Australia Evakuasi Orang di Afganistan, Tapi Tolak Visa Eks Satpam Kedubes

Reza GunadhaABC Suara.Com
Rabu, 25 Agustus 2021 | 20:24 WIB
Australia Evakuasi Orang di Afganistan, Tapi Tolak Visa Eks Satpam Kedubes
Tentara AS beri minum bocah di Afganistan. (AFP/Isaiah CAMPBELL Urusan Publik Komando Pusat AS)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Australia mengevakuasi lebih dari 800 orang, termasuk warga Afghanistan, yang pernah membantu pasukan mereka setelah Taliban kembali berkuasa.

Sebuah pesawat angkut Angkatan Udara Australia berhasil mengevakuasi 470 orang pada hari Minggu (22/08) malam, yang terdiri dari warga Australia, Afghanistan dan Inggris, ke Dubai untuk diproses lebih lanjut.

Dalam evakuasi sebelumnya, pihak Australia telah mengangkut lebih dari 300 orang yang diwarnai dengan situasi kacau-balau saat Kabul jatuh ke tangan Taliban pada hari Minggu (15/08).

Menteri Pertahanan Australia Karen Andrews menyebutkan jumlah warga yang akan dievakuasi oleh Australia terus mengalami perubahan.

Baca Juga: Ke Mana Warga Afganistan Mengungsi Setelah Taliban Berkuasa?

"Jumlahnya cukup besar. Saya tak ingin menyebutkan berapa pastinya karena terus berubah seiring dengan kian banyaknya orang yang ingin datang ke Australia," ujar Menteri Karen.

Australia telah mengumumkan akan menerima 3.000 warga Afghan yang melarikan diri dari kekuasaan Taliban, melalui skema visa kemanusiaan.

Kerumunan warga di sekitar daerah Bandara Internasional Kabul terus bertambah meskipun pasukan Taliban telah mendirikan blokade.

Pasukan Taliban melepaskan tembakan ke udara dan menggunakan pentungan untuk menertibkan warga agar membentuk antrean di luar Bandara Kabul, sehari setelah tujuh orang meninggal dunia akibat terjadinya tumpukan di pintu masuk.

Saksi mata melaporkan tidak ada lagi orang yang mengalami cedera serius pada Hari Minggu kemarin dan telah terbentuk antrean panjang.

Baca Juga: Surat Siswi Sekolah Afganistan: Betapa Beruntungnya Kalian di Luar Sana....

Kementerian Pertahanan Inggris menyebutkan tujuh warga Afghan tewas terinjak saat ribuan orang memaksakan diri memasuki gerbang bandara pada Hari Sabtu.

Laporan media Sky News menayangkan pasukan militer berdiri di atas pagar tembok dan berupaya menarik warga yang cedera serta menyemprotkan air ke arah kerumunan.

Seorang pejabat NATO menyebutkan sedikitnya 20 orang telah tewas di area bandara dalam tujuh hari terakhir.

AS dan sekutunya telah mengirimkan ribuan pasukan untuk membantu proses evakuasi warga asing dan warga Afghan yang rentan, namun mereka menghindari area lain di luar kawasan bandara.

"Pasukan kami menjaga jarak yang ketat dari are di luar Bandara Kabul demi menghindari gesekan dengan pasukan Taliban," demikian pernyataan pejabat NATO.

Seorang jubir Taliban kemarin menyatakan upaya mengatasi kekacauan di luar area bandara cukup kompleks.

"Kami ingin mendapatkan penjelasan lengkap mengenai rencana pasukan asing keluar (dari Afghanistan)," kata jubir tersebut kepada kantor berita Reuters.

Visa untuk mantan satpam Kedubes Australia

Sementara itu, pemerintah Australia telah menolak visa sekelompok mantan petugas keamanan (satpam) yang berjumlah lebih dari 100 orang, dan menyarankan mereka untuk "menghubungi agen imigrasi". 

Sebuah surat elektronik yang dilihat oleh ABC telah dikirimkan ke para satpam ini pada Jumat pekan lalu, menyebutkan bahwa mereka "tidak memenuhi syarat sertifikasi" untuk mendapatkan skema visa baru bernama At Risk Afghan Employees Visa Scheme.

Menurut informasi yang diperoleh ABC, salah satu alasan penolakannya adalah karena jenis visa ini didesain khusus untuk warga Afghan yang dipekerjakan langsung oleh Kedubes, bukan yang berstatus kontraktor.

Ratusan warga Afghan bekerja pada perusahaan pengamanan yang mendapatkan kontrak untuk menjaga Kedubes Australia selama bertahun-tahun.

Semua satpam yang menerima penghasilan kurang dari A$30 (sekitar Rp300) sehari tersebut sebenarnya telah melewati proses pengecekan keamanan.

Beberapa bulan sebelum penarikan pasukan asing dari Afghanistan, para satpam ini telah diberhentikan sebagai bagian dari pengurangan tenaga kerja di kedutaan.

Pemerintah Inggris juga dilaporkan telah menolak memberikan visa kepada mantan satpam yang menjaga kedutaan mereka di Kabul.  

Mereka pada umumnya berasal dari perusahaan pengamanan yang sama dengan yang mendapatkan kontrak untuk menjaga Kedutaan Australia.

Perdana Menteri Australia Scott Morrison menyebutkan pihaknya sangat berhati-hati terkait dengan para mantan pekerja yang membantu Kedubes di sana.

"Banyak sekali orang yang pernah bekerja untuk kami, orang yang bekerja lima atau enam tahun lalu, dan apa yang telah mereka lalui setelah itu tidak kami ketahui," katanya kepada ABC.

"Kami menerapkan pendekatan yang berhati-hati. Itu yang kami lakukan," ujar PM Morrison.

Keluarga seorang penerjemah yang pernah membantu tentara Australia telah dievakuasi oleh Angkatan Udara Amerika Serikat, setelah mereka kesulitan mengajukan visa ke Australia. 

Penerjemah bernama Nasir membantu tentara Australia yang bertugas di pangkalan Tarin Kot antara tahun 2009 dan 2013 dan kini telah menetap di Australia. Tapi keluarganya masih berada di Afghanistan.

Pengacara yang membantu Nasir menyebutkan keluarganya diminta untuk mengirim dokumen permohonan visa melalui kantor pos.

Namun, Nasir mengaku hal ini sulit dipenuhi karena situasi yang kacau di Kabul sekarang. Akhirnya mereka meminta bantuan ke pihak AS yang kemudian mengangkut keluarga Nasir untuk dievakuasi.

"Orang Amerika tahu bahwa para warga ini adalah keluarga seorang penerjemah yang bekerja untuk orang Australia," kata Nasir kepada ABC.

PM Morrison menyatakan kehadiran Australia di Afghanistan "sepenuhnya tergantung" pada komitmen AS, namun dia menolak untuk menjawab apakah ia kecewa dengan penarikan pasukan AS saat ini.

"Pada akhirnya, sebuah keputusan telah diambil, kembali ke era pemerintahan Obama, diikuti oleh pemerintahan Trump pada Februari tahun lalu saat mereka berdialog dengan Taliban, dan hal ini ditindaklanjuti oleh pemerintahan Biden," paparnya.

"Sebagai dampaknya, Australia terpaksa mengambil keputusan atas dasar keadaan tersebut," kata PM Morrison.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari berbagai artikel ABC News.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI