Suara.com - Peluh keringatnya bercucuran di badan, belum lagi napasnya yang sengal-sengal karena seluruh tubuh mulai dari kepala hingga kaki tertutup dengan kustom badut berwarna pink. Keberadaan badut jalanan ini kerap ,marak dijumpai di jalanan Ibu Kota, apalagi di masa pandemi Covid-19.
Pergantian lampu rambu lalu lintas berwarna hijau menjadi petanda bagi Kiki (20) untuk kembali beranjak dari duduknya di pinggir trotoar lalu lintas Jalan Antasari, Kemang, Jakarta Selatan. Sambil menggendong anak, Kiki lalu mengangkat kepala kostum badut dan memakainya.
Lengkap dengan kaleng yang sudah dikalungkan, Kiki menghampiri tiap kendaraan yang sudah mengantre di lampu lalu lintas, berharap mendapatkan uang berapapun jumlahnya.
Begitu lampu lalin menjadi warna merah, kembali ia duduk di trotoar. Lalu, ia membuka lagi kostum boneka bagian kepala dan dilanjut mengambil minuman warna merah dibungkus plastik yang disenderkan di tembok jalan.
Baca Juga: Pandemi Covid-19 Berdampak Pada Intervensi Penurunan Stunting di Indonesia
Dahaga langsung hilang setelah menyeruput minuman itu usai sekitar 3 menit berkeliling mengharap uang dari tiap pengendara. Kadang ada yang memberinya Rp2-Rp5 ribu, kadang hanya lambaian tangan.
Bahkan ada juga pengendara mobil yang tak memberi respons dengan kaca tertutup.
Ajak Anak Mengemis
Ketika matahari mulai redup di sore hari, Kiki sudah mengenakan pakaian boneka dan turun ke jalan. Biasanya ia menjadi badut jalanan sampai menjelang malam.
Ia ditemani anaknya bernama Hafid yang baru berusia 1 tahun lebih. Digendong putranya itu selama menjadi badut jalanan berharap ia tak menangis.
Baca Juga: Bukan dari Laboratorium, Peneliti Temukan Skenario Asal Usul Virus Corona
"Kalau (Hafid) nangis ya repot juga, kita kasih apa kek mainan biar diam. Kalau ada minum juga bisa," ujar Kiki.
Hafidh saat ditemui Suara.com masih memegang piringan kaset DVD bekas. Ia terlihat senang memainkannya dengan dua tangannya yang kecil itu.
Kadang piringan itu terjatuh ke tanah beberapa kali. Membuat Kiki repot harus membungkuk sambil menggendong dan memakai kostum boneka.
"Jangan di-jatuhin terus dong, adek," kata Kiki.
Menjadi badut jalanan sudah menjadi kerjaan Kiki setiap harinya, termasuk saat ditemui di tanggal 17 Agustus 2021, bertepatan momen hari Kemerdekaan ke-76 RI. Namun baginya, hari ulang tahun NKRI yang tiap tahun dirayakan di seluruh daerah itu tak berarti apa-apa.
"Yah, mau hari kemerdekaan kek, apa kek, begini-begini aja," tutur Kiki.
Sudah sejak kecil ia menganggap tanggal 17 Agustus adalah warna tanggalan hitam, seperti hari biasa. Dari usia sekitar 10 tahun pria asli Jakarta ini sudah putus sekolah.
Ia enggan menceritakan orang tuanya, namun dia kadang suka kerja serabutan ikut saudara atau kenalan kerja apapun. Beberapa tahun terakhir dia sudah bekerja sebagai sopir angkot gelap di kawasan Ciganjur.
Baru empat bulan belakangan ini ia menjadi badut jalanan setelah diajak oleh rekannya sesama sopir angkot. Alasannya, menjadi sopir tidak bisa menutupi kebutuhannya sehari-hari terlebih di masa pandemi Covid-19 ini.
Setelah pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat, pemasukannya menurun drastis di bawah 50 ribu setiap hari. Dengan menjadi badut jalanan, ia bisa mendapatkan hampir dua kali lipat.
"Lagi banyak yang ngasih (uang), ya bisa Rp100 ribu, bisa Rp50 ribu kalau sepi," katanya menjelaskan pemasukannya.
Anaknya Hafid adalah hasil nikah siri dengan wanita yang sekarang berusia 17 tahun. Ia tak melegalkannya di Kantor Urusan Agama (KUA) karena merasa bukan prioritas.
"Enggak sempet juga, lagian sama aja juga," jawab Kiki.
Sepi Bantuan Pemerintah
Baginya negara merdeka yang sudah bisa berdiri mandiri haruslah hadir bagi rakyat. Namun ia tak merasakan adanya uluran tangan dalam bentuk apapun selama 20 tahun hidupnya.
Bahkan di masa PSBB hingga PPKM sekarang, tak pernah ia rasakan bantuan sosial dalam bentuk tunai ataupun sembako. Wajar baginya, ia tak punya KTP ataupun Kartu Keluarga (KK).
Selama empat bulan menjadi badut jalanan, Kiki sudah tiga kali ditangkap Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Kalau kejar-kejaran, sudah tak lagi dihitungnya.
Setiap tertangkap, ia dibawa ke gelanggang olahraga atau panti sosial untuk sementara. Biasanya hanya didata, menginap sehari, dapat makan, lalu pulang.
Berulang kali ia sudah mengeluh tak punya KTP dan KK kepada petugas yang mendatanya, tapi tak kunjung ada solusi.
