Suara.com - Meningkatnya kasus COVID-19 akibat varian Delta di Thailand membuat sistem layanan kesehatan negeri itu kewalahan, sementara sekelompok relawan berusaha membantu menangani pasien positif yang dirawat di rumah.
Sore itu panas menyengat di ibu kota Thailand Bangkok.Saat teteshujan pertama turun, Narin Pannak danAchittapon Rodsantad berlindung di bawah atap belakang mobil van mereka.
Hujan mulai turun dengan deras ketikakeduanya mulai mengenakan alat perlindungan diri (APD) dan membawa peralatan merekamasuk ke dalam sebuah rumah.
Di lantai atas rumah tersebut tinggal seorang perempuan berusia 50 tahun yang positif COVID-19, yang mengalami kesulitan bernapas.
Baca Juga: Gelombang Kedua Covid-19 di RI Sudah Lewat, Sri Mulyani Tenang
Kedua pria iniPannak dan Rodsantad adalah relawan dari kelompok bernama "Saimai Will Survive', relawan yang membantu memberikan oksigen, obat-obatan dan bantuan lain.
Saat sistem layanan kesehatan di Thailand kewalahan menghadapi peningkatan kasus COVID di sana, para relawan sudah banyak bergerak di wilayah Saimai dan sekitarnya di Bangkok.
Dimulai dengan tim kecil beranggotakan lima orang, kelompok relawanSaimai Will Survive sekarang memiliki lebih dari 100 anggota, yang kadang harus mengambil risiko mengorbankan kesehatan mereka sendiri demimerawat mereka yang tidak bisa tertampung di rumah sakit.
"Saya percaya ini baru permulaan,karena perang yang sesungguhnya masih akan terjadi."
Baca Juga: WHO: Asia-Pasifik Hadapi Fase Kritis Pandemi COVID-19
Thailand kewalahan atasi varian Delta
Sebelumnya Thailand banyak dipuji sebagai salah satu negara yang berhasil menangani pandemi COVID-19 sampai kemudian terjadi gelombang ketiga penularan di awal April.
Sekarang Thailand menjadi salah satu negara ASEAN dengan jumlah kasus tinggi dan sudahmelebihi angka 1 juta kasus. Lebih dari 9.000orangmeninggal dunia akibat COVID-19 di Thailand.
Angka kasus harian sudah stabil selama sepekan terakhir.Namun pemerintahmengatakan,walaupun inikabar baik, mereka masih mengkhawatirkan jumlah kematian yang tetap tinggi.
Di ibu kota Bangkok angka kasus harian mencapai 4.000di tengah terus merebaknya varian Delta.
Virus ini menyebar dengan cepat lewat rumah tangga yang jumlah anggota keluarganya banyak yang tinggal di kawasan permukiman padat penduduk, di pasar-pasar dan juga di asrama pekerja bangunan.
Meski ribuan orang sembuh setiap harinya, rumah sakit, rumah sakit darurat,sertahotel medis tetap terisi penuh, dan ventilator langka.
"Susah sekali bagi warga untuk menembus layanan hotline milik pemerintah untuk mendapatkan tempat di rumah sakit," kataLaungprasert kepada ABC.
"Saya mengerti ada banyak yang memerlukannya, tapi pemerintah harusnya menerapkan langkah lainuntukmemungkinkan warga mendapatkan akses pelayanan yang lebih baik dari sekarang."
"Sekarang ini akan banyak orang yang meninggal di rumah."
Salah satu masalah yang dihadapi Thailand dalammenguasai pandemi adalah program vaksinasi yang lambat dan tidak terorganisasidengan baik.
Sejauh ini baru sekitar 10 persen dari populasi total Thailand sebesar 70 juta orang yang sudah mendapatkan vaksinasi penuh.
Video perjuangan pasien COVID yang dirawat di rumah
Sebagai bagian dari kerja mereka, para relawan mengunggahvideo kunjungan mereka ke rumah-rumah di Facebook untuk meningkatkan kesadaran akan seriusnya pandemi COVID-19 sekaligusmenginformasikan secara visualkegiatan mereka kepada masyarakat.
Beberapa klip video mereka memperlihatkansuasana menyedihkan di saat para relawan membantu para pasien,termasuk seorang ibu dan tiga anak-anaknya yang masih kecil yang semuanya positif.
Tidak seorang pun dari relawan ini dibayar, tapi mereka memiliki waktu dan tenaga karena mereka tidak lagi punya pekerjaan akibat situasi ekonomi di masapandemi.
"Semua relawansaya ketakutan, tapisaya bertanyakepada mereka apakah mereka siap menghadapi risiko terkena virus, dan semua mengatakan siap."
Kelompok relawan sudah menjadibagian penting dalam membantu Thailand selama pandemi, dengan banyak organisasi mengirimkan tabung oksigen, membawa pasien ke rumah sakit dan membangun pusat isolasi mandiri.
Yang lain membantu dengan paket bantuan makanan, memberi makanan untuk binatang peliharaan milik pasien yang dirawat di rumah sakit dan juga memberikan makanan siap saji.
Bantuan makanan sangat penting khususnya untuk mereka yang melakukan isolasi mandiri di rumah di kawasan miskin, karena biasanya mereka harus pergi ke pasar setiap hari dan tidak pernah mengandalkan pembelian online dari supermarket besar.
Panchana Vatanasathien, yang menjalankan layanan'Food for Fighters' (FFF) mengatakan dia mendirikan layanan untuk mengirimkan bantuan 'ke sebanyak mungkin orang atau pasien yang isoman di rumah."
FFF beroperasi dari sebuah lapangan parkir milik salah satu universitas terkenal di ThailandChulalongkorn University di Bangkok.
Di situ sekitar 20 relawan memasak makanan, yang kemudian diantar menggunakan mobil dan tuk tuk untuk dikirimkan ke kawasan kumuh terbesar di BangkokKlong Toey dan kawasan miskin lainya.
Vatanasathien yang memiliki pengalaman bekerja di bidang amal memimpin seluruh kegiatan di sana.
"Saya sangat percaya bahwa warga Thailand berhati baik dan sangat ingin membantu sesama," kata perempuan tersebut.
"Saya mengatakan kepada tim bahwa kita tidak sedang membuat keajaiban, kita tidak melakukan hal khusus, kita hanya melakukan apa yang bisa kita lakukan di masa krisis ini."
Marah padacara pemerintah menangani krisis
Mantan wartawan senior harian berbahasa Inggris The Bangkok Post, Sanitsuda Ekachai, mengatakan kepada ABC bahwa para relawan melakukan kegiatan karena banyak yang kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.
"Saya kira banyaknya bantuan yang muncul sekarang sebenarnya menunjukkan kemarahan publik terhadap pemerintah," kataEkachai.
"Warga sangat marah dan mereka merasa bahwa jikapemerintah tidak bisa membantu warga, kami akan melakukannya sendiri dan kami akan menunjukkan bagaimana seharusnya bantuan ini dilakukan."
Ekachai merasa salut dengan tindakan para relawan yang mendatangi rumah-rumah orang yang positif COVID-19.
"Mereka tidak tega melihat warga yang mungkin akan meninggal, sehingga mereka mengatakan 'kami akan melakukan apa yang bisa dilakukan saat ini," katanya.
"Dan mereka bisa melakukan lebih banyak lagi bila mereka memiliki sumber daya dan kuasa untuk membuat keputusan namun pemerintah dan birokrasi menolak melakukan desentralisasi untuk mempertahankan kekuasaan mereka."
Protes jalanan dan pawai keliling sudah dilakukan untuk mendesak Perdana MenteriPrayuth Chan-ocha mengundurkan diri karena ketidakbecusan menangani pandemi.
Meski sudah ada larangan bagi warga untuk berkumpul lebih dari lima orang, ratusan orang hadir dalam protes di Bangkok.
Protes yang dilakukan oleh mahasiswa yang mendesak pengunduran diri PM Prayuth tahun lalu sekarang kembali terjadi dengan dukungan lebih luas dari masyarakat yang tidak puas dengan situasi pandemi.
Beberapa protes berakhir dengan kekerasan, diwarnai pelemparan bom molotov, cat, batu dan mercon, sementarapolisi anti huru-hara menggunakan gas air mata, air dan peluru karet.
PM Prayuth Chan-ocha mengatakan tidak berencana untuk mengundurkan diri.
Menjawab pertanyaan ABC, juru bicara pemerintah ThailandAnucha Burapachaisri mengatakan pemerintah 'memfokuskan diri dalam mengatasi pandemi khususnyavarian Delta."
Dia mengatakan meski ada larangan bagi warga berkumpul, pemerintah mengambil 'sikap lunak' terhadap pengunjuk rasa, khususnya 'pergerakan warga baru-baru ini yang meningkatkan kemungkinan penularan COVID-19."
Dia juga menambahkan bahwa Thailand sekarang ini 'sedang mengalami kekurangan pasokan vaksin untuk sementara' tetapibekerja erat dengan sektor swasta dan publik, sertadengan negara lain untuk mendatangkan lebih banyak lagi vaksin.
Juru bicara tersebut menambahkan bahwa pemerintah Thailand 'sedang berusaha semaksimal mungkin' melakukan semua hal untuk mengatasi pandemi dan berharap bisa melakukan vaksinasi terhadap sekitar 70 persen warga (sekitar 50 juta penduduk) di akhir tahun untuk mencapai kekebalan kelompok."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dariABC News.