Suara.com - Eks Mensos Juliari Batubara divonis hukuman 12 tahun penjara dalam perkara korupsi bantuan sosial Covid-19 se-Jabodetabek tahun 2020. Putusan tersebut hanya lebih tinggi satu tahun ketimbang tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman menilai, majelis hakim tidak melihat perbuatan Juliari yang masuk dalam kategori serius.
Menurutnya hakim hanya melihat tuntutan jaksa dan yang penting memberi putusan lebih tinggi meski hanya tambah satu tahun.
"Hakim tidak mau melihat betapa seriusnya perbuatan terdakwa, hakim hanya melihat tuntutan JPU 11 tahun dilebihi 1 tahun, sehingga JPU pasti tidak mengajukan banding," kata Zaenur ketika dihubungi pada Rabu (25/8/2021) hari ini.
Baca Juga: Kasus Gratifikasi Lampung Utara, KPK Endus Penerimaan Fee Proyek
Zaenur menilai, hakim telah gagal dalam melihat seriusnya perbuatan Juliari. Seolah-olah, perbuatan Juliari hanya dianggap sebagai tindak pidana korupsi biasa.
"Saya melihat di sini hakim memang gagal melihat betapa seriusnya perbuatan terdakwa, betapa rusaknya kejahatan terdakwa, sehingga seakan-akan ini adalah korupsi biasa," sambungnya.
Zaenur lantas membandingkan kasus Juliari dengan kasus suap yang dilakukan oleh Akil Mochtar, eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Kata Zaenur, Akil Mochtar dihukum berat karena tindakannya berdampak besar untuk dunia kekuasaan kehakiman.
"Juga terkait dengan kepercayaan peradilan pemilu (kasus Akil Mochtar). Atau misal kasus Jiwasraya dijatuhi hukuman seumur hidup beberapa terdakwanya karena kerugian negara yang besar," beber Zaenur.
Namun, lain hal dengan kasus korupsi Juliari. Secara tegas Zaenur menyatakan jika korupsi Juliari masuk dalam kategori serius dan berdampak besar bagi penanggulangan dampak sosial Covid -19.
Baca Juga: Vonis Rendah Terhadap Koruptor Bansos yang Tidak Lepas Dari Peran KPK
"Menurut saya sudah selayaknya terdakwa dijatuhi hukuman seumur hidup. Nah hakim tidak menggunakan kesempatan itu karena hakim menurut saya bermain aman, tidak mau melihat perbuatan hukum bahwa terdakwa itu sangat serius," tegas Zaenur.
Dengan demikian, Zaenur melihat ada banyak kejanggalan dalam kasus korupsi bansos yang dilakukan oleh Juliari. Salah satu contohnya ada dua nama poltisi -- yang tidak disebutkan Zaenur -- hilang dari dakwaan.
"Apakah ini kasus istimewa atau tidak, ya ini memang banyak kejanggalan dalam kasus juliari ini. Contohnya ada nama sejumlah politisi yang hilang dari dakwaan atau memang nama-nama poltisi tersebut tidak ada tindak lanjutnya," papar dia.
Zaenur menegaskan, hal-hal tersebut menunjukan kalau kasus korupsi Juliari ada 'sesuatu'. Sebab, dalam pandangan dia, kasus ini tidak lepas dari nuansa politik yang ada.
"Karena memang kasus ini tidak lepas dari politik, setidaknya ada dua nama yang hilang dari dakwaan yang skrng juga tidak ada tindak lanjutnya," tutup dia.