Ia memang mengakui bisa saja langsung mendatangi kantor setempat. Tapi pilihannya selalu mencari uang dari pada mengurus hal yang administratif.
"Enggak kerja seharian gitu kan kerasa. Anak kasih makan apa, istri juga," katanya.
Biasanya, Kiki mangkal menjadi badut jalanan di Jalan Antasari arah ke TB Simatupang. Sementara di belokan sebelahnya di arah Kemang, ada juga badut jalanan sepertinya.
Tak Ada Biaya Sekolahkan Anak
Namanya Ridho (27). Sama dengan Kiki, Ridho juga membawa anak perempuannya yang bernama Rani usia 6 tahun.
Ridho yang memakai kostum boneka beruang warna cokelat ini keliling meminta uang sambil menggandeng Rani.
Di momen kemerdekaan itu, Ridho berharap Rani tak menjadi seperti dirinya. Namun apa daya, penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari bersama istrinya di rumah.
"Pengin emang sekolahin anak, kalau ada duit lebih kadang ditabung, eh kepakai juga buat bayar kontrakan," kata Ridho sambil beristirahat di trotoar jalan.
Pada 17 Agustus itu, daerah tempatnya tinggal mengadakan lomba kecil-kecilan memperingati HUT RI.
Sebenarnya ia ingin anaknya ikut agar tak melulu merasakan debu jalanan sambil mengharap uang. Namun, saat itu istrinya sedang sakit dan ia harus menjadi badut jalanan. Akhirnya Rani dibawanya ikut turun ke jalan.
Ia mengaku bangga karena anaknya tak mengeluh memaksa ingin ikut lomba ketimbang menemaninya.
"Dia emang maunya di-temenin saya juga sih. Gak rewel tahu ada lomba di rumah," jelasnya.
Di sisi lain, ia memang sudah sering mengajak anaknya itu untuk ikut bekerja.
"Emang lebih banyak sih orang ngasih (uang) kalau sama anak, he he," tuturnya sambil tertawa malu.
Kendati demikian, ia berharap kondisi ini tak berlangsung lama. Jika memang ada peringatan kemerdekaan Indonesia, Ridho bilang seharusnya pemerintah juga memerhatikan rakyat kecil seperti dirinya.
"Sekarang sudah makin susah, tambah susah. Ngapain mikirin kemerdekaan. Saya aja masih susah. Enggak tahu lah," katanya.
Gencar Razia
Menanggapi situasi sulit yang dialami keduanya itu, Kasie Rehabilitasi Tuna Sosial dan Korban Tindak Kekerasan Dinas Sosial DKI Jakarta, Dahru mengatakan pihaknya sudah rutin melakukan penjangkauan atau razia.
Mulai dari manusia silver, badut jalanan, pengemis, manusia gerobak, dan lainnya yang tergolong Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) sudah berulang kali ditertibkan.
"Kita kedepankan tindakan persuasif mengingat, tingginya angka Covid-19 di bulan Juni sampai dengan Agustus saat ini," ujar Dahru saat dihubungi.
Jika ada badut jalanan dan sejenisnya, mereka akan dibawa ke GOR untuk didata. Apabila memiliki tempat tinggal di Jakarta, maka akan dikembalikan. Namun jika tak punya, maka akan ditempatkan di panti dinas sosial.
Lantaran setelah dilepas tertangkap lagi ketika sedang jadi badut jalanan, akan ditempatkan dipanti maksimal tiga hari, begitu seterusnya. Belum ada solusi jelas untuk menjawab masalah yang dialami oleh Ridho, Kiki dan lainnya.
"Kita ajak dialog. Kita minta secara baik-baik agar mereka pulang dan tidak lagi di jalan. Kita juga selalu monitor secara berkala tempat-tempat yang rawan PMKS," ucapnya.
"Jika sangat terpaksa, Jika ada laporan dari masyarakat yang meresahkan. Kondisinya saat ini tidak kita langsung bawa ke panti. Tapi kita swab dulu, jika positif kita rujuk ke puskesmas sesuai alur untuk isoman," tambahnya menjelaskan.
Ridho akhirnya menganggap petugas yang mewakili nama negara ini sebagai sosok yang tidak bersahabat. Kalau tertangkap hanya didata, untung dapat makan, tapi tak bekerja seharian hingga tiga hari.
"Lagi-lagi jadinya gak ada duit tuh seharian," jelas Ridho.
Padahal Ridho berharap ada solusi seperti lapangan pekerjaan yang lebih menjanjikan buatnya, tidak hanya sekadar didata.
"Kalau didata doang udah banyak nama saya kali, ha ha ha," katanya tertawa kecil.
Menjelang gelap, kaleng uangnya baru terisi setengah, kebanyakan uang Rp2 ribu. Ridho yang sudah sekitar 3 jam memakai kostum masih menunggu lampu kembali merah.
Begitu kendaraan mulai berhenti, Ridho yang sudah lelah ditarik oleh tangan kecil Rani yang sadar sudah waktunya mengelilingi kendaraan.
Sambil melambaikan tangan ke arah pengendara, ia hanya menyadari keesokan harinya masih sama. Ia harus mengulangi terus menjadi badut jalanan yang ceria dengan beban berat di punggungnya.
Harapannya, hanya puterinya itu bisa terbebas dari kondisi ini. Tak ikut terjebak dalam kostum boneka, tak merasa merdeka menjadi badut jalanan.