Suara.com - "Kalau ada yang bertanya orang Papua nasionalis atau tidak? Sebenarnya orang Papua itu nasionalis, orangnya, hatinya terbuka. Dia (orang Papua) tidak perlu dipaksakan."
Kalimat itu terlontar dari mulut Ambrosius Mulait, eks Tahanan Politik Papua sekaligus mahasiswa yang kerap aktif menyuarakan isu-isu mengenai Papua. Ia merupakan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia.
Awal cerita dimulai dari suguhan dua cawan kopi ketika saya sambangi Ambros di tempat yang disebutnya sebagai rumah singgah di Kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (18/8/2021) atau sehari setelah peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-76.
Ngomong-ngomong soal kemerdekaan kata Ambros, orang-orang Papua selalu terkesan dipaksakan untuk ikut merayakan Kemerdekaan Indonesia. Semua terlihat setiap menjelang tanggal 17 Agustus.
Baca Juga: Baku Tembak di Ilaga, TPNPB-OPM Sebut TNI-Polri Telah Bakar Rumah-rumah Warga
"Jadi seperti Indonesia hadir itu ketika ada momentum ada 17 Agustus saja. Jadi menjelang 17 Agustus sudah ada pembagian bendera," kata Ambros seraya menyalakan satu batang rokoknya.
Ambros menyampaikan, bendera beserta tiang-tiangnya ada di setiap rumah-rumah warga serta sejumlah sudut jalan Papua karena memang dipasang bukan atas kehendak rakyat melainkan aparat. Tak hanya itu, bahkan aparat disebut masuk ke area Gereja untuk memasang sang Merah-Putih.
Respons orang asli Papua sendiri terhadap hari kemerdekaan Indonesia disebut biasa-biasa saja. Ambros mengatakan, mereka baru mau mengikuti kegiatan hari kemerdekaan itu pun kalau aparat datang membawa bantuan lalu sekedar formalitas melakukan foto serta mengeluarkan pernyataan sikap.
"Lalu muncul pertanyaan 'kenapa setiap tujuh belasan orang-orang Papua di Kantor-kantor tetap merayakan hari kemerdekaan?' saya jawab itu mereka kan terikat oleh sistem tapi kepribadiannya tidak seperti," tuturnya.
Bagi Ambros secara idealismenya sulit untuk dia bisa ikut merayakan hari kemerdekaan RI. Pasalnya, ia hanya menganggap hari kemerdekaan Indonesia tak lebih dari sekedar seremonial belaka.
Baca Juga: Cara Daftar Pertandingan E-Sport PON XX 2021, Terbuka untuk Umum
1 Desember baginya merupakan hari kemerdekaan sesungguhnya. Biasanya bertepatan dengan hari itu ia dan kawan-kawan menggelar aksi turun ke jalan. Kata dia, represi menjadi hal pasti yang diterima ketika aksi dilakukan.
Terkadang memang tak melulu harus turun ke jalan, sebagian warga merayakan 1 Desember dengan melakukan ibadah puasa.
Masih berkaitan dengan kemerdekaan, sambil menyulut api ke batang rokok kedua, satu-dua meneguk kopi yang tersedia, Ambros melanjutkan ceritanya. Ia bilang orang-orang Papua hingga 76 Indonesia merdeka tidak punya ruang demokrasi.
Bukan baru terjadi kemarin sore. Ambros menyebut hal itu sudah terjadi dan diawali sejak adanya perjanjian New York 15 Agustus 1962 berlanjut kepada Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA).
"Jadi hal-hal itu bisa menggambarkan rasa nasionalisme orang Papua terus rasa memiliki 17 Agustus dipertanyakan. Karena bukan karena kami jengkel atau kami ingin merdeka, tidak. Tapi dari sejarah sudah menjelaskan," kata Ambros.
Dalam konteks kekinian, Ambros mengaku dilema dengan demokrasi di Indonesia. Bukan apa-apa dia bilang, baru saja akan menggelar diskusi, melakukan aksi kemudian langsung dituduh sebagai separatis dan dan teroris bahkan mendapatkan perlakuan represi.
Baru-baru ini sejumlah pihak menggelar aksi di berbagai wilayah seperti di Manokwari, Jaya Pura, Sorong, Ambon, Malang, Surabaya dan Makassar. Mereka coba menyampaikan aspirasi menuntut pembebasan Victor Yeimo dan mendeklarasikan hari rasisme dan refleksi dua tahun rasisme yang terjadi di Surabaya dan Malang pada 2019 lalu.
Namun, kata dia, apa yang teman-teman Papua dapatkan justru bukan aspirasi yang didengar, malah tindakan represi yang diterima. Sejumlah orang disebutkan Ambros mengalami luka-luka --kepala pecah bahkan ada yang ditembak-- akibat perlakuan represif aparat.
