Suara.com - Cacian dan cercaan masyarakat yang dialamatkan kepada terpidana kasus bansos, Juliari Batubara menjadi pertimbangan majelis hakim dalam memberikan vonis. Alhasil, eks Mensos itu cuma dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dalam perkara korupsi bantuan sosial Covid-19 se-Jabodetabek tahun 2020.
Majelis hakim, dalam pertimbangannya menyebutkan jika Juliari sudah cukup menderita akibat cacian masyarakat. Lantas, jika Juliari menderita karena dicaci, bagiamana perasaan masyarakat yang haknya diambil oleh sang koruptor?
Dalam pandangan peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman, pertimbangan majelis hakim sangat keliru. Bagi dia, itu adalah konsekuensi logis yang harus diterima Juliari atas kelakuannya.
Sehingga, kata Zaenur, korupsi yang dilakukan Juliari saat pandemi Covid-19 harus dianggap sebagai alasan yang memberatkan. Justru, kelakuan amoral Juliari ini lah yang membikin masyarakat melayangkan caci maki dan cercaan.
Baca Juga: Vonis Rendah Terhadap Koruptor Bansos yang Tidak Lepas Dari Peran KPK
"Seharusnya dijadikan alasan yang memberatkan. Kenapa, karena perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa itu menimbulkan sakit hati masyarakat banyak dan mengakibatkan reaksi keras dari masyarakat berupa cibiran khususnya melalui media sosial," kata Zaenur saat dihubungi, Rabu (25/8/2021) hari ini.
Cacian dari masyarakat yang mendarat pada sosok Juliari menunjukkan betapa besar dampak dari perbuatan korupsi pada saat wabah -- terlebih yang dikorupsi adalah bansos. Atas hal itu, Zaenur berpandangan jika alasan dari majelis hakim yang menyebut cacian dari masyarat menjadi hal yang meringankan Juliari itu adalah cacat logika.
"Menurut saya, pertimbangan ini cacat logika," sambungnya.
Sepanjang ingatan Zaenur, belum pernah ada alasan soal reaksi keras dari masyarakat yang menjadi pertimbangan majelis hakim untuk meringankan hukuman. Sehingga, dalam konteks ini, Zaenur berpendapat jika cibiran dari masyarakat semakin menggerus kepercayaan terhadap pemerintah atas penanganan pandemi Covid-19.
"Artinya korupsi yang dilakukan terdakwa itu telah juga menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah sehingga semakin sulit pemerintah dalam melakukan penanganan pandemi covid 19 khususnya untuk mendapatkan kepercayaan publik," papar Zaenur.
Baca Juga: Cacian Warga Jadi Alasan Hakim di Vonis Juliari, DPR: Jangan Mainkan Hati Nurani Rakyat
Pandangan senada juga diungkapkan Boyamin Saiman -- Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI). Bagi dia, cacian masyarakat yang mendarat pada diri Juliari seharusnya tidak masuk dalam alasan yang meringankan hukuman.
Boyamin mengatakan, alasan yang meringankan hanya cukup Juliari belum pernah dihukum dan perannya sebagai kepala keluarga. Pertimbangan semacam itu -- cacian masyarakat -- seharusnya tidak ada dalam memberikan putusan kepada seorang koruptor.
"Menurut saya, semua koruptor ya di bully jadi mestinya tidak ada pertimbangan itu, yang meringankan. Meringankan ya hanya dia belum pernah di hukum dan kepala keluarga, cukup. Tidak usah ditambah kalau dia di bully," beber Boyamin.
Lantas, Boyamin memberi contoh kasus korupsi yang pernah dilakukan eks Ketua DPR, Setya Novanto (Setnov). Koruptor perkara proyek KTP elektronik itu mengalami hal yang serupa dengan Juliari, yakni dicaci maki habis-habisan oleh masyarakat.
Namun, lanjut Boyamin, hakim dalam memberi putusan kepada Setnov tidak memasukkan cacian masyarakat sebagai hal yang meringankan. Atas hal itu, Boyamin menyebut KPK sebagai biang keladi atas putusan rendah Juliari Batubara.
"Apakah dulu Setnov di bully jadi hal yang meringankan? Kan tidak juga. Kemudian, apapun ini tetap sisi kesalahan KPK karena tidak berani menuntut seumur hidup jadinya hakim hanya memutus diatas satu tahun," tutup Boyamin.
Vonis 12 Tahun
Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis sebelumnya telah memvonis Juliari dengan hukuman 12 tahun penjara. Majelis hakim pun membeberkan hal-hal yang menjadi pertimbangan terhadap vonis 12 tahun penjara Juliari.
Adapun hal memberatkan yang disampaikan hakim bahwa terdakwa Juliari tidak berjiwa kesatria untuk mengakui perbuatannya dalam korupsi bansos.
"Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak ksatria, ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya," ucap hakim Muhammad Damis di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (23/8/2021).
Selain itu, majelis hakim juga menyatakan bahwa perbuatan terdakwa dilakukan dalam keadaan darurat bencana nonalam yaitu wabah Covid-19. Sedangkan, pertimbangan dalam hal meringankan yang diberikan terdakwa Juliari belum pernah dijatuhi pidana.
Lebih lanjut, Juliari juga dalam meringankannya sudah cukup menderita dengan mendapatkan hinaan oleh masyarakat. Padahal, kata Majelis Hakim M. Damis bahwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," ucap Damis.
Selain itu, kata Damis, bahwa terdakwa Juliari juga selama menjalani 4 bulan persidangan hadir dengan tertib dan tidak pernah bertingkah dng macam-macam alasan yang akan mengakibatkan persidangan tidak lancar.
Selain pidana badan, Juliari harus membayar uang denda sebesar Rp500 juta, subsider enam bulan penjara.
Hakim juga menambah pidana terhadap terdakwa Juliari membayar uang pengganti Rp 14.597.450.000. Bila tak membayar keseluruhan uang pengganti maka akan mendapatkan tambahan pidana selama 2 tahun.
Kemudian, Hakim juga mencabut hak politik Juliari sebagai pejabat publik selama 4 tahun.