Suara.com - Pemerintahan pertama Taliban lebih dari 20 tahun yang lalu ditandai dengan kebrutalan terhadap perempuan seperti pemenggalan, hukuman rajam sampai mati, dan paksaan untuk mengenakan burka.
Setelah kelompok militan itu digulingkan dari kekuasaan, perempuan Afghanistan mengalami kemajuan - menjadi menteri, walikota, hakim, dan petugas polisi. Kini, mereka menghadapi ketidakpastian.
'Perlu perjuangan dan pengorbanan'
Jurnalis perempuan duduk bersama seorang pejabat tinggi untuk wawancara bukanlah berita di banyak tempat di dunia.
Namun mengingat riwayat penindasan brutal Taliban terhadap perempuan, banyak yang terkejut ketika salah satu pejabat tingginya, Mawlawi Abdulhaq Hemad, setuju untuk diwawancarai oleh penyiar Tolo News, Behesta Arghand.
Baca Juga: Cerita Perempuan yang Hidup saat Taliban Kuasai Afganistan Tahun 1999
Wawancara pada Selasa lalu (17/08) mematahkan tradisi lain: itu pertama kalinya seorang pemimpin Taliban melakukannya di studio televisi.
Namun meskipun Taliban telah menunjukkan berbagai kelonggaran, Arghand masih menyimpan keraguan.
"Mereka bilang, 'kami tidak punya masalah dengan perempuan Afghanistan. Kami mendukung pekerjaan mereka' ... Tetapi saya takut," ujarnya kepada BBC setelah wawancara tersebut.
Arghand mengatakan lingkungan di studionya di Kabul, dan kota itu sendiri, telah berubah.
Ia tak lagi bebas mengobrol dengan para tamunya tentang isu-isu kontroversial. Ia memilih kata-katanya dengan hati-hati.
Baca Juga: Singa Lembah Panjshir, Mujahidin Nyatakan Siap Perang Lawan Taliban
"Saat ini, mereka tidak menunjukkan reaksi tetapi kita harus waspada. Saya sangat waspada."
Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, Taliban memerintah Afghanistan dengan interpretasi kaku dari Syariah, atau hukum Islam, dan melarang televisi, musik, dan film.
Bertahun-tahun setelah mereka digulingkan, puluhan jaringan televisi dan lebih dari 170 stasiun radio FM didirikan.
Menyusul kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan, beberapa saluran televisi berhenti menayangkan pembaca berita perempuan dan bahkan mengganti acara-acara politik dengan diskusi tentang teologi Islam.
Namun karena tidak ada tindakan dari Taliban, banyak saluran televisi telah kembali ke jadwal normal.
Dalam konferensi pers baru-baru ini, Taliban - yang sekarang memerintah lebih dari 39 juta orang - bahkan mengatakan bahwa perempuan akan dibolehkan untuk bersekolah dan bekerja "di dalam kerangka hukum Islam".
Namun di banyak tempat, militan menghentikan perempuan yang pergi ke tempat kerja. Beberapa perempuan mengatakan kepada BBC bahwa mereka diam di rumah karena takut.
Arghand kembali bekerja karena ia merasa perlu ada di ruangan berita pada momen yang sangat penting ini.
"Saya berkata pada diri sendiri, pergilah... Ini waktu yang sangat penting bagi perempuan Afghanistan."
Dalam perjalanan ke kantor ia disetop oleh petempur Taliban yang bertanya mengapa ia bepergian sendiri dan tidak ditemani oleh kerabat laki-laki seperti yang diatur hukum Syariah.
"Kami tidak berada dalam situasi yang baik. Kami tahu ini tidak baik bagi perempuan Afghanistan. Harus ada perjuangan dan pengorbanan demi kepentingan generasi masa depan."
'Tidak seperti terakhir kali mereka berkuasa'
Seorang perempuan yang berprofesi sebagai ginekolog dan bekerja di rumah sakit di Kabul berkata kepada BBC pekerjaannya tidak terganggu oleh kekacauan politik.
"Saya pergi ke tempat kerja setelah tiga hari. Situasinya normal," kata sang dokter, yang tidak ingin disebut namanya.