Belum lagi, dirinya lanjut bercerita soal pengalamannya melakukan aksi di Jakarta. Beberapa waktu lalu ia bersama teman-teman mahasiswa Papua melakukan aksi tolak RUU Otonomi Khusus Jilid II, namun ia menyebut aksi tersebut dibubarkan.
Ia mengatakan, aparat terkesan selalu mengerahkan milisi berupa organisasi masyarakat (ormas) untuk menganggu jalannya mahasiswa Papua menggelar aksi. Padahal, kata dia, jika ruang demokrasi itu ada, baik ormas maupun mahasiswa Papua diberikan saja fasilitas masing-masing untuk menyampaikan aspirasinya.
"Karena setiap orang berhak menyampaikan hak, menyampaikan pendapatnya. Justru ini tidak, malah kami diganggu-ganggu spanduk kami diambil. Atau dengan alasan harus rapid tes segala macam kami diangkut," tuturnya.
Ambros dengan nada yang meninggi lalu mengatakan bahwa ia dan pihaknya jika tak bicara isu Papua hingga permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) justru akan tetap mendapatkan perlakuan yang sewenang-wenang. Negara, kata dia, sudah memperlakukan orang Papua secara berlebihan dan melewati batas.
"Bagaimana kita mau dibilang 'kamu harus cinta Indonesia, sementara kami mengatasnamakan Indonesia saja kami berdarah terus'," tuturnya.
"Ini kan sudah abad ke 21 masa orang mau demo dituduh dengan hantu-hantu PKI atau hantu-hantu Taliban, hehe. Jadi kalau misalnya nanti Papua merdeka, kami tidak akan berhenti, aksi kami akan tetap lakukan terus," sambungnya.
Rasisme dan Kekerasan
Antropolog, I Ngurah Suryawan dalam persentasinya berkata, rasisme sudah membadan dalam sejarah kehidupan masyarakat rakyat Papua, melekat dalam ingatan kekerasan dan penderitaan, dan terekspresikan dalam gerakan sosial menuntut pembebasan dan kedaulatan.
Persentasi Ngurah disampaikan dalam diskusi daring bertajuk 'Akar Rasisme Dalam Pusara Konflik Papua', Kamis (19/8). Ia juga menyampaikan rasisme sebenarnya bisa dilawan. Yakni dengan cara memiliki nyali inferioritas dalam diri sendiri bagi orang Papua yang dikonstruksi oleh penjajah.
Kunci sebenarnya dari pernyataan itu adalah bisa mengendalikan diri sendiri. Rasisme juga tak luput dialami oleh Ambros. Mungkin stigmatisasi --pemabuk, buat onar, tukang pukul, hingga dibandingkan dengan hewan-- sudah jadi kudapan sehari-hari orang asli Papua.
Stigma Teroris Orang Papua
Bulan April lalu pemerintah lewat Menkopolhukam, Mahfud MD mengumumkan sikap pemerintah terhadap sederet penyerangan KKB di Papua kepada masyarakat sipil dan TNI-Polri. Mahfud MD menegaskan pemerintah menyatakan KKB sebagai teroris.
"Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris. Ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018," kata Mahfud Md dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Kamis (29/4).
Siapa sangka rupanya pelabelan KKB sama dengan teroris berdampak kepada orang-orang Papua. Ambros misalnya, dirinya mengaku menjadi korban dan dicap sebagai teroris ketika akan mencari rumah kost di Jakarta.
Ia sendiri mungkin sudah bisa mengendalikan diri seperti I Ngurah Suryaman sarankan. Orang-orang yang melakukan rasisme dianggap Ambros sebagai pihak yang belum paham dan kenal secara langsung orang asli Papua.
Momen Agustus tahun ini juga bertepatan sebenarnya dengan peristiwa rasisme yang terjadi di Asrama Kamasan Surabaya dan juga apa yang terjadi di Malang 2019 lalu. Dari kejadian tersebut sempat membuat sejumlah daerah di Papua memanas dan rakyat Papua turun ke jalan.
Ambros mengungkapkan, dari kejadian tersebut justru banyak hal yang berkaitan dengan rasisme dirasakan kawan-kawan mahasiswa yang berada di luar Papua. Mereka terpaksa berkemas meninggalkan perantauannya untuk kembali ke Papua.
Bahkan, Ambros menyebut, para mahasiswa yang pulang ke Papua pasca kejadian di 2019 menolak untuk kembali ke luar. Mereka disebut trauma dengan rasisme yang mereka terima.
Kekerasan juga menjadi hal yang sangat dirasakan oleh masyarakat atau orang-orang asli Papua. Komisi untuk Orang Hilang Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat berdasarkan catatan bahwa kekerasan yang paling sering dialami oleh orang Papua adalah penangkapan sewenang-wenang dan pembatasan kebebasan sipil.
Salah satu faktornya adalah dipakainya pendekatan militer dalam menyelesaikan konflik di Papua. Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anadar menyampaikan, bahwa pasukan militer di tanah Papua harus ditarik oleh pemerintah. Pendekatan dialog semestinya harus di kedepankan.
"Tarik pasukan. Kedepankan pendekatan dialog, partisipasi publik dari orang Papua harus dikedepankan juga," kata Rivanllee saat dihubungi.
Kasus kekerasan oleh aparat terbaru yang dialami orang Papua yakni apa yang menimpa Steven Yadohamang pria difabel yang kepalanya diinjak oleh Serda A dan Prada V di Merauke, Papua. Itu cuma salah satu bagian dari tidak kesewenang-wenangan aparat.
Belum lagi cara penyelesaian masalah tersebut, yang banyak orang menuntut baik Ambros hingga Rivanlee mendesak agar para pelaku kekerasan tersebut diadili di pengadilan sipil bukan militer. Pengadilan militer dianggap kurang memberikan efek jera.
Hal yang menggelitik lainnya adalah bantuan yang diberikan pihak TNI AU pasca kejadian menimpa Steven. Banyak dari mereka yang beranggapan kalau pemberian sumbangan itu seolah merendahkan Steven sebagai korban.
Hal itu pula yang diamini Rivanlee dan Ambros. Pemberian sumbangan kepada korban kekerasan aparat itu dinilai tak lebih sebagai bentuk upaya menetralkan kasus.
"Pemberian apapun terkesan menyederhanakan kasus yang sebetulnya masalah sistemik dan tidak bisa selesai dengan pemberian bantuan semata," tuturnya.
Tolak Otsus
"Saya pikir paling penting adalah dalam 76 tahun ulang tahun Indonesia, Jokowi harus lakukan evaluasi internal pemerintahan dalam preventif kebijakan di Papua. Itu satu. Kedua pendekatan militeristik harus diubah," kata Ambros memasuki 50 menit kita berbicara.
Ambros menilai adanya Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) tidak akan menyelesaikan masalah yang terjadi di Papua. Otsus selama ini dinilai diputuskan secara sepihak tanpa mendengar apa aspirasi rakyat asli Papua.
Untuk diketahui memang Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusu Provinsi Papua. Pengesahan itu dilakukan DPR melalui Rapat Paripurna Ke-23 Penutupan Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021.
Pembahasan RUU Otsus Papua telah dilakukan melalui Badan Legislasi (Baleg) DPR. Dalam pembahasannya ada 20 pasal yang mengalami perubahan.
Namun meski sudah disahkan dan akan berjalan, Ambros mengatakan Otsus akan tetap ia dan pihaknya tolak. Penolakan juga disampaikan melalui petisi yang diadakan sejumlah organisasi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP).
Sebanyak 714.066 suara terkumpul berdasarkan data terkahir per-Juli 2021 menyatakan menolak adanya Otsus Jilid II Untuk itu, solusi yang dianggap paling baik bagaimana pemerintah harus mau membuka ruang-ruang dialog dengan masyarakat asli Papua. Kemudian selanjutnya soal bagaimana berkomitmen menyelesaikan kasus HAM di Papua.
"Mereka (pemerintah) terlalu banyak ambil uang dari Papua, tapi mereka kasih Papua sedikit sekali," kata Ambros.
Kemerdekaan RI di Mata TPNPB-OPM
Tak lengkap rasanya jika tak mendengar pandangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) terkait HUT Kemerdekaan Indonesia yang memasuki usia 76 tahun. Melalui aplikasi pesan singkat, saya kami bertegur sapa.
Bagi mereka, Kemerdekaan Indonesia tak begitu penting. Sebab, TPNPB-OPM menganggap setiap tahunnya Indonesia merdeka hanya sebatas sampai Ambon dan Maluku saja.
TPNPB-OPM menyatakan bahwa mereka dengan Papua Baratnya punya cara tersendiri untuk berdaulat. Jika Indonesia merasa tak pernah mengakui hak kemerdekaan orang-orang Papua, TPNPB-OPM siap memerdekakan diri sendiri.
"Kami sudah siap untuk merdeka sendiri, dan apabila indonesia tidak mengakui hak kemerdekaan kami, maka kami akan paksa Indonesia untuk tinggalkan negeri kami, dan itu akan kami lakukan," kata Juru Bicara TPNPB - OPM, Sebby Sambom.
"Kami tidak bisa terima kemerdekaan Indonesia karena kami memang bukan bagian dari Indonesia, karena kami orang asli Papua ras melanesia yang punya hak untuk merdeka sendiri, dan yang jelas Indonesia merampas hak kemerdekaan kami yang Belanda pernah umumkan 1 Desember 1961, oleh karena itu kami minta Indonesia harus mengakui hak kami untuk merdeka," sambungnya.