Ini Isi Kesepakatan Taliban dan Trump, Jadi Kunci Kuasai Kembali Afganistan

Reza GunadhaBBC Suara.Com
Jum'at, 20 Agustus 2021 | 18:46 WIB
Ini Isi Kesepakatan Taliban dan Trump, Jadi Kunci Kuasai Kembali Afganistan
Presiden Amerika Serikat Donald Trump. [BBC]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Taliban secara cepat kilat menguasai kembali Afganistan, begitu tentara asing terutama Amerika Serikat, angkat kaki dari negeri tersebut.

Lantas, mengapa Amerika Serikat sepakat meninggalkan negara itu setelah 20 tahun berperang?

Pada 2001, NATO memaksa Taliban keluar dari Kabul setelah serangan 11 September di New York dan Washington.

Namun hampir dua dekade kemudian, para pemimpin kelompok militan itu kembali ke ibu kota Afghanistan.

Baca Juga: Taliban Menyiksa dan Membantai Warga Etnis Hazara yang Bermazhab Syiah

Mereka dengan senang berswafoto di dalam istana presiden setelah hampir seluruh wilayah negara itu di bawah kendali mereka.

Apa yang barangkali paling mengejutkan adalah bukanlah kekalahan militer yang menjadi malapetaka bagi AS dan sekutu NATO-nya sehingga membalikkan semuanya, tetapi kesepakatan damai yang dinegosiasikan secara hati-hati.

Apa yang menyebabkan kesepakatan yang ditandatangani Presiden Donald Trump dan dilaksanakan oleh penggantinya, Joe Biden, dinilai sebagai kesalahan fatal?

Mengapa AS menginginkan kesepakatan dengan Taliban?

Sehari setelah Menara Kembar World Trade Center runtuh, presiden AS saat itu George W Bush berjanji "pertempuran ini akan memakan waktu dan menjadi landasan tekad, tetapi jangan salah, kami akan memenangkannya".

Kenyataannya, AS tidak sepenuhnya meraih kemenangan secara militer terhadap Taliban.

Baca Juga: Klaim Hargai Hak Wanita, Taliban Diduga Bunuh Seorang Perempuan Gegara Tak Pakai Burka

Walaupun kelompok ini, yang menampung anggota kelompok militan al-Qaeda yang bertanggung jawab atas serangan 11 September, dengan cepat diusir keluar dari perkotaan dengan intervensi NATO, mereka menghabiskan beberapa tahun guna menyusun kekuatan kembali.

Dan pada 2004, kelompok Taliban berada dalam posisi untuk melancarkan pemberontakan terhadap pasukan Barat dan pemerintahan Afghanistan yang baru.

Menanggapi meningkatnya jumlah serangan, presiden AS yang baru saat itu, Barack Obama, meluncurkan "gelombang serangan" pada 2009, secara besar-besaran dengan meningkatkan jumlah pasukan NATO di negara itu, mencapai 140.000 pada puncaknya.

Aksi ini membantu untuk menekan Taliban sekali lagi, tetapi sedikit dampaknya untuk jangka panjang.

Ketika konflik tersebut menjadi perang terlama bagi AS, yang merugikan negara sekitar US$978 miliar dan mengakibatkan lebih dari 2.300 tewas, perang ini menjadi semakin tidak populer di mata warga AS dan seruan untuk mengakhiri keterlibatan mereka semakin kencang.

Sementara jumlah tentara AS yang terbunuh setiap tahun relatif rendah setelah mereka secara resmi mengubah peran dalam bentuk pelatihan pada 2014, Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani mengatakan pada 2019 bahwa "lebih dari 45.000 personel keamanan Afghanistan telah membayar pengorbanan terakhir" dalam lima tahun sebelumnya.

Menghadapi situasi ini, penerus Obama, Donald Trump, mulai mengintensifkan negosiasi dengan Taliban, dengan menandatangani kesepakatan pada Februari 2020.

