Suara.com - Pria tidak boleh poligami atau beristri lebih dari satu serta kaum perempuan tak perlu memakai jilbab, itulah pandangan Ratu Soraya saat mendampingi suaminya, Raja Amanullah Khan, memimpin Kerajaan Afganistan, era 1920-an.
Saat berkuasa, di tengah penentangan saat itu, Raja Amanullah Khan "mengkampanyekan menentang poligami dan juga kerudung, praktik yang mereka terapkan sendiri," seperti laporan The Time untuk 100 Women of the Year pada Maret tahun lalu.
Raja Aminullah menolak tradisi memiliki selir, sementara ratunya adalah "pelopor hak dan pendidikan perempuan.... dan dikenal sebagai orang yang pernah membuka jilbab di depan umum."
Saat Amanullah Khan memegang tahta pada 1919, istrinya, Soraya Tarzi, menarik perhatian karena gagasan-gagasannya untuk negara dengan kesukuan yang begitu mengakar sejak berabad-abad.
Baca Juga: Perempuan Pekerja Afghanistan Diminta Taliban untuk Diam di Rumah
Bertahun-tahun kemudian, Amanullah mengganti gelarnya, tak lagi emir tetapi "raja".
Selama berkuasa sampai tahun 1929, pasangan itu memiliki komitmen untuk meningkatkan pendidikan untuk perempuan.
"Saya raja mereka, namun menteri pendidikan adalah istri saya, ratu mereka," kata Raja Amanullah pada 1926 memastikan peranan Soraya dalam proses modernisasi negara itu.
Pada 2014, Putri India, anak bungsu Raja Amanullah, berbicara kepada Al Jazeera tentang peninggalan sang ibu.
"Ia membuka sekolah perempuan pertama dan menjadi contoh keluarga untuk mengizinkan dua anak perempuan tertuanya — kakak-kakak saya — untuk bersekolah."
Baca Juga: Pemerintah Taliban Mendorong Pejabat Afghanistan untuk Kembali Bekerja
"Capaian ibu saya masih sangat dihargai di Afghanistan," katanya.
"Orang masih ingat pidato beliau sampai sekarang, bagaimana ia mendorong perempuan Afghanistan untuk menjadi mandiri... belajar membaca dan menulis."
Para pakar sejarah sepakat Ratu Soraya adalah perempuan luar biasa di masanya.
Ia sering melakukan kontak langsung dengan perempuan di negaranya dan membicarakan hak-hak mereka.
Dalam salah satu pidatonya pada 1926, ketika memperingati kemerdekaan Afghanistan, Ratu Soraya menyebutkan peran penting perempuan dalam sejarah mereka.
"[Kemerdekaan] adalah hak kita semua dan itulah mengapa kita merayakannya. Meski begitu, apakah Anda percaya, negara kita sejak awal perjuangannya hanya membutuhkan pengabdian kaum pria? Perempuan juga harus turut berpartisipasi, seperti para perempuan turut andil di tahun-tahun pertama negara kita berdiri, juga Islam."
Dia melanjutkan, "Oleh sebab itu, kita harus berusaha mendapatkan sebanyak mungkin pengetahuan, sehingga kita bisa melayani masyarakat, sama seperti perempuan telah melakukannya di masa awal Islam."
Berkat Ratu Soraya, kenang putrinya, sekolah dasar pertama untuk perempuan di Afghanistan, Sekolah Masturat, dibuka di Kabul pada 1921.
Sebanyak 15 siswi dari Sekolah Menengah Masturat, semuanya putri dari keluarga bangsawan Kabul, dikirim ke Turki untuk menempuh pendidikan lebih lanjut.
Soraya memperkenalkan pendidikan modern pada perempuan Afghan, yang di dalamnya termasuk sains, sejarah, dan pelajaran-pelajaran lain di samping pelatihan ekonomi rumahan dan topik-topik keagamaan yang lebih tradisional.
Lahir di pengasingan, Ratu Soraya juga meninggal dunia di pengasingan. Namun sepanjang memimpin sebagai ratu di Afghanistan selama 10 tahun yang kontroversial, Soraya Tarzi telah memberikan secercah harapan akan masa depan dengan persamaan hak bagi perempuan. Mimpi yang hingga seabad kemudian, belum terwujud.
Pengaruh orang tua
Ayah Soraya, Mahmud Tarzi, adalah seorang politisi Afghan berpengaruh dan seorang intelektual yang memperkenalkan gagasan-gagasan liberal pada negaranya.
Pemikirannya yang progresif tak hanya menarik bagi Soraya, tetapi juga seorang pengikutnya yang paling setia, yang kelak menjadi menantunya dan raja di Afghanistan.
Huma Ahmed-Ghosh, Professor Emeritus di Universitas San Diego, adalah penulis makalah berjudul A History of Women in Afghanistan: Lesson Learnt for the Future or Yesterdays and Tomorrow, yang dipublikasikan oleh Journal of International Women's Studies pada 2003.
Menurut dia, Soraya memainkan "peran penting dalam perencanaan dan implementasi perubahan yang berhubungan dengan perempuan, dan melakukannya melalui contoh dalam kehidupan pribadinya, yakni monogami".
Juga dengan menyediakan akses pada pendidikan dan pekerjaan untuk para perempuan di keluarganya, yang tampil di muka publik tanpa kerudung.
"[Raja dan Ratu] secara terbuka berkampanye menentang jilbab, menentang poligami, dan mendukung pendidikan untuk anak perempuan," kata Ahmed-Ghosh.
"Dalam acara-acara publik, [Amanullah] berkata Islam tidak mewajibkan perempuan untuk menutup seluruh tubuhnya atau mengenakan penutup wajah khusus."
Dan di akhir salah satu pidatonya, lanjut Ahmed-Ghosh, Ratu Soraya membuka penutup kepalanya, yang diikuti oleh istri-istri para pejabat yang menghadiri pertemuan tersebut.
Dalam berbagai foto dirinya menghadiri sejumlah acara berbeda, tampak Soraya mengenakan topi kecil.
Keluarga Soraya
Soraya lahir pada 24 November 1899 di Damaskus, Suriah, yang pada saat itu adalah bagian dari Kerajaan Ottoman.
Pangeran Amanullah dan Soraya jatuh cinta dan menikah pada 1913 dan, setelah pembunuhan Habibullah, mereka naik tahta menjadi raja dan ratu.
Pasangan ini memimpin Afghanistan menuju kemerdekaan dari Inggris, yang diumumkan pada saat hari penobatannya pada 1919.
"Ratu Soraya, dengan gaya berpakaian ala Eropa dan pergi berkuda bersama suaminya, memiliki gelar kehormatan dari Universitas Oxford," ujar wartawan Al Jazeera, Tanya Goudsouzian, pada 2014.
Ibunya, Asma Rasmiya Tarzi, yang lahir di Suriah, adalah pemilik majalah perempuan pertama di Afghanistan yang banyak menampilkan sosok perempuan sukses sepanjang sejarah dan kisah-kisah perempuan yang terhormat dalam Islam.
Majalah tersebut bernama Ershad-I-Niswan, yang berarti "Pedoman untuk Kaum Perempuan". Putrinya tak hanya membantu kelahiran majalah itu, pada 1927, dia juga mengkampanyekan konten soal kesetaraan gender di dalamnya.
Kesuksesan majalah ini diikuti oleh sejumlah majalah khusus perempuan lain setelahnya.
Kunjungan ke Eropa
Pada 1927-1928, Ratu Soraya dan suaminya berkunjung ke Eropa — sebuah perjalanan mahal selama enam bulan yang menjadi kontroversi di Afghanistan.
Sepulangnya dari Eropa, pasangan ini mencoba menerapkan sejumlah reformasi sosial dan budaya yang mereka lihat selama perjalanan tersebut.
Namun beredarnya foto-foto Soraya tanpa kerudung dan dalam acara makan malam bersama laki-laki asing, kata Ahmed-Ghosh, memicu reaksi keras dari negaranya.