Ia mengatakan Taliban telah mengumumkan bahwa dokter perempuan dapat terus bekerja di rumah sakit dan klinik pribadi mereka.
Sang dokter berkata di beberapa tempat Taliban secara aktif meminta orang-orang untuk kembali bekerja namun banyak orang masih belum datang ke tempat kerja karena merasa takut.
"Banyak dokter dan bidan tidak datang ke rumah sakit karena mereka takut dan tidak yakin dengan pengumuman Taliban."
Di banyak tempat di pedesaan Afghanistan, layanan kesehatan sangat minim atau tidak ada sama sekali.
Negara itu telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan jumlah perawat dan bidan demi mengurangi angka kematian ibu.
PBB mengatakan bahwa semua perempuan hamil dan ibu baru "berhak mengakses layanan kebidanan serta layanan kesehatan lainnya bagi ibu dan bayi yang baru lahir".
Dengan keadaan sekarang, sang ginekolog di Kabul merasa optimistis. Dalam perjalanan ke rumah sakit ia tidak melihat banyak orang di jalanan dan banyak toko masih tutup namun Taliban tidak menghentikannya mengecek pakaiannya.
"Ini tidak seperti terakhir kali mereka berkuasa. Ini sedikit lebih baik."
'Perempuan bukan bagian dari agenda'
Dari 250 kursi di parlemen Afghanistan, 27% disisihkan untuk perempuan, dan saat ini ada 69 perempuan yang menjadi anggota parlemen.
Namun tidak ada perempuan dalam hierarki Taliban dan belum jelas apakah mereka akan membentuk pemerintahan yang inklusif.
"Kami tidak tahu agenda mereka. Hal yang kami khawatirkan ialah mereka tidak pernah bicara tentang perempuan," kata seorang anggota parlemen perempuan, Farzhana Kochai.
Ia berkata pemerintahan tanpa perempuan tidak akan dipandang bertanggung jawab oleh komunitas internasional dan masyarakat sipil.
"Kami perempuan tidak boleh dihapus dari masyarakat. Kami harus melanjutkan pekerjaan kami dan mempertahankan diri kami di pemerintahan dan di tempat manapun yang kami mau."
Namun ia merasa sangat tidak nyaman dengan perubahan drastis yang telah ia saksikan, seperti lebih sedikit perempuan di jalanan, meskipun ia mengetahui bahwa beberapa perempuan kembali bekerja dan bersekolah.
"Tidak semua perempuan merasa takut dan mengunci diri di rumah," ujarnya.
"Namun perempuan berubah secara sosial, psikologi, dan politik. Banyak dari kami bersembunyi. Kami bahkan tidak bisa menggunakan media sosial, kami tidak bisa bekerja, kami tidak bisa keluar rumah.
"Perempuan membeli burka dalam jumlah besar di Kabul. Kami rindu melihat perempuan di layar televisi. Kami juga merindukan mereka di tempat lain."
Bahkan sebelum Taliban mengambil alih, Kochai menghadapi ancaman dari kelompok bersenjata. Banyak politikus perempuan yang kritis terhadap ekstremisme kini bersembunyi.
Zarifa Ghafari, yang merupakan walikota termuda di Afghanistan ketika ia ditunjuk pada usia 26 tahun, bahkan mengatakan ia menunggu Taliban membunuhnya.
"Saya duduk di sini menunggu kedatangan mereka. Tidak ada yang bisa menolong saya atau keluarga saya. Saya duduk bersama mereka dan suami saya. Dan mereka akan mendatangi orang-orang seperti saya dan membunuh saya," kata Zarifa kepada surat kabar online Inggris, The Independent.
'Saya tidak percaya mereka'
Hal yang dikatakan Taliban tentang hak-hak perempuan dan hal yang mereka lakukan dalam praktiknya adalah dua hal berbeda, menurut guru dan pegiat HAM di Afghanistan, Pashtana Durrani.
Perempuan itu mengatakan kepada BBC bahwa ia meminta kejelasan tentang hak-hak apa saja yang diterima oleh kelompok Islamis itu, yang di masa lalu memaksa perempuan mengenakan burka dan tidak mengizinkan anak perempuan berusia 10 tahun ke atas bersekolah.
Durrani berkata ia harus bersuara meskipun mengkhawatirkan keselamatan nyawanya.
"Saya harus melawan sekarang, sehingga generasi mendatang tidak harus menghadapi semua konflik ini."
Durrani mengatakan sikap kepemimpinan Taliban tentang hak-hak perempuan tidak jelas, namun pasukannya di lapangan bertindak seperti yang sudah diduga dalam beberapa hari terakhir.
"Anak-anak perempuan di Herat, mereka tidak bisa pergi ke universitas; perempuan di Kandahar, mereka disuruh pulang dan meminta saudara laki-laki mereka mengisi posisi mereka di bank.
"Jadi... mereka [Taliban] menginginkan legitimasi dari negara-negara lain, untuk diterima sebagai pemerintahan Afghanistan yang sah, namun pada saat yang sama, apa yang mereka lakukan dalam praktiknya?
"Entah mereka a) tidak bisa mengendalikan pasukan di lapangan, atau b) mereka sangat menginginkan legitimasi tetapi tidak mau berusaha. Itu dua hal yang berbeda."
Durrani juga mempertanyakan apa yang dimaksud Taliban ketika berbicara tentang "hak-hak perempuan".
"Apakah yang mereka maksud hak mobilitas, hak bersosialisasi, hak politik, hak representasi, atau hak memilih?" ia bertanya.
Jerman telah mengancam akan menghentikan semua bantuan ke Afghanistan jika hak-hak perempuan tidak dilindungi.
Beberapa analis mengatakan Taliban akan memberi lebih banyak kebebasan kepada perempuan untuk memenangkah hati para pemimpin dunia.
Durrani, yang menerima penghargaan Malala Fund Education Champion atas pekerjaannya, percaya anak-anak perempuan harus mengandalkan internet untuk pendidikan jika Taliban melarang anak perempuan pergi ke sekolah.
Ia khawatir kelompok militan akan mengubah mata pelajaran di sekolah.
"Dapatkah anak-anak perempuan terus mempelajari kurikulum umum atau hanya pelajaran agama Islam yang memang dipelajari oleh semua warga Afghanistan?" ia bertanya.
"Saya tidak percaya mereka dalam hal itu."
'Saya hanya ingin bebas'
Seorang perempuan muda yang tinggal di Kabul dan berprofesi sebagai pengusaha juga tidak percaya janji-janji Taliban. Ia menggunakan nama samaran Azada untuk melindungi identitasnya,
"Azada berarti seseorang yang bebas. Yang saya inginkan saat ini hanyalah kebebasan. Karena itu saya memilih nama ini."
Ia takut pada pemimpin baru negaranya, meminta satu hal sederhana:
"Saya ingin pemerintahan baru yang melibatkan seluruh warga Afghanistan. Saya ingin Taliban, kelompok perlawanan, kelompok biasa, orang dari semua agama. Jika ini terjadi kita akan punya negara baru dan masa depan baru. Bahkan masa depan yang lebih cerah.
Namun kenyataan tidak semanis harapan.
Ia telah kehilangan kebebasan ekonominya karena usahanya ditutup dan meskipun banyak perempuan keluar dari Afghanistan, Azada berkata ia tak bisa melakukannya.
Kenangan tentang Taliban di masa lalu menghantuinya - ia berkata mereka dahulu berperilaku agresif terhadap perempuan dan ia tidak mengharapkan perilaku yang lebih baik sekarang.
"Mereka tidak mengganti pakaian mereka, rambut mereka, atau janggut mereka, bagaimana bisa mereka mengubah pemikiran mereka? Saya tidak percaya rumor seperti itu," ia menjelaskan.
Ia memprediksi jika Taliban tidak melibatkan perempuan dan orang-orang dari etnis berbeda, akan ada siklus kekerasan baru.
"Akan ada peperangan. Jika kita tidak melawan, kita tidak akan bertahan. Saya akan menjadi salah satu dari mereka [yang melawan].
"Saya mungkin akan kehilangan nyawa. Itu tidak apa-apa. Saya harus berani. Saya tidak bisa kabur dari Afghanistan. Ini satu-satunya pilihan."