Di Negeri Gingseng, lanjut Tunggal, kasus HAM seringkali dimunculkan dalam sebuah film atau drama. Sebagai contoh, peristiwa Gwangju pada tahun 1980 yang kerap muncul di beberapa film.
"Sementara di indonesia, masih kurang khisusnya di film maupun drama yang terkait dengan isu," beber Tunggal.
Padahal, dokumentasi atau materi soal kasus-kasus yang berkaitan dengan HAM du Indonesia banyak sekali. Lantas, Tunggal melemparkan sebuah pertanyaan: bagaimana publik bisa mengakses dan mengetahuinya soal itu?
"Itu yang saya pikir jadi PR. Dan bagaimana menyelesaikannya, terutama ke anak muda yang kita tahu saat ini anak muda paling tidak bisa kalau modelnya monolog atau menggurui. Harus ada dialog," papar Tunggal.
Menurut Tunggal, memasukkan isu HAM ke dalam film atau drama bisa menjadi cara atau pelengkap yang baik untuk memahami satu isu tertentu. Merujuk pada pernyataan Mina Kim, Deputi Director at National Human Rights Commission of Korea -- yang juga hadir dalam diskusi -- Korea Selatan menyampaikan mampu menyampaikan isu HAM dengan cara yang serius dan memberikannya pada orang yang profesional.
"Artinya, harus mampu juga memikirkan bagaimana caranya menjangkau teman-teman profesional yang biasa membuat film atau drama di indonesia. Tentu saja ini jadi satu alat yang efektif," jelas Tunggal.
Penyampaian Pesan
Sosok Fani yang ditampilkan di video sebelum diskusi dimulai bisa dikatakan mampu menyampaikan dengan tepat pesan atau isu HAM dalam tiap drama atau film. Tunggal menilai, kemampuam untuk mengidentifikasi harus sejak awal dimiliki.
Tunggal mengatakan, sutradara di Korea juga mendapatkan pelatihan sebelum menyutradari film atau drama. Artinya, pendidikan dasar yang diperoleh -- mungkin -- di sekolah tetap masih diperlukan.
Baca Juga: Komnas HAM Singgung Potensi Pelanggaran HAM dalam Penahanan Ijazah untuk Kerja
"Tv atau drama menjadi salah satu tools yang baik untuk mengkomunikannya dengan cara yang alternatif. Kita setidaknya memiliki kemampuan untuk menilai film-film atau drama yang ada," imbuh Tunggal.