Dalam beberapa acara tersebut, tambah wartawan Al Jazeera, Tanya Goudsouzian, pada 2014, Soraya tampak mengenakan gaun malam tanpa lengan.
"Para mullah konservatif dan pemimpin regional menafsirkan foto-foto tersebut, juga perjalanan keluarga kerajaan, sebagai pengkhianatan terang-terangan budaya, agama, dan 'kehormatan' perempuan di negara mereka," kata Ahmed-Ghosh.
Beberapa sumber mengatakan kalau foto-foto ini telah dimanipulasi dan bahwa Inggris sengaja membagikannya ke negara kesukuan tersebut untuk menciptakan kekacauan.
Kebencian publik yang diterima pasangan kerajaan ini kemudian memaksa mereka untuk mengasingkan diri ke Italia pada 1929. Kepergian mereka sekaligus menandai berakhirnya reformasi dan modernisasi yang mereka perjuangkan.
Menjelang keberangkatan mereka ke pengasingan, sejak akhir 1928, perang sipil mulai memanas di Afghanistan. Untuk beberapa bulan, Habibullah Kalakani naik ke tampuk kekuasaan.
Namun yang kemudian menjadi raja baru di Afghanistan adalah Muhammad Nadir Shah, yang memerintah pada 1929-1933.
Bersama pendukungnya, Nadir Shah mengambil tindakan keras, termasuk menutup sekolah-sekolah perempuan dan mewajibkan penggunaan penutup kepala untuk para perempuan, tulis sebuah artikel berjudul The Long, Long Struggle for Women's Rights in Afghanistan yang diterbitkan oleh Ohio State University.
Meski begitu, artikel sama menulis, "Inisiatif-inisiatif Amanullah kemudian diterapkan secara bertahap selama masa pemerintahan panjang putra dan penerus Muhammad Nadir Shah, Muhammad Zahir Shah (1933-1973)".
Jauh di depan sebelum waktunya
Ratu Soraya meninggal dunia pada 1968 di Italia, delapan tahun setelah suaminya mangkat.
Peti matinya dikirim dengan iring-iringan militer ke bandara di Roma, dan di Afghanistan, dia dimakamkan dengan upacara kenegaraan.
Pada sampul muka majalah Time yang mengangkat 100 Women of the Year tahun 1927, wajahnya muncul dalam daftar perempuan paling berpengaruh di abad ke-20.
"Sebagai permaisuri pertama Afghanistan dan istri Raja Amanullah Khan, dia adalah salah satu figur terkuat di Timur Tengah pada 1920-an dan dikenal dunia karena ide-ide progresifnya," tulis wartawan Suyin Haynes.
"Pada gelombang reformasi kedua di Afghanistan pada 1970-an, ide-ide [Soraya] Tarzi bergema kembali, setelah 50 tahun, dengan tuntutan peningkatan pendidikan dan representasi perempuan di politik, juga penambahan usia pernikahan."
Pada 2018, dalam artikel berjudul Situation of Women in Afghanistan yang diterbitkan oleh Modern Diplomacy, peneliti Hamidullah Bamik menekankan, bahwa berkat gerakan konstitusional pertama yang dilakukan oleh Raja Amanullah Khan di awal abad ke-20, perempuan Afghanistan "berhasil mendapatkan sebagian hak asasi dan kemerdekaan mereka".
"Namun sayangnya, setelah kejatuhan Kabul yang didukung oleh Soviet dan rezim-rezim setelahnya, Mujahidin dan Taliban, semua itu dengan segera terkubur," kata dia.
Kembalinya Taliban berkuasa pada bulan ini menimbulkan banyak ketakutan, terutama para perempuan, yang khawatir hak-hak sosial dan ekonomi yang telah mereka perjuangkan selama dua dekade kembali mengalami kemunduran.
Ketakutan ini masih membayang, meskipun Zabihullah Mujahid, juru bicara Taliban memastikan perempuan akan tetap diperbolehkan bersekolah dan bekerja.
Untuk saat ini, dunia memperhatikan dengan seksama apa yang terjadi di Afghanistan, terutama pada nasib kaum perempuan di sana.