Suara.com - Afganistan dikhawatirkan kembali menjadi kawah candradimuka bagi jaringan teroris internasional, setelah Taliban kembali menguasai negara tersebut.
Para analis menilai, ada kemungkinan Afganistan menjadi sarang jaringan sel teroris, terutama Al Qaeda dan ISIS.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden sendiri mengklaim, fokus pemerintahannya kekinian adalah menjaga keamanan dalam negeri setelah menarik pasukan dari Afganistan yang menyebabkan Taliban kembali berkuasa.
"Satu-satunya kepentingan kita yang paling vital di Afganistan tetap tidak berubah," kata dia dalam sebuah pidato, Senin (16/08) lalu, "yakni untuk mencegah serangan teror di negara kita."
Baca Juga: Viral Video Diduga Gadis Afghanistan Sesenggukan Meminta Tolong ke Tentara Amerika
Pandangannya, bahwa perang melawan teror bisa dimenangkan tanpa kehadiran pasukan AS di Afganistan, tidak diamini oleh sebagian warga.
"Kita kembali ke sebuah negara seperti yang berdiri sebelum tahun 2001 (invasi AS)," kata anggota Kongres dari Partai Republik, Michael McCaul, "artinya, kembali sebagai wadah kelahiran terorisme."
Kekhawatiran serupa dilayangkan Jendral Mark Milley, Kepala Staf Gabungan, yang memprediksi kembalinya al-Qaeda atau Islamic State ke Afganistan.
Afganistan sebagai tempat persembunyian teroris?
Potensi kebangkitan kedua kelompok teror ditaksir cukup signifikan, terutama menurut pakar terorisme, Daniel Byman, dalam sebuah editorialnya di jurnal politik, Foreign Affairs.
Baca Juga: Demo Imigran Afghanistan di Jakarta Dibubarkan Polisi, 10 Anak Diamankan
Menurutnya, perang melawan terorisme akan semakin sulit dengan hengkangnya militer AS dari Afganistan.
Namun demikian, dia meragukan bahwa negeri di Hindukush itu bisa kembali menjadi tempat persembunyian jaringan teroris internasional.
Untuk itu, Al Qaeda dinilai masih terlalu lemah dan ISIS sejak awal sudah bermusuhan dengan Taliban.
Selain itu, para Talib diyakini belajar dari kesalahan di masa lalu dan tidak ingin menciptakan alasan baru bagi invasi negara asing.
"Mereka tidak ingin dianggap sebagai sarang penyamun dan sebaliknya ingin mendapat pengakuan formal dari dunia internasional," kata pakar Asia Selatan, Christian Wagner, dari Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Politik (SWP) di Berlin, Jerman.
Dia meyakini kelompok teroris tidak akan lagi bisa berkeliaran dengan bebas di Afganistan. Wagner mengingatkan, selama masa kekuasaan Taliban di Afganistan antara 1996 hingga 2001, hanya tiga negara yang mengakui "Emirat Islam Afganistan" yakni Pakistan, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
"Taliban memahami pengakuan luas hanya bisa didapat dengan kebijakan yang sesuai, antara lain seputar hubungan dengan kelompok teror."
Taliban dalam pantauan dunia internasional Tidak cuma Barat yang mengkhawatirkan nasib Afganistan pascainvasi Taliban, Rusia dan Cina pun giat melobi penguasa Kabul secara dini untuk menjamin kepentingan masing-masing.
Saat ini pemerintah Iran pun dikabarkan sudah menjalin kontak dengan kelompok Islamis tersebut. Ketiga negara tetangga bersikeras tidak ingin lagi melihat Afganistan kembali menjadi ladang terorisme.
Hal ini boleh jadi mendapat catatan tebal oleh Taliban. Sebaliknya Amerika Serikat tidak sepenuhnya bergantung pada Taliban dalam upaya meredam geliat terorisme.
Menurut Daniel Byman, militer AS memiliki kapasitas untuk memantau perkembangan kelompok teror di Afganistan dari jarak jauh.
"Militer AS sedang mempertimbangkan untuk menggunakan pangkalan udara di luar Afganistan untuk menyerang kamp-kamp al-Qaeda atau menurunkan pasukan darat, jika diperlukan."
Beda antara ISIS dan Al Qaeda
Meski begitu, hubungan antara Taliban dan al-Qaeda diyakini tetap erat, kata Edmund Fitton-Brown, kepala sebuah misi PBB untuk memonitor Islamic State, Al Qaeda, dan Taliban, pada Oktober silam.
"Kami meyakini bahwa pemimpin al-Qaeda berada di bawah perlindungan Taliban," katanya kepada stasiun televisi AS, NBC.
Situasi kontras dialami Islamic State di Afganistan yang belum lama ini mendeklarasikan berdirinya ISIS di Provinsi Chorasan.
Kelompok yang dulu menginvasi Irak dan Suriah itu mengalami "kekalahan telak," seperti tertulis dalam laporan untuk Dewan Keamanan PBB pada Mei 2020 lalu.
"Kekuatan Taliban ikut menyumbang kekalahan ini terhadap IS."
Pada prinspinya, ISIS dan Al Qaeda memiliki sasaran yang berbeda dengan Taliban. Jika operasi para Talib terbatas di wilayah Afganistan, kedua kelompok cenderung aktif di luar negeri.
"Perbedaan ini membebani hubungan Taliban dan ISIS," kata Wagner.
ISIS banyak mencibir Taliban yang dituduh lebih mementingkan Afganistan ketimbang perluasan Islam di dunia.
Al Qaeda pun mengikuti panggilan yang sama, meski menghindari ketegangan dengan Taliban.
"Kedua kelompok saling berkaitan lewat pengalaman bertempur di Afganistan. Dalam sejumlah kasus, kedua kelompok sulit dibedakan," kata Wagner lagi.
Hal ini diyakini akan mempersulit Taliban menjauhkan kelompok teror dari pusat kekuasaan di Kabul.
"Semuanya bergantung pada hubungan pribadi antara individu."