediaan Pembangkitan Tenaga Listrik (BPP) setempat.
Hal lain yang juga diatur adalah terkait pengadaan pembangkit EBT dimana pelaksanaan pengadaan dilakukan secara transparan dan bankable. Selain itu, juga mengatur pemberian dukungan yang diperlukan dari Kementerian/Lembaga terkait.
Peliputan artikel ini dilakukan oleh Erick Tanjung dan Abdus Somad.