Suara.com - Drama Korea atawa Drakor disebut menjadi salah satu alat yang paling efektif untuk menyampaikan isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia atau human right. Di Negeri Gingseng, film atau drama menjadi satu sarana pembelajaran yang interaktif dan efektif ke publik luas.
Dalam diskusi virtual yang digelar Komnas HAM dengan tajuk "Tanggap Rasa: Belajar HAM dari Drama Korea", mula-mula sebuah video diputar. Video itu menampilkan seorang perempuan bernama Fani yang sedang menatap layar laptop -- dan menonton drama Korea.
Tiba-tiba, sang ibu melakukan panggilan video. Mula-mula sang ibu bertanya mengapa Fani begitu sulit dihubungi, padahal kuliah masih berlangsung secara virtual karena masih dalam situasi pandemi -- ditambah ada kebijakan PPKM.
Tanpa pikir panjang, sang Ibu menebak jika Fani sedang menonton drama Korea. Singkat cerita, Fani mengaku sedang belajar melalui drama dan film Korea.
Baca Juga: Komnas HAM Singgung Potensi Pelanggaran HAM dalam Penahanan Ijazah untuk Kerja
Sang ibu lantas mengetes Fani yang baru saja berkata belajar dari drama dan film Korea.
Fani pun menyebut jika dia belajar kesetaraan gender dari film berjudul "Start Up", hak anak dan hak atas keadilan dan disabilitas dalam film "Miracle In Cell No. 7", hingga kesenjangan sosial dalam film "Parasite" garapan sutradara Bong Joon Ho -- yang menyabet penghargaan Oscar tahun 2019.
"Kita tahu bahwa di Korea Selatan, film atau drama menjadi satu sarana pembelajaran yang interaktif dam efektif ke publik," kata Aktivis HAM cum pencinta drakor, Tunggal Pawestri, Selasa (25/8/2021).
Sementara itu, di Tanah Air, lanjut Tunggal, justru film semacam "Penghinatan G 30 S/PKI" yang diputar terus menerus -- khususnya saat rezim Orde Baru berkuasa. Artinya, film atau drama dalam pengertian Tunggal adalah salah satu alat yang paling efektif untuk mengubah persepsi di masyarakat.
"Pada reformasi atau belakangan ini tidak diputar lagi. Meskipun dulu di masa Orde Baru, film itu diputar secara terus menerus, dan itu membuktikan bahwa film atau drama itu adalah salah satu tools yang efektif untuk mengubah persepsi di masyarakat," jelas dia.
Baca Juga: Sebelum Jadi Main Lead, 8 Aktor Ini Pernah Jadi Sad Boy Second Lead
Tunggal mengatakan, berbicara masalah HAM di Tanah Air selalu berujung pada stigma isu yang berat -- bahkan sensitif sulit untuk di diskusikan. Apalagi, banyak sekali kasus pelanggaran HAM yang hingga kini belum dituntaskan -- meski beberapa sineas telah mengangkat isu itu ke publik.
Di Negeri Gingseng, lanjut Tunggal, kasus HAM seringkali dimunculkan dalam sebuah film atau drama. Sebagai contoh, peristiwa Gwangju pada tahun 1980 yang kerap muncul di beberapa film.
"Sementara di indonesia, masih kurang khisusnya di film maupun drama yang terkait dengan isu," beber Tunggal.
Padahal, dokumentasi atau materi soal kasus-kasus yang berkaitan dengan HAM du Indonesia banyak sekali. Lantas, Tunggal melemparkan sebuah pertanyaan: bagaimana publik bisa mengakses dan mengetahuinya soal itu?
"Itu yang saya pikir jadi PR. Dan bagaimana menyelesaikannya, terutama ke anak muda yang kita tahu saat ini anak muda paling tidak bisa kalau modelnya monolog atau menggurui. Harus ada dialog," papar Tunggal.
Menurut Tunggal, memasukkan isu HAM ke dalam film atau drama bisa menjadi cara atau pelengkap yang baik untuk memahami satu isu tertentu. Merujuk pada pernyataan Mina Kim, Deputi Director at National Human Rights Commission of Korea -- yang juga hadir dalam diskusi -- Korea Selatan menyampaikan mampu menyampaikan isu HAM dengan cara yang serius dan memberikannya pada orang yang profesional.
"Artinya, harus mampu juga memikirkan bagaimana caranya menjangkau teman-teman profesional yang biasa membuat film atau drama di indonesia. Tentu saja ini jadi satu alat yang efektif," jelas Tunggal.
Penyampaian Pesan
Sosok Fani yang ditampilkan di video sebelum diskusi dimulai bisa dikatakan mampu menyampaikan dengan tepat pesan atau isu HAM dalam tiap drama atau film. Tunggal menilai, kemampuam untuk mengidentifikasi harus sejak awal dimiliki.
Tunggal mengatakan, sutradara di Korea juga mendapatkan pelatihan sebelum menyutradari film atau drama. Artinya, pendidikan dasar yang diperoleh -- mungkin -- di sekolah tetap masih diperlukan.
"Tv atau drama menjadi salah satu tools yang baik untuk mengkomunikannya dengan cara yang alternatif. Kita setidaknya memiliki kemampuan untuk menilai film-film atau drama yang ada," imbuh Tunggal.