Suara.com - Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengkritisi pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, yang menyebut salah satu faktor yang meringankan hukuman mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara, karena menjadi korban hinaan masyarakat.
Boyamin mengatakan, hal tersebut tidak seharusnya menjadi bahan pertimbangan, karena menurutnya semua pelaku korupsi tentunya mendapatkan cacian dan hinaan dari masyarakat.
“Saya juga mengkritisi alasan itu bahwa Juliari sudah di-bully (perundungan), ya semua koruptor di-bully. Jadi mestinya tidak perlu pertimbangan itu untuk meringankan. Hal yang meringankan itu ya bahwa dia belum pernah dihukum dan menjadi kepala keluarga, itu saja cukup,” kata Boyamin saat dihubungi Suara.com, Senin (23/8/2021).
Boyamin pun lantas membanding kasus yang dialami oleh mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, terpidana korupsi E-KTP. Kata dia mantan politisi Gorkar itu juga menjadi bahan cacian masyarakat.
Baca Juga: Caci Maki Masyarakat jadi Hal Meringankan Hakim Vonis Juliari, Saut: Negeri Ini Makin Lucu
“Apakah dulu Setya Novanto di-bully, jadi faktor meringankan? kan enggak juga,” kata Boyamin.
Di samping itu, terkait vonis 12 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Juliari atas korupsi Bansos Covid-19, menurut Boyamin belum menjawab rasa keadilan masyarakat.
Dia pun lantas menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pihak yang paling bertanggung jawab.
“Apapun, tetap kesalahan KPK karena tidak berani menuntut seumur hidup. Jadinya akhirnya hakimnya memutus di atas 1 tahun (dari tuntutan Jaksa KPK yakni 11 tahun). Mestinya KPK berani menuntut seumur hidup karena pasalnya memungkinkan."
Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis sebelumnya telah memvonis Juliari dengan hukuman 12 tahun penjara. Majelis hakim pun membeberkan hal-hal yang menjadi pertimbangan terhadap vonis 12 tahun penjara Juliari.
Baca Juga: Cacian Masyarakat jadi Pertimbangan Hakim, Pukat UGM: Konsekuensi dari Kejahatan Juliari
Adapun hal memberatkan yang disampaikan hakim bahwa terdakwa Juliari tidak berjiwa kesatria untuk mengakui perbuatannya dalam korupsi bansos.
"Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak ksatria, ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya," ucap hakim Muhammad Damis di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (23/8/2021).
Selain itu, majelis hakim juga menyatakan bahwa perbuatan terdakwa dilakukan dalam keadaan darurat bencana nonalam yaitu wabah Covid-19. Sedangkan, pertimbangan dalam hal meringankan yang diberikan terdakwa Juliari belum pernah dijatuhi pidana.
Lebih lanjut, Juliari juga dalam meringankannya sudah cukup menderita dengan mendapatkan hinaan oleh masyarakat. Padahal, kata Majelis Hakim M. Damis bahwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," ucap Damis.
Selain itu, kata Damis, bahwa terdakwa Juliari juga selama menjalani 4 bulan persidangan hadir dengan tertib dan tidak pernah bertingkah dng macam-macam alasan yang akan mengakibatkan persidangan tidak lancar.
"Padahal selain sidang untuk dirinya sendiri selaku terdakwa, terdakwa juga harus hadir sebagai saksi dalam perkara Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso," tutup Damis.
Selain pidana badan, Juliari harus membayar uang denda sebesar Rp500 juta, subsider enam bulan penjara.
Hakim juga menambah pidana terhadap terdakwa Juliari membayar uang pengganti Rp14.597.450.000. Bila tak membayar keseluruhan uang pengganti maka akan mendapatkan tambahan pidana selama 2 tahun.
Kemudian, Hakim juga mencabut hak politik Juliari sebagai pejabat publik selama 4 tahun.