Keputusan itu merupakan sesuatu yang menyenangkan baginya untuk dibicarakan menjelang pemilihan presiden tahun itu.

"Omong-omong, kami sebagian besar berada di luar Afghanistan, seperti yang mungkin Anda ketahui," kata Trump kepada Axios news saat itu.

"Kami sudah di sana (Afghanistan) selama 19 tahun. Kami akan keluar."

Apa yang menjadi kesepakatan?

AS sepakat untuk menarik sisa-sisa pasukannya dari Afghanistan dan Taliban mengatakan tidak akan membiarkan al-Qaeda atau kelompok ekstremis lainnya beroperasi di wilayah yang mereka kuasai.

Ia juga menyatakan bahwa 5.000 tahanan Taliban akan ditukar dengan 1.000 tawanan pasukan keamanan Afghanistan dan sanksi terhadap kelompok militan Islam akan dicabut.

Perjanjian tersebut hanya melibatkan AS dan Taliban, dengan rencana bahwa Taliban akan bernegosiasi dengan pemerintah Afghanistan setelahnya untuk menentukan bagaimana dan oleh siapa negara itu akan diperintah di masa depan.

Pasukan keamanan Afghanistan - dilatih dengan biaya US$88,32 miliar dan secara teori berjumlah lebih dari 300.000 tentara, akan ditempatkan untuk menjaga situasi saat pembicaraan berlangsung.

"Kesepakatan luar biasa"

Presiden Trump - yang menggambarkannya sebagai "kesepakatan luar biasa" seperti diutarakan kepada penasihat keamanan nasional, John Bolton - mengatakan secara terbuka bahwa rencana itu memiliki "peluang untuk menjadi sangat bagus".

AS pertama kali mulai menarik pasukan di bawah Trump. Pembicaraan tatap muka antara Taliban dan pemerintah Afghanistan dimulai pada September, tetapi kesepakatan tampaknya tidak pernah tercapai sepenuhnya.

Kendatipun tidak ada kemajuan, para penentang Taliban tetap optimis bahwa kesepakatan itu tidak akan berujung kepada malapetaka.

"Ini bukan Vietnam," kata presiden Afghanistan kepada BBC pada Februari. "Ini bukanlah pemerintahan yang tengah kolaps."

Pada bulan Juli, juru bicara Taliban mengklaim "meskipun kami berada di atas angin di medan perang, kami sangat serius mengenai perundingan dan dialog".

Mungkin lebih tepatnya bahwa mereka sudah merebut 10 ibu kota provinsi dalam tujuh hari pada waktu itu.

Presiden AS saat ini Joe Biden - yang meskipun tidak setuju dengan Trump pada hampir setiap kebijakan lainnya - melanjutkan untuk menerapkan kesepakatan pendahulunya.

Kepada pers bulan lalu, Biden mengatakan tidak akan "mengirim generasi Amerika lainnya ke perang di Afghanistan tanpa harapan yang masuk akal untuk mencapai hasil yang berbeda".

"Tentang prospek Taliban bakal menguasai segalanya dan menguasai seluruh negeri, itu sangat tidak mungkin," tambah Biden.

Dan terlepas dari kejadian beberapa hari terakhir, agaknya Presiden Biden telah terjebak dengan keputusannya.

"Jika ada, perkembangan minggu lalu memperkuat bahwa mengakhiri keterlibatan militer AS di Afghanistan sekarang adalah keputusan yang tepat," katanya Senin (16/08) lalu.

Tapi bagi banyak orang, pandangan pemimpin Taliban Mohammad Abbas Stanikzai saat berbicara di ruangan besar sebuah hotel mewah setelah menandatangani kesepakatan dengan adi daya militer terkuat di dunia akhir September lalu, akan lebih mendekati kenyataan.

"Tidak ada keraguan kami telah memenangkan peperangan," katanya. "Tidak ada keraguan sama-sekali